Dalam Ketabahanmu

”Dalam ketabahanmu, kamu akan memperoleh hidupmu” (Luk. 21:19). Demikianlah janji Tuhan kepada para murid-Nya, juga kita orang percaya abad XXI ini. Ketabahan sebagai apa? Tentu ketabahan sebagai murid-Nya? Artinya bertahan sebagai pengikut-Nya. Bertahan sebagai Kristen. Dan bertahan sebenarnya bukanlah persoalan sederhana.
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Kalau kalian bertahan dan sabar, kalian akan selamat.” Bertahan bukan perkara gampang karena di dalamnya ada unsur kesabaran. Dan sabar itu panjang… berkait waktu. Sehingga kita juga memiliki frasa ”panjang sabar”. Dan yang menarik, menurut Paulus kasih itu sabar. Pertanyaannya: bagaimana kita bisa bertahan dan sabar sebagai Kristen?
Pertama, janganlah hati dan pikiran kita gantungkan pada yang kelihatan! Karena semua itu tidak kekal sifatnya. Yang kekal adalah Allah sendiri. Itulah nasihat Yesus kepada beberapa orang yang mengagumi keberadaan Bait Allah.
Catatan Lukas ini menarik disimak: ”Ketika beberapa orang berbicara tentang Bait Allah, betapa bangunan itu dihiasi dengan batu yang indah-indah dan dengan berbagai-bagai barang persembahan, berkatalah Yesus, ’Adapun apa yang kamu lihat di situ, akan datang waktunya ketika tidak ada satu batu pun akan dibiarkan di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan’” (Luk.
Jelaslah manusia cenderung menilai dari apa yang dilihatnya. Namun, Yesus Orang Nazaret menasihati untuk tidak menilai sesuatu dari tampak luar saja. Don’t judge a book by its cover! ’Jangan nilai buku hanya dari sampulnya’.
Sebenarnya apa yang dibicarakan orang banyak itu tak sepenuhnya salah. Sejarawan Yahudi Yosefus, sebagaimana dikutip William Barclay, menulis: ”Wajah lahiriah Bait Alllah di bagian depannya tidak menghendaki lain selain dari perasaan kekaguman baik untuk akal manusia maupun matanya, karena ia ditutup semuanya dengan lempengan-lempengan emas dengan bobot yang berat, dan, pada saat matahari terbit, lempengan-lempengan itu membiaskan kembali warna-warna yang indah….”
Namun demikian, Sang Guru menyatakan dengan jelas bahwa ada saatnya semuanya akan lebur menjadi abu. Dan memang itulah yang terjadi. Pada tahun 70 Bait Allah hancur lebur. Bait Allah memang simbol kehadiran Allah. Namun, Bait Allah tak mungkin mengantikan keberadaan Allah. Allahlah yang semestinya menjadi tempat kita sepenuhnya bergantung.
Berkait bertahan sebagai Kristen, jangan fokus pada apa yang kelihatan. Berfokuslah pada Allah sendiri. Misalnya, ketika kita punya persoalan yang tidak kunjung selesai. Jangan fokuskan diri pada persoalan yang tidak kunjung selesai! Namun, fokuslah pada Allah yang mengizinkan persoalan itu menimpa kita dan bersama kita mengatasi persoalan tersebut.
Kedua, waspadalah! Janganlah kita disesatkan! Karena itu ajaran sehat semestinya menjadi pegangan kita. Banyak orang akan mengaku diri Mesias. Dan tentu saja akan menyalahkan kita!
Namun, yang sungguh penting adalah apakah kita sungguh-sungguh mengenal Mesias. Apakah kita sungguh-sungguh mengalami Mesias itu dalam kehidupan kita masing-masing.
Sekali lagi, di sinilah pentingnya ajaran sehat itu. Sebab ajaran sesat akan mengajak kita berpikir bahwa Allah bersikap transaksional dengan kita. Bimbo punya lagunya: ”Aku jauh, Engkau jauh. Aku dekat, Engkau dekat!” Namun, Allah Israel tidak seperti itu. Pemazmur menyatakan: ”Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel” (Mzm. 98:3). Bahkan, Allah Israel tetap ingat, meski umat kadang melupakan-Nya. Allah peduli.
Bahkan, ketika ajaran sesat berpikir bahwa penindasan dan aniaya adalah tanda ketidakpedulian Tuhan, ajaran sehat akan menguatkan kita dengan mengatakan bahwa itu adalah saat kita bersaksi (ay. 13). Dan dalam semuanya itu Allah menemani. Penemanan Allah adalah kunci.
Bahkan, ini yang ketiga, Hari kedatangan Tuhan, bagi kita orang yang percaya, semestinya menjadi hari yang dinanti-nantikan. Sebab hari itu menjadi hari yang penuh suasana damai, kebenaran dan keadilan ditegakkan, dan keselamatan dari Tuhan dinyatakan. Maleakhi bernubuat: ”Bagi kamu yang takut akan nama-Ku akan terbit surya kebenaran dengan pemulihan pada sayapnya” (lih. Mal. 4:2a).
Dan karena itu, inilah nasihat Paulus kepada warga jemaat di Tesalonika—juga kita sekarang ini—dalam menyambut Hari Kedatangan Tuhan: ”Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Kami katakan ini karena kami dengar bahwa ada orang di antara kamu yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Orang-orang yang demikian kami peringatkan dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri. Dan kamu, Saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat baik” (2Tes. 3:10-13).
Jelaslah, Hari Kedatangan Tuhan, entah kapan, tidak bisa menjadi alasan bagi orang percaya untuk hidup bermalas-malasan. Kerja itu bukanlah kutukan. Kerja adalah anugerah. Kerja membuat manusia bermartabat.
Dan yang juga penting: janganlah bosan berbuat baik. Mungkin persoalannya di sini, apalagi untuk orang-orang yang mungkin bagi kita tak layak dikasihi, perintahnya jelas: jangan bosan. Itulah yang akan membuat kita memperoleh hidup kita.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa