Kaya di Hadapan Allah

Jelaslah, orang kaya itu gemar berpikir. Ia beruntung karena tanah yang dimilikinya sangat subur. Namun, keberuntungan itu membuat hatinya gundah karena bingung menyimpan panenan. Ia tak punya gudang yang cukup besar. Ia berencana merombak gudang-gudangnya dan membangun yang lebih besar.
Menarik disimak, orang kaya itu agaknya tak punya kawan yang bisa dimintai pendapat, setidaknya sahabat yang mendengarkan idenya. Ia memikirkan masalahnya sendirian dan hanya untuk diri sendiri. Satu-satunya orang yang diajaknya bicara ialah dirinya sendiri. Ia otonom—berpikir bisa melakukan segala sesuatunya sendirian: berpikir sendiri, bekerja sendiri, dan berfokus pada diri sendiri.
Sepertinya hobi orang kaya itu adalah mengumpulkan harta. Ia tak begitu suka berbagi. Mungkin, ia beranggapan tanah itu miliknya sendiri. Ia telah bekerja keras agar mendapatkan hasil terbaik, masak harus dibagi-bagikan kepada orang lain? Akhirnya, ia memuji diri sendiri dan berikhtiar menikmati hidup sendirian.
Malangnya, kala hendak menikmati hidup, ia meninggal. Ia begitu sibuk dengan kegiatan mengumpulkan kekayaan hingga lupa menikmati hidup. Ia kehilangan kebahagiaan dunia, juga akhirat. Dengan kata lain, susah dunia dan akhirat. Sia-sia.
Bahaya Ketamakan
Perumpamaan tragis itu merupakan jawaban atas permohonan seseorang yang meminta Yesus menjadi hakim dalam pembagian warisan. Kita tak pernah mengenalnya. Lukas tak menyebutkan namanya. Mungkin, Lukas berpikir, tak sedikit murid Yesus yang bersikap dan bertindak sebagaimana orang tersebut.
Alih-alih meluluskan permohonannya, Yesus memberi peringatan: ”Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah berasal dari kekayaannya itu.” (Luk. 12:15).
Itu jugalah yang terjadi pada orang kaya dalam perumpamaan itu. Hidupnya tidak berasal dari kekayaannya. Hidupnya bersumber pada Allah—Sang Sumber Hidup. Ketika Allah mengambilnya, binasalah dia! Jelaslah, ia bukanlah pribadi berhikmat karena ternyata tak sampai ke tujuannya: menikmati kekayaannya. Hikmat Allah sungguh menjadi penting dalam hal ini.
Tak heran, Paulus menegaskan ”Carilah hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan yang di bumi.” (Kol. 3:1-2).
Dalam Alkitab-NIV tertera: set your hearts dan set your minds. Artinya: kita harus memfokuskan hati dan pikiran kita kepada Kerajaan Surga. Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Kalian harus terus memikirkan dan menginginkan hal-hal yang ada di surga, jangan yang di dunia.”
Bukan Mengumpulkan, Tetapi Membagikan
Dengan kata lain, persekutuan dengan Allah itu lebih penting dari berkat-berkat Allah. Ironisnya, berfokus pada berkat-berkat Allah, sering malah membuat kita melupakan Allah! Itulah yang terjadi pada orang kaya tadi. Dia begitu sibuk dengan berkat, dan lupa bahwa Allahlah sumber berkat. Bukankah kesuburan tanah itu pun berasal dari Allah?
Ketika seseorang hanya berfokus pada berkat-berkat Allah, dan melupakan Allah, maka baginya hanya ada satu kata: sia-sia. Inilah yang ditekankan Pengkhotbah! Kesimpulan Pengkhotbah mengenai kesia-siaan haruslah dibaca dalam bingkai bagi orang yang tidak mau melibatkan Allah dalam hidupnya.
Mengapa sia-sia? Sebab, apa enggak sia-sia namanya, ketika seorang berusaha sekuat tenaga mengumpulkan harta agar hidup nyaman, tetapi dia sendiri tidak bisa menikmatinya. Baik di dunia kini maupun di dunia nanti? Karena itu, di akhir kitabnya, ditekankan: ”Takutlah akan Allah dan peliharalah perintah-perintah-Nya, karena itu adalah kewajiban setiap orang” (Pkh. 12:13).
Konsepnya sederhana. Allah adalah pencipta, manusia adalah ciptaan Allah. Allah tentulah mempunyai grand design atas semua ciptaan-Nya. Sehingga jalan yang terlogis adalah mengikuti rancangan yang Allah tetapkan bagi kita. Itu akan akan menolong kita memenuhi panggilan kita—memenuhi karya yang telah Allah siapkan bagi kita untuk dijalani.
Pemazmur pun menegaskan: ”Begitulah akhir orang-orang yang percaya kepada dirinya sendiri, ajal orang-orang yang gemar akan perkataannya sendiri” (Mzm. 49:14). Jelaslah, menjadi penting bagi kita untuk mengikuti perintah-perintah Allah.
Nah, berkait dengan kisah orang kaya tadi, Yesus mendorong para murid untuk menjadi kaya di hadapan Allah. Salah satu indikatornya ialah tidak bermental mengumpulkan, tetapi membagikan harta. Mental semacam itu berdasarkan pemahaman bahwa segala harta kita merupakan anugerah Allah saja. Kita dipanggil untuk mengelola dan menyalurkan berkat-berkat-Nya!
Inilah hikmat. Dan hiduplah dalam hikmat Allah ini.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa