Bukan Damai, Melainkan Pertentangan

”Kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan damai, kata-Ku kepadamu, melainkan pertentangan.” (Luk. 12:51). Bagaimana sebaiknya kita membaca ayat ini?
Lalu, apa artinya ketika Yesus berkata, ”Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku menginginkan api itu telah menyala! Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan, dan betapa susah hati-Ku, sebelum hal itu terlaksana!” (Luk. 12:49-50).
Injil Lukas merupakan Injil termuda. Lukas menuliskan Injilnya, jauh sesudah peristiwa Penyaliban, Kematian, Kebangkitan, Kenaikan Yesus Kristus, dan Pentakosta. Ketika Lukas berbicara soal baptisan, ini bukanlah baptisan yang kita kenal sekarang. Lukas sedang berbicara soal sengsara Tuhan Yesus di sini. Dan menarik pula untuk disimak bahwa Yesus pun bersusah hati ketika peristiwa belum terjadi. Artinya, Yesus sungguh-sungguh tahu bahwa kehadiran-Nya ke dunia memang untuk mati.
Ketika Yesus berbicara tentang api yang akan dilemparkannya ke bumi, tentulah yang dimaksud bukanlah api biasa, tetapi kedatangan Roh Kudus yang memang dilambangkan dengan api. Api yang dilemparkan ke bumi, menurut Rama Gianto, merupakan saat pemurnian keagamaan. Kehadiran Yesus memang untuk memurnikan. Dan api, pada masa itu, memang lambang pemurnian. Itu jugalah yang dinyatakan Allah: ”Bukankah firman-Ku seperti api?” (Yer. 23:29).
Nah, kalau ini konteksnya, kalimat bahwa Yesus tidak membawa damai, melainkan pertentangan, lebih mudah kita pahami. Yesus memang sumber damai. Namun, yang tidak boleh dilupakan ialah setiap orang memiliki kebebasan bersikap berkaitan dengan damai yang ditawarkan Yesus. Dan berkenaan dengan kehendak bebas itu, setiap orang bisa menerima atau menolak Yesus.
Kata-kata Sang Guru memang Nazaret lugas dan tajam. Ia menegaskan bahwa pada akhirnya setiap orang harus memilih: menolak pemurnian atau menyerahkan hidupnya untuk dimurnikan Yesus. Setiap orang yang menyerahkan hidupnya dimurnikan Yesus harus belajar hidup dengan pola-Nya—pola ilahi. Ketika pola ilahi diterapkan, perbedaan, juga pertentangan, pastilah terjadi.
Sedikit contoh, saat kita menerapkan pola ilahi di kantor—dalam arti berusaha menjadi karyawan yang taat aturan—mudah ditebak ada karyawan lain yang tak begitu suka. Mereka akan menganggap kita sok alim atau sok suci. Padahal, kita hanya mencoba menerapkan aturan kantor secara tepat.
Mengapa itu bisa terjadi? Bagaimanapun, setiap orang masih bergumul atas dosanya. Dosa membuat manusia berpikir dan bertindak semau-maunya. Manusia yang dikuasai dosa biasanya butuh teman. Mereka tidak ingin melakukannya sendirian. Istilah lainnya: dosa berjemaah. Manusia berdosa, yang sadar bahwa itu dosa, ingin dihukum bareng-bareng. Mereka enggak mau dihukum sendirian.
Itulah sikap hidup insan merdeka—yang telah dimerdekakan oleh Kristus—di bumi merdeka. Dan itulah yang dilakukan saksi-saksi iman sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Ibrani hari ini.
Mudahkah? Tentu saja tidak! Mustahil? Juga tidak! Kiatnya? ”Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, Perintis iman dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib demi sukacita yang ada di depan Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibr. 12:2).
Ya, fokus kepada Yesus. Memandang Yesus. Meneladan Dia dalam sikap dan tindak. Inilah yang dibutuhkan negeri di hari ulang tahun ke-80!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa