Jalan Layang

Sebuah kecelakaan hampir terjadi di dekat jalan layang Cibinong. Pasalnya pagi itu untuk pertama kali saya mengendarai motor melalui rute Jalan Raya Bogor menuju RS Cibinong guna menghadiri ibadah kedukaan. Ketika sampai di dekat jalan layang, saya tidak memperhatikan rambu jalan dan memilih berputar balik di area itu mengikuti pengendara lainnya. Di situlah peristiwa mengerikan itu terjadi. Saya baru menyadari bahwa ternyata dari lokasi itu untuk rute menuju RS Cibinong kendaraan harus lurus mengikuti jalan layang terlebih dahulu baru kemudian berputar balik.
Ungkapan ”manusia tempatnya salah” atau ”namanya manusia, salah itu biasa” sempat mampir di benak saya seakan memaklumkan kelalaian saya sekaligus tempat persembunyian saat berbuat salah. Namun, ungkapan ini mengajak saya untuk berefleksi, apakah kesalahan dalam peristiwa itu dengan sengaja saya lakukan karena ingin segera sampai tujuan atau karena ada hal lain?
Saya menjadi teringat akan sebuah kisah klasik tentang seorang cucu Kepala Suku Indian yang melanggar tata susila suku. Sang kakek berbincang-bincang dengan cucunya untuk membantu memahami penyebab cucunya melakukan kesalahan.
Kakek berkata, ”Dalam diri kita seolah ada dua serigala yang selalu bertarung sepanjang waktu. Serigala pertama dipenuhi dengan ketidaktertiban, kebohongan, amarah, kebencian, dan kesombongan. Sementara yang kedua dipenuhi ketertiban, kejujuran, kedamaian, sukacita, dan cinta.” Sang cucu bertanya, ”Serigala mana yang menang, Kek?” Kakek menjawab, ”Serigala yang selalu diberi makan dan dipenuhi keinginannya.”
Peristiwa mengejutkan di dekat jalan layang itu mengingatkan saya bahwa hidup adalah pilihan, namun sebagai umat percaya sudah seharusnya kita merawat hati, pikiran, dan sikap yang selaras dan dikendalikan oleh kebenaran Tuhan.
Yudi Hendro Astuti | Sobat Media
Foto: Istimewa