Janda Miskin, Naomi, dan Rut
Betapa besarlah perbedaan antara dua golongan yang disebut dalam bacaan Injil Minggu ini (Mrk. 12:38-44). Sengaja dipakai istilah ”golongan” karena penulis Injil, mengutip perkataan Yesus, memang tidak secara khusus menyebut nama.
Kita, pembaca abad XXI, memang tidak pernah tahu siapa yang disebut ahli Taurat itu, juga siapa yang dimaksud janda miskin itu. Kemungkinan besar, Sang Guru memang tidak hendak menunjuk nama, tetapi menekankan perbedaan kecenderungan sikap manusia.
Ibadah sebagai Hobi
Di satu pihak, para ahli Taurat yang memang suka beribadah, namun gila hormat dan suka memeras. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) tertera: ”Hati-hatilah terhadap guru-guru agama. Mereka suka berjalan-jalan dengan jubah yang panjang dan suka dihormati di pasar-pasar. Mereka suka tempat-tempat yang terhormat di dalam rumah ibadat dan di pesta-pesta. Mereka menipu janda-janda dan merampas rumahnya. Dan untuk menutupi kejahatan mereka itu, mereka berdoa panjang-panjang. Hukuman mereka nanti berat!” (Mrk. 12:38-40).
Perhatikan kata ”suka” yang digunakan Yesus di sini! Artinya: kegiatan tersebut dilakukan untuk menyenangkan dirinya, bahkan telah menjadi suatu kegemaran rutin atau hobi. Jadi, hobi mereka adalah beribadah. Dan karena hobi, mereka sering menjadikan ibadah sebagai pemuas emosi belaka.
Karena hobi, mereka menjadi senang dipuji. Bukankah itu yang sering kali terjadi dengan yang namanya hobi. Ada orang yang hobinya mengumpulkan boneka-boneka barbie dan bangga akan hal itu. Apa lagi ketika orang yang mengetahui hobinya itu mulai memujinya. Yang namanya hobi cenderung mendorong orang untuk menyombongkan hobinya itu.
Kalau kita hendak berpolitik, sentuhlah sedikit hobi orang tersebut, maka kita akan dianggapnya sebagai teman yang menyenangkan. Dan itulah yang terjadi dalam diri golongan ahli Taurat. Mereka menganggap ibadah sebagai hobi, dan karena itulah mereka mengharapkan pujian dari hobinya itu.
Ibadah yang menjadi hobi hanya akan memuaskan ego seseorang. Ibadah macam begini biasanya akan membuat orang jauh dari realitas sehari-hari. Bahkan, tingkah laku orang tersebut sering tidak mencerminkan bahwa dia adalah seorang yang taat. Tengoklah catatan penulis Injil Markus: ”mereka menelan rumah janda-janda” (Mrk. 12:40).
Yang lebih gawat, ketika mereka menjadikan ibadah sebagai topeng yang akan menutupi semua kejahatan mereka. Tuhan Yesus menggunakan kalimat yang keras di sini: ”mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang” (Mrk. 12:40).
Ibadah sebagai Laku Diri
Di lain pihak seorang janda, yang memberikan seluruh nafkahnya kepada Allah. Kisah seorang janda miskin yang memberikan persembahan di Bait Allah masih berkumandang hingga kini. Penulis Injil memang tidak menyatakan dengan jelas siapa namanya. Namun, apa yang dilakukannya memang unik. Begitu uniknya, hingga Yesus sendiri memujinya karena dia memberi persembahan bukan dari kelebihan, namun dari kekurangannya.
Bagi janda tersebut, ibadah bukanlah hobi, pengisi waktu luang, atau sekadar pemuas emosi. Tidak. Bagi janda tersebut, ibadah merupakan laku diri. Manusia sejatinya, ya harus beribadah karena mereka adalah hamba Allah. Kalau manusia tidak mau beribadah, ya aneh. Sebab mereka mengingkari keberadaan mereka sebagai hamba Allah.
Dan sebagai hamba Allah, janda itu tidak membutuhkan pujian. Apa yang dilakukannya merupakan buah dari penghayatan dirinya sebagai hamba. Karena itulah, dia mempersembahkan apa yang dimilikinya. Mempersembahkan berarti dia memberikannya dalam sikap hati yang menyembah. Ini sungguh berbeda dengan golongan ahli Taurat tadi.
Mungkin saja, ada orang yang mencibir perbuatan janda itu. Bisa saja mereka berkata, ”Miskin, kok sombong!” Ya, bisa jadi ada orang yang berbuat demikian. Akan tetapi, sekali lagi, ibadah baginya bukan untuk mencari pujian. Baginya ibadah bukanlah hobi. Jadi, ia tidak merasa terluka seandainya ada orang yang mencemoohnya. Karena, sekali lagi, ia tidak mencari pujian.
Ia melakukannya karena harus melakukannya. Ia melakukannya dengan tulus tanpa pamrih. Sekali lagi, karena memahami bahwa hakikat manusia itu beribadah! Ya, ibadah sebagai laku diri.
Janda itu berbuat demikian karena ia meyakini bahwa apa yang ada padanya, bahkan hidupnya sendiri, merupakan karunia Allah. Ia sanggup memberikan seluruh nafkahnya karena memercayai Allah. Ia menyerahkan dirinya secara total kepada pemeliharaan ilahi. Ia agaknya meyakini ucapan pemazmur: “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah jerih payah orang yang membangunnya” (Mzm. 127:1).
Penyelenggaraan Ilahi
Apa yang dilakukan memperlihatkan bahwa sang janda agaknya memercayai penyelenggaraan ilahi. Ia berani memberikan apa yang ada padanya karena telah merasakan pemeliharaan Allah dan percaya akan merasakannya terus. Tak heran, ia mampu mempersembahkan semua yang ada padanya.
Memercayakan diri memang bukan persoalan sederhana. Banyak orang khawatir akan masa depannya. Mereka lupa, Allahlah penguasa waktu: kemarin, kini, dan esok.
Ada dua golongan: ahli Taurat dan janda miskin. Di satu pihak kemunafikan, di lain pihak ketulusan. Di satu pihak hobi, di lain pihak keniscayaan. Di satu pihak mencari pujian, di lain pihak siap menerima sindiran. Di satu pihak ketidakpercayaan, di lain pihak kepercayaan penuh kepada Allah, Sang Pemelihara. Dan pada titik ini, pertanyaan yang layak kita gaungkan dalam nurani ialah kita sering bertindak seperti siapa?
Di Israel Naomi telah merasakan pemeliharaan Allah, meski kesulitan hidup agaknya tak mau berpijak darinya. Ya, Naomi dan Rut memang dalam keadaan miskin. Begitu miskinnya, hingga Rut harus memungut jelai gandum di belakang penyabit-penyabit di ladang.
Namun, Naomi dan Rut tetap memercayai penyelenggaraan ilahi. Yang juga penting, mereka tidak ingin berpangku tangan saja. Oleh karena itu, Naomi meminta Rut melakukan tindakan-tindakan yang ”kurang pantas” di masanya. Bayangkan, Naomi meminta Rut untuk berdandan dan berbaring di samping Boas saat lelaki itu sedang tidur.
Alasan Naomi satu saja: ia ingin melihat Rut, menantunya itu berbahagia. Di sini agaknya terlihat bahwa motivasinya bukanlah harta, meski Boas cukup kaya. Namun, Naomi agaknya yakin bahwa kebaikan menantunya itu telah terbukti. Naomi merasakan bagaimana Rut rela meninggalkan Moab, bahkan menafkahi hidup ibu mertuanya. Dan Naomi ingin orang sebaik Rut berbahagia. Caranya kawin dengan Boas, yang memang sudah terbukti baik.
Dan Rut melakukannya. Rut tidak merasa rendah untuk melakukan tindakan tersebut. Ia percaya akan penyelenggaraan ilahi selama dirinya tulus. Di sini persoalan besarnya, juga bagi manusia masa kini, yakni: ketulusan kala melakukan sesuatu. Kita harus terus mempertanyakan motivasi kita ketika melakukan hal yang terbaik sekalipun. Apakah kita sungguh-sungguh sepi ing pamrih?
Keyakinan akan pemeliharaan Allah—disertai ketulusan hati—memampukan Rut melakukan tindakan yang ”kurang pantas” di masanya. Ia tidak peduli apa kata orang karena mereka tidak mampu mengetahui motivasinya. Ia hanya peduli pada kata Allah, yang sanggup melihat hati. Rut seperti janda miskin, percaya bahwa Allah mengetahui kesejatian motivasinya.
Tindakan Rut tidak sia-sia. Sekitar belasan abad kemudian namanya tertera dalam silsilah Yesus Kristus (lih. Mat. 1:6). Namanya tercatat sebagai nenek moyang Juru Selamat. Dan semuanya itu berawal pada iman akan penyelenggaraan ilahi dan ketulushatian perempuan Moab itu.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa