Bersyukur? Jangan Tunda!

Marilah kita layangkan pandang kita ke perbatasan Samaria dan Galilea! Yesus sedang naik daun. Orang banyak datang kepada Dia karena dikenal mampu dan mau menolong. Sengaja, saya tekankan kemauan dan kemampuan. Sebab mustahil mengharapkan pertolongan dari orang yang tidak memiliki keduanya.
Ada yang mau menolong, namun tak mampu menolong. Meminta pertolongan dari orang macam begini hanya akan membuat dirinya frustasi. Frustrasi karena kemauan ada, tetapi kemampuan tiada.
Sebaliknya, ada yang mampu menolong, tetapi tak mau menolong. Meminta pertolongan dari orang macam begini hanya akan membuat yang minta tolong frustasi. Dia punya kemampuan; tetapi persoalannya memang nggak mau menolong. Sekali lagi, bukan nggak mampu, tetapi memang nggak mau.
Yesus beda. Sang Guru dari Nazaret ini memiliki keduanya: kemauan dan kemampuan. Tak heran, saat Yesus menyusuri perbatasan Samaria dan Galilea ada sepuluh penderita penyakit kulit datang menemui-Nya.
Orang Buangan
Mereka tinggal di perbatasan. Sebagai penderita penyakit kulit mereka dianggap najis sehingga tak boleh tinggal di tengah masyarakat. Kalau bertemu orang, mereka sendiri harus berteriak: ”Najis, Najis!”, agar orang sehat cepat menyingkir supaya tidak tersentuh.
Dalam kisah sepuluh penderita penyakit kulit tampaknya baik masyarakat Yahudi maupun Samaria memiliki kebijakan sama: para penderita tak boleh tinggal di pemukiman. Mereka orang buangan.
Menarik disimak, mereka, baik Yahudi maupun Samaria, merasa senasib sepenanggungan. Padahal, kedua golongan itu biasanya tak pernah akur karena orang Yahudi merasa lebih tinggi derajatnya ketimbang orang Samaria.
Bagaimanapun, mereka sama-sama penderita penyakit kulit, sama-sama orang buangan, sama-sama tidak mendapatkan kasih dari masyarakat sehat. Tak heran, jika mereka begitu kompak—bersatu menemui Yesus. Visi mereka sama: tahir.
Pengasih dan Penyayang
Namun demikian, mereka cukup tahu diri. Mereka sadar, masyarakat sehat takkan mengizinkan mereka mendekat. Sebab jika orang sehat tersentuh penderita penyakit kulit, mereka pun akan menjadi najis. Sehingga mereka mengutarakan harapan mereka dari jauh. Cukup jauh, hingga harus berteriak: ”Yesus, Guru, kasihanilah kami!”
Mengapa mereka tidak berteriak: ”Sembuhkanlah kami!”? Mungkin, mereka cukup paham bahwa Yesus pasti memahami bahwa penderitaan batin mereka lebih besar ketimbang penderitaan fisik.
Yesus menyembuhkan mereka. Mengapa? Tampaknya, Yesus Orang Nazaret hendak menyatakan pribadi Allah yang digambarkan pemazmur: ”pengasih dan penyayang”.
Menarik disimak, itu pulalah yang dilakukan perempuan pelayan istri Na’aman. Kepada nyonyanya, dia berkata, ”Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakit kulitnya,” ujar pelayan istri Na’aman (2Raj. 5:3). Kita tidak pernah tahu nama gadis itu. Penulis Kitab Raja-raja juga tidak merasa perlu menyebutkan namanya. Tetapi, apa yang dilakukannya merupakan hal yang baik untuk disimak.
Bayangkan, dia mengusulkan agar Na’aman pergi ke Israel untuk mendapatkan kesembuhan di sana. Perhatikan kata-katanya dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Nyonya, sekiranya tuan pergi menemui nabi yang tinggal di Samaria, pastilah nabi itu akan menyembuhkan tuan.”
Padahal gadis itu adalah tawanan perang. Dan sebagai tawanan perang kemungkinan hidupnya tidak bahagia-bahagia amat. Bukankah hujan batu di negeri tetap lebih menyenangkan ketimbang hujan emas di negeri orang. Lalu, mengapa dia merasa perlu bersusah-payah mengupayakan kesembuhan Na’aman? Bisa jadi, gadis itu percaya bahwa Elisa pasti mampu menyembuhkan Na’aman, tetapi apakah Elisa mau menyembuhkan musuh negera dari penyakit kulitnya? Bukankah tindakan perempuan itu sungguh berisiko? Apalagi, Na’aman sendiri hampir pulang ketika Elisa, yang sengaja tidak menjumpai tamunya, malah memintanya untuk berendam 7 kali di Sungai Yordan?
Sekali lagi, kita tidak tahu apa motivasi gadis itu. Namun, kemungkinan besar, gadis itu sudah mampu menerima keberadaan dirinya sebagai tawanan. Bisa jadi, Si Gadis merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya tidak terjadi diluar izin Tuhan. Bisa jadi, Sang Nyonya dan Sang Tuan memang mengasihinya. Itulah yang membuatnya bersyukur. Dan karena itu dia mau membagikan rasa syukurnya dengan mengusulkan kiat untuk kesembuhan tuannya.
Dia tampaknya senang melihat orang lain senang, meski itu musuh bangsanya. Jelaslah gadis itu tidak dipanggil untuk hidup bagi diri sendiri. Dia mau tuannya sembuh. Serempak dengan itu dia sungguh percaya bahwa Allah Israel adalah pengasih dan penyayang.
Terpecah Dua
Yang menarik diperhatikan, Yesus hanya berkata, ”Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Perintah itu bukan tanpa alasan. Hanya imamlah yang berhak menilai apakah mereka tahir atau tidak. Sejatinya, dengan memerintahkan mereka untuk menemui imam, Yesus telah menyembuhkan mereka.
Penyembuhan itu tidak terjadi seketika, melainkan proses. Dalam perjalanan menemui imam itulah, perubahan fisik terjadi. Pada titik ini kelompok itu terpecah dua. Sebagian besar ingin meneruskan perjalanan pergi kepada imam, yang lainnya kembali untuk berterima kasih kepada Yesus.
Kita tak pernah tahu apa yang mereka percakapkan. Pastinya, hanya satu orang yang menemui Yesus. Namun, janganlah kita cepat menuduh bahwa kesembilan penderita penyakit kulit itu tak tahu berterima kasih. Bagaimanapun, mereka ingin secepatnya mendapatkan pengesahan bahwa mereka telah sembuh.
Pengesahan itu akan membuat mereka berkumpul kembali dengan keluarga. Pengesahan imam merupakan kunci penting dalam kehidupan mereka selanjutnya. Mungkin juga, mereka berpikir bahwa Yesus pasti memahami jalan pikiran mereka. Bukankah Yesus peduli akan nasib mereka?
Bagaimanapun juga, hanya seorang yang kembali. Bagi dia, persoalan pengesahan itu bisa menunggu. Dia hanya ingin memuliakan Allah. Dia menemui Yesus, tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya.
Alasan kedua golongan orang itu amat masuk akal. Kala ada dua pilihan sama benarnya, sama baiknya, dan sama tepatnya, yang harus menjadi bahan pertimbangan ialah mana yang tidak bisa menunggu? Dengan kata lain, mana yang harus didahulukan? Mana yang harus diutamakan? Prioritas memang hanya satu.
Dan itulah yang dilakukan orang Samaria itu. Bagi dia, pertama, masalah pengesahan atas sakit kulitnya bisa dicarikan waktu lain. Bukankah dia telah sembuh meskipun belum sah secara agama? Kesembuhan lebih utama ketimbang penilaian imam.
Kedua, dia tahu Yesus adalah guru berkelana. Dia tak tahu kapan lagi bertemu Yesus. Dibandingkan para imam, Yesus jelas lebih sulit ditemukan.
Ketiga, orang Samaria itu agaknya berpendapat: ”Jangan tunda untuk melakukan apa yang baik!” Berterima kasih bukanlah hal yang bisa ditunda. Mengucapkan terima kasih merupakan hal utama. Mungkin, dia memahami, menunda mengucapkan rasa terima kasih, bisa membuat dia tak lagi berkesempatan mengucapkannya.
Itu jugalah yang dilakukan Na’aman. Ia langsung menemui Elisa dan berkata, ”Sekarang aku tahu bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel. Karena itu, terimalah pemberian dari hambamu ini!” Na’aman tidak menunda untuk bersyukur. Itulah yang perlu kita jadikan teladan.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa