Cuma Mampir Minum

Perumpamaan Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin (Luk. 16:19-31) memperlihatkan bahwa kehidupan di dunia berpengaruh besar terhadap kehidupan setelahnya pascadunia. Peribahasanya: ”Siapa yang menabur angin akan menuai badai”.
Lihatlah Orang Kaya Itu
Lihatlah Orang kaya itu! Yang dilakukannya membawa akibat buruk di dalam kekekalan. Pemahaman semacam ini mengandaikan adanya kehidupan setelah kehidupan manusia di dunia. Orang Jawa punya peribahasa urip mung mampir ngombe ’cuma mampir minum’. Hanya sebentar. Setelah kehidupan fana di dunia, ada masa yang lebih kekal sifatnya.
Jelaslah, manusia tidak hidup selama-lamanya di dunia ini. Semua ada waktunya. Ada waktu lahir, ada waktu meninggal. Lukas mencatat: ”Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur.” (ay. 22-23).
Baik orang kaya maupun orang miskin tidak ada yang bisa mengelak dari kematian. Muara kehidupan adalah kematian. Itulah titik di mana kehidupan di dunia berakhir.
Pertanggungjawaban Manusia
Namun, waktu yang dikaruniakan Allah—meski singkat—bukan tanpa konsekuensi. Perumpamaan itu juga memperlihatkan bahwa Allah menuntut pertanggungjawaban manusia. Allah mengaruniakan kehendak bebas dalam diri manusia dalam menggunakan waktu. Itulah sebabnya Allah menuntut pertanggungan jawab.
Mungkin Anda bertanya-tanya dalam hati, ”Apa salahnya jadi orang kaya?” Tentu tak ada salahnya menjadi orang kaya. Apa lagi, jika kekayaan itu berasal dari kerja keras dan bukan korupsi.
Namun, perhatikan dengan cermat yang terjadi dalam perumpamaan itu. Yesus memulai kisahnya dengan: ”Ada seseorang yang kaya, yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.” (Luk. 16:19).
Ia memang kaya. Pakaiannya mahal dan hidupnya mewah. Bisa jadi kekayaannya itu merupakan warisan orang tuanya. Lalu, mengapa pula ia mesti masuk neraka? Apakah ia masuk neraka karena kekayaannya atau karena apa?
Sejatinya, bukan karena kekayaannya. Tak ada salahnya menjadi orang kaya. Persoalan orang kaya itu hanyalah tidak peka dengan lingkungan sekitarnya.
Lukas mencatat: ”Ada pula seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya” (Luk. 16:20-21).
Tampaknya, orang kaya itu dengan sengaja membiarkan si Miskin itu tetap dalam kemiskinannya. Pada masa itu, orang kaya biasa mengelap tangan mereka bukan dengan serbet, tetapi roti. Dan roti bekas lap tangan itulah yang dimakan Lazarus! Orang kaya itu memang tidak peka.
Keadaan orang kaya itu tak beda dengan para pemimpin Israel. Melalui Amos, Allah mengecam: ”Sungguh celaka… yang berbaring di tempat tidur gading dan beleha-leha di ranjang” (Am. 6:1a, 4). Jelas orang kaya itu tak peka dengan keadaan sekitar.
Tak Peka Lingkungan
Bahkan, di akhirat orang kaya itu tak peka terhadap lingkungannya. Menurut Rama Gianto, semasa hidupnya si Kaya itu tak punya perhatian sama sekali kepada Lazarus. Kini ia meminta Abraham agar menyuruh Lazarus menolong dia (ay. 24).
Baginya Lazarus hanya pantas menjadi pesuruh. Ia bahkan tidak mau kenal padanya walau tahu siapa namanya. Meski nasibnya terbalik, si Kaya itu tetap mau meninggikan diri.
Ketika masih hidup dan berkedudukan tinggi, orang kaya itu tak butuh apa-apa—juga Tuhan! Ia tak peduli ada orang yang kelaparan dan sakit di dekat pintu rumahnya. Sebetulnya ia bisa berbuat baik kepada Lazarus. Sedikit kebaikan takkan mengurangi miliknya. Malah ia akan beruntung karena kebaikannya nanti akan diingat di akhirat. Boleh jadi ia juga tak percaya ada kelanjutan hidup di akhirat. Ia baru merasakan adanya akhirat setelah kematian.
Inilah yang ditegaskan Paulus dalam suratnya kepada Timotius: ”Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi. Dngan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” (1Tim. 6:18-19). Itulah yang tidak dilakukan orang kaya itu semasa hidupnya.
Memuliakan Tuhan Selagi Hidup
Sejatinya setiap orang percaya dipanggil untuk berseru bersama pemazmur: ”Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada” (Mzm. 146:2). Tentunya, yang dimaksud dengan memuliakan Tuhan bukanlah sekadar membuka mulut memuji Tuhan, tetapi juga melakukan apa yang Tuhan lakukan.
Lalu, apakah yang Tuhan lakukan? ”Menegakkan keadilan untuk orang-orang yang ditindas, memberi makanan kepada orang yang lapar, membebaskan orang yang terkurung, membuka mata orang buta, menegakkan orang yang tertunduk lesu, mengasihi orang benar, menjaga para pendatang, anak yatim dan janda, menggagalkan jalan orang fasik” (lih. Mzm. 146:7-9). Itulah yang semestinya kita kerjakan!
Ingatlah: Hidup Cuma mampir minum!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa