Cepat Mendengar

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” (Mrk. 7:5). Inilah kalimat yang keluar dari mulut beberapa orang Farisi dan ahli Taurat.

Mereka tidak mengada-ada. Mereka pun agaknya heran menyaksikan para murid Yesus makan tanpa cuci tangan. Di mata mereka para murid Yesus telah meremehkan adat Yahudi. Ini bukan persoalan biasa. Para murid Yesus merupakan pelanggaran serius.

Budaya Injili

Yesus tidak kalah seriusnya menanggapi pertanyaan itu. Dengan tegas Guru dari Nazaret itu menelanjangi keadaan kebanyakan orang Yahudi yang lebih suka memperhatikan hal-hal kecil secara rinci ketimbang alasan di balik pelaksanaannya.

Sembari mengutip nubuat Nabi Yesaya, Yesus menegaskan, ”Perintah Allah kamu abaikan dan adat istiadat manusia kamu pegang.” (Mrk. 7:6-8). Jelas, bagi Yesus adat istiadat itu penting. Namun, ketika adat malah membuat manusia tidak manusiawi lagi, manusia harus lebih berpegang kepada perintah Allah.

Yesus hendak mengedepankan bahwa perintah Allah harus lebih ditaati. Bagaimanapun, manusia adalah hamba Allah dan bukan hamba manusia, apa lagi hamba adat istiadat. Adat istiadat ada untuk manusia dan bukan sebaliknya. Jika budaya malah membuat manusia tidak lagi bersikap manusiawi, maka budaya semacam itu harus direformasi.

Pengikut Kristus dipanggil untuk menerangi budaya itu dengan Injil. Injil adalah kabar baik. Kita harus menilai budaya itu: apakah budaya itu merupakan kabar baik bagi manusia atau malah telah menjadi kabar buruk? Itulah budaya Injili.

Mendengarkan Allah

Tak heran, jika Yesus sendiri berkata,”Kamu semua, dengarkanlah Aku dan pamailah.” Yesus menjadikan diri-Nya sebagai norma. Sejatinya, setiap Kristen harus menjadikan Yesus sebagai norma. Bukankah Kristen artinya pengikut Kristus? Aneh bukan, jika kita menyebut diri sebagai pengikut Kristus tetapi tidak bertindak seperti yang Kristus lakukan.

Persoalan terbesar orang Farisi dan ahli Taurat tadi ialah mereka tidak sungguh-sungguh mendengarkan Allah. Mereka lebih suka mendengarkan diri sendiri. Tak heran pula, karena merasa benar sendiri mereka langsung mengkritik orang lain. Pada titik ini benarlah nasihat Yakobus kepada kedua belas suku di perantauan: ”Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata” (Yak. 1:19).

Suku Indian Cherokee punya peribahasa yang baik untuk disimak: ”Dengarkan! Atau lidahmu akan membuat engkau tuli.” Agak keras kalimatnya, namun maknanya jelas. Orang yang hanya mau bicara, tak lagi punya kesempatan untuk mendengar. Kalau pun mendengar, dia hanya ingin mendengarkan suaranya sendiri. Sekali lagi, hanya suaranyalah yang membahana di telinganya. Akhirnya suaranya itulah yang membuatnya tuli.

Tuli di sini tentulah bukan tuli dalam arti kata sesungguhnya. Tuli di sini ialah bahwa dia kehilangan kepekaan dalam mendengarkan orang lain. Dia tidak lagi peka dengan pendapat lain. Yang hanya dia tahu, karena memang itulah yang didengarkannya, pendapatnyalah yang paling benar. Akhirnya dia sungguh-sungguh kehilangan kepekaannya.

Mendengarkan akan memampukan kita mendapat sesuatu yang belum kita dapatkan sebelumnya. Bahkan sesuatu yang tidak enak di dengar telinga pun kadang menolong kita untuk berefleksi.

Misalnya: jika kita mendengar kritikan orang sejatinya kita harus berterima kasih kepada orang tersebut karena dia merasa perlu memberitahukan kelemahan kita. Pada titik tersebut kita bisa bercermin dan bertanya, apakah yang dikatakannya memang  benar. Kalau benar, bukankah kita telah mendapat masukan yang sangat berharga?

Tidak Berarti Diam Seribu Basa

Namun, itu tidak berarti kita tak boleh bicara. Lambat berkata-kata berarti tahu kapan saat yang tepat untuk bicara. Ketepatan waktu dalam bicara akan memampukan kita membangun orang lain.

Kalau harus bicara, baiklah kita belajar dari salah satu mazmur bani Korah. Menarik untuk disimak, bahwa Mazmur 45 tergolong dalam nyanyian kasih. Itu berarti, kalaupun harus bicara baiklah pembicaraan itu berdasarkan kasih.

Jika kita hendak mengatakan kebaikan seseorang, baiklah itu dikatakan di depan umum. Tetapi, kalau hendak mengkritik seseorang, baiklah itu kita lakukan di bawah empat mata. Itulah nyanyian kasih.

Jangan ragu-ragu untuk memuji. Itu pulalah sepasang kekasih dalam kitab Kidung Agung (Kid. 2:8-13). Mereka tidak saling menjatuhkan, tetapi saling memuji! Mengapa? Karena mereka mengasihi pasangan hidupnya!

Lagi pula, kalau bukan kita yang memuji pasangan hidup kita, siapa lagi yang akan memujinya. Kita pun kemungkinan akan sewot kalau mantan pacarnyalah yang memuji pasangan hidup kita!

Nah, selamat memuji!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa