Menanti dengan Berjaga dan Terjaga

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu kapan harinya Tuhanmu datang” (Mat. 24:42). Demikianlah nasihat Tuhan Yesus kepada para murid-Nya. Itu jugalah tema kita minggu adven pertama ini: Menanti dengan Berjaga dan Terjaga.

Ini menjadi penting karena Tuhan Yesus menggambarkan hari kedatangan-Nya itu dengan cara yang sungguh biasa—laki-laki masih tetap bekerja di ladang dan perempuan  memutar batu giling. Tak ada peristiwa supernatural.Dan hal-hal serbabiasa itulah yang sering membuat manusia lengah!

Tak ada peringatan dini sebagaimana gempa bumi. Tiba-tiba semuanya terjadi. Karena semuanya serbabiasa, Yesus menasihati para murid-Nya untuk tetap siap sedia. Artinya, tetap melaksanakan kewajiban mereka sebagai murid.

Berjalan dalam Terang Tuhan

Kepada umat Israel, Yesaya berseru: ”Hai kaum keturunan Yakub, mari kita berjalan dalam terang Tuhan” (Yes. 2:5). Seruan itu bernada undangan, bukan paksaan. Namun, undangan itu sekaligus juga peringatan—pentingnya berjalan dalam terang Tuhan.

Hanya dalam teranglah manusia dapat melihat. Manusia mampu melihat jika ada cahaya yang tertangkap retina. Tanpa terang itu, mustahil manusia dapat melihat. Hanya dalam teranglah, manusia dapat percaya diri dalam menentukan langkahnya.

Berjalan dalam terang Tuhan akan membuat kita berani melangkahkan kaki. Dalam gelap, yang kita lakukan hanyalah meraba-raba. Dalam gelap yang ada hanyalah kegamangan, keragu-raguan.

Dalam terang Tuhan berarti juga Allahlah yang menerangi jalan kehidupan kita. Dengan kata lain, Allahlah yang menunjukkan jalan-jalan-Nya kepada kita. Ketika mengambil keputusan, kita mengambil keputusan berdasarkan terang Tuhan. Itu berarti pula kita hidup dalam terang Tuhan!

Serbakonkret

Bagaimanakah kita hidup dalam terang Tuhan itu? Bicara soal hidup tentulah kita paham bahwa hidup bukanlah abstrak. Hidup merupakan kegiatan sehari-hari. Hidup dalam terang Tuhan harus maujud dalam tindakan-tindakan konkret.

Yesaya menyatakan akan ada masa di mana orang-orang akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas. Pedang dan tombak sebagai alat perang itu tidak lagi disimpan untuk dipakai di masa perang, tetapi diubah menjadi alat-alat pertanian.

Perhatikan gambaran yang ditayangkan di sini! Ada perubahan bentuk. Alat-alat perang yang ada di gudang sungguh diubah. Dari alat perang menjadi alat produksi. Dari alat yang membinasakan (pedang), menjadi alat yang menumbuhkan (mata bajak). Dari alat pembunuh (tombak) menjadi alat pemelihara (pisau pemangkas).

Pada titik ini, hidup tak lagi diisi dengan keinginan untuk menghancurkan, tetapi membangun; bukan mematikan, tapi menghidupkan; dan bukan untuk merampas kehidupan, tetapi untuk memberi kehidupan kepada pihak lain. Inilah salah satu tindakan konkret demi tercapainya damai sejahtera. Juga di bumi Indonesia ini.

Mengarah kepada Allah

Semua itu hanya akan terjadi tatkala orang mampu berkata satu sama lain: ”Mari kita pergi ke Rumah Tuhan.” (Mzm. 122:1). Pergi ke rumah Tuhan menyiratkan bahwa setiap orang memang punya kerinduan ke Rumah Tuhan. Itu berarti hidup yang mengarah kepada Allah. Allahlah yang menjadi pusatnya! Jangan lupa di Rumah Tuhan, tak boleh ada orang yang bersikap semaunya. Bagaimanapun, itu adalah Rumah Tuhan.

Dan kita tahu bahwa Tuhan itu omnipresent. Dunia ini adalah pentas kemuliaan Allah.

Itu jugalah yang diingatkan Paulus kepada warga jemaat Roma: ”Kita harus melakukan hal-hal terhormat seperti yang biasanya dilakukan orang pada siang hari; jangan berpesta pora melampaui batas, atau mabuk. Jangan cabul, atau berkelakuan tidak sopan. Jangan berkelahi, atau iri hati. Biarlah Tuhan Yesus Kristus yang menentukan apa yang kalian harus lakukan.” (Rm. 13:13-14, BIMK).

Semua nasihat Paulus itu serbakonkret dan praktis. Itu jugalah yang harus kita lakukan di Minggu-minggu Adven ini! Perlu mawas diri di sini—mengutip syair Ebiet—”Tengoklah ke dalam sebelum bicara, hanyalah Dia di atas segalanya.”

Dan inilah hidup yang berjaga dan terjaga!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa