Kisah Orang Majus

Kisah Orang Majus menyatakan bahwa Allah bekerja dalam berbagai cara untuk menyatakan kehendak-Nya. Jika kepada para gembala Allah menyatakan berita Natal melalui malaikat, kepada orang Majus—yang tentunya tidak mengenal dan percaya akan keberadaan makhluk surgawi—Allah berbicara melalui pengetahuan mereka.
Sekali lagi, Allah bekerja tidak hanya melalui satu cara. Allah menyapa manusia dalam keberadaannya. Allah menyapa manusia berdasarkan situasi dan kondisi manusia.
Sapaan itu unik. Karena itu, jangan paksa Allah untuk menyatakan kehendak-Nya menurut keinginan kita. Allah, Sang Pencipta, memahami ciptaan-Nya. Ia mengetahui cara yang paling tepat untuk berkomunikasi dengan manusia. Persoalannya: Apakah manusia cukup peka untuk menyambut sapaan Allah?
Peka
Para gembala peka. Pada malam itu juga mereka berangkat mencari bayi Yesus yang terbaring di palungan. Mereka tidak menunggu esok. Dan mereka menemukan Bayi Yesus sekaligus menjadi pekabar Injil pertama dalam sejarah. Mereka menceritakan rahasia kemesiasan Yesus kepada orang-orang yang berkerumun di sekitar bayi tersebut.
Seandainya mereka tidak peka—seandainya mereka tidak cepat-cepat berangkat malam itu juga—mungkin mereka kesulitan dalam menemukan Bayi Yesus. Kemungkinan besar Yusuf dan Maria telah memindahkannya ke tempat tidur yang lebih layak. Padahal, palungan merupakan alamat Bayi Yesus berada. Untunglah para gembala itu peka!
Orang Majus pun peka. Sebagaimana para gembala, mereka mengambil keputusan untuk mencari Raja yang baru dilahirkan itu. Penulis Injil Matius mengisahkan bagaimana orang-orang bijak datang dari jauh untuk menyatakan penghormatan mereka kepada raja yang baru dilahirkan.
Dalam kisah ini mereka mewakili orang-orang bukan Yahudi yang datang dari jauh untuk menghormati Anak di Betlehem yang bakal menjadi pemimpin umat manusia. Kebijaksanaan para majus ini membawa mereka ke sana. Malah dengan kisah ini, Penulis Injil Matius juga bermaksud mengatakan bahwa Allah justru berbicara kepada umat-Nya lewat orang-orang bukan dari kalangan mereka sendiri!
Sebenarnya, kisah para Majusi ini telah dinubuatkan berabad lalu. Penulis Injil Yesaya menegaskan bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi akan berduyun-duyun ke Sion, yakni tempat Tuhan bertakhta, tempat Ia menyinarkan terang-Nya (Yes. 60:3). Jelaslah, Yesaya hendak menyatakan bahwa Allah Israel bukan untuk kalangan Yahudi saja. Allah Israel, Allah Pencipta, merupakan Tuhan atas segala bangsa.
Para Majusi peka akan sapaan Tuhan dalam keberadaan mereka sendiri—pengetahuan dan kebijaksanaan yang mereka miliki. Dan kepekaan itulah yang membuat mereka mengambil keputusan untuk pergi ke tanah Yudea, untuk menyembah Raja.
Mengambil Risiko
Tentunya, perjalanan itu bukan perkara sederhana, bahkan penuh risiko. Perjalanan pada masa itu tentulah lebih sulit ketimbang masa sekarang. Namun, mereka pergi juga. Sebagai pencari-pencari kebenaran, mereka berani mengambil risiko untuk pergi. Tak mudah bagi kita, manusia abad XXI, membayangkan suasana perjalanan tersebut. Namun, orang Majus tetap mengambil risiko dengan pergi ke Yerusalem; untuk menyembah Raja, yang sejatinya tidak ada hubungan langsung dengan mereka. Dengan kata lain, mereka siap mengambil risiko menjadi orang asing.
Menjadi orang asing bukan perkara gampang. Bagaimanapun, kita harus siap mendengarkan bahasa asing. Atau, kita perlu juga menyiapkan diri dengan bahasa asing tersebut. Kita bisa saja menggunakan jasa penerjemah. Tetapi, kita tahu percakapan dengan penerjemah tidaklah alami. Itulah risiko pertama yang mereka ambil.
Risiko kedua, ternyata orang-orang di Yerusalem belum mendengar sedikit pun kabar tentang Raja Yahudi yang baru dilahirkan itu. Artinya, kabar yang mereka bawa bisa dikategorikan sebagai tindakan subversib. Mereka bisa saja dianggap menghasut orang banyak, yang memang tidak puas dengan pemerintahan Herodes. Tak heran, jika mereka kemudian diundang secara diam-diam, bahasa halus untuk ditangkap, oleh penguasa untuk diinterogasi. Dan mereka diperintah penguasa untuk pergi ke Betlehem.
Risiko ketiga, mereka berani mengambil tindakan untuk tidak kembali ke Herodes setelah bertemu dengan Raja. Dengan kata lain, sebagai orang asing mereka berani mengambil sikap melawan pemerintah. Bayangkan, sebagai orang asing mereka sengaja tidak menaati penguasa setempat.
Hidup memang penuh risiko. Tetapi, pertanyaannya ialah apakah kita berani mengambil risiko untuk mendapatkan yang terpenting dalam hidup itu sendiri? Itulah yang dilakukan para Majusi. Mereka berani mengambil risiko hanya dengan satu tujuan: menyembah Raja yang baru dilahirkan itu!
Mereka sendiri tidak kenal Raja tersebut. Namun, itulah yang mereka lakukan. Ketika tantangan datang mereka tetap fokus pada tujuan mereka: menyembah Raja yang baru dilahirkan itu. Bahkan, mereka bersedia melawan penguasa. Mungkin, tanpa mereka sadari, mereka telah membuat Herodes tidak menemukan Yesus dan membunuh Anak itu.
Pertanyaannya: Bersediakah kita menanggung risiko demi yang terpenting dalam hidup kita? Jika kita bersedia, Allah pun akan menolong kita untuk tetap fokus pada tujuan dan akhirnya mencapai tujuan tersebut.
Menjadi Terang
Selain itu, Kisah Orang Majus memperlihatkan dengan jelas bahwa Herodes dan seluruh penduduk Yerusalem tidak berfungsi sebagai terang. Para ahli Taurat, yang paham Kitab Suci, ternyata tidak ikut serta ke Betlehem. Mungkin mereka takut kepada Herodes, tetapi yang pasti mereka membiarkan Orang-orang Majus mencari sendiri Anak tersebut.
Pada titik ini kita perlu meningkatkan kualitas diri. Sehingga saat orang bertanya tentang keselamatan, kita dapat memberi jawaban yang memadai. Sebagaimana bintang-Nya, kita pun dipanggil untuk menjadi bintang-bintang Allah. Itu berarti kita juga dipanggil untuk meningkatkan kualitas kekristenan kita!
Dan itu hanya mungkin jika kita menyembah dan mempersembahkan yang terbaik bagi Allah.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa