Kisah Orang-orang Bertalenta

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Apakah yang ada di benak Barak ketika Debora menyuruhnya untuk memimpin sepuluh ribu bani Naftali dan Zebulon melawan Sisera? Mungkin satu kata ini: gentar. Sisera bukan sembarang panglima. Dia memiliki 900 kereta besi. Entah berapa jumlah tentaranya. Sedangkan Barak, agaknya tak punya sebuah kereta besi pun (Hak. 4:1-3).

Kisah Barak

Rasa gentar itu pulalah yang membuat Barak dengan terus terang berkata kepada Debora, ”Jika engkau ikut maju aku pun maju, tetapi jika engkau tidak ikut maju aku pun tidak maju” (Hak. 4:8). Rasa takut itu wajar. Yang tak wajar adalah ketika orang begitu dikuasai ketakutan sehingga lupa potensi diri.

Padahal, mari kita perhatikan kembali kata-kata Debora, Sang Nabiah: ”Bukankah Tuhan, Allah Israel, memerintahkan demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor dan bawalah sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon bersama engkau, dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin, dengan kereta dan pasukannya menghadapi engkau ke Wadi Kison, dan Aku akan menyerahkan dia ke dalam tanganmu” (Hak. 4:6-7).

Dalam perkataan Debora terlihat perintah sekaligus janji Allah. Allah memberi perintah. Perintah itu sendiri bukanlah tanpa dasar. Setidaknya di mata Allah, Barak mampu memimpin sepuluh ribu orang dari suku Naftali dan Zebulon. Itu berarti ada sebuah kepercayaan besar di balik perintah itu.

Tak hanya perintah, Allah juga berjanji! Allah berjanji bahwa Barak tidak akan sendirian. Bukan dia yang akan mengalahkan Sisera, tetapi Allah sendiri yang akan menyerahkan Sisera ke tangan Barak. Namun, tampaknya Barak sendiri tak terlalu percaya diri. Ia hanya mau berperang selama Debora turut berperang.

Tak Hanya Monopoli Barak

Kisah Barak tak hanya monopoli Barak. Pada masa perjanjian baru, Yesus berkisah tentang seorang hamba yang lebih suka menyembunyikan talenta ketimbang mengembangkannya (Mat. 25:14-30). Mengapa? Sebab ia takut rugi. Hamba yang ketiga itu takut jika talenta itu tidak berkembang atau malah menyusut. Memang senantiasa ada risiko. Akan tetapi, hanya menyembunyikan talenta di dalam tanah tidak akan membawa perubahan apa-apa. Hamba yang mendapatkan satu talenta itu lebih menyukai status quo.

Memang satu talenta yang dimilikinya jika dibandingkan hamba yang mendapat lima talenta itu sedikit. Namun, satu talenta setara dengan 6.000 dinar. Satu dinar adalah upah pekerja bangunan dalam sehari. Jika tukang batu pada masa sekarang mendapatkan upah Rp 150.000,-, maka satu talenta setara dengan Rp 900 juta (6.000 x Rp 150.000). Kecilkah? Pasti tidak! Akan tetapi, ya itu tadi, hamba yang mendapatkan satu talenta lebih suka menyembunikannya di dalam tanah. Pada titik ini, ia tidak sungguh bermental hamba.

Perhatikan pula kata-katanya: ”Tuan, aku tahu bahwa Tuan adalah orang yang kejam yang menuai di tempat Tuan tidak menabur dan memungut dari tempat Tuan tidak menanam. Karena itu, aku takut dan pergi menyembunyikan talenta Tuan di dalam tanah. Ini, terimalah kepunyaan Tuan!” (Mat. 25:24-25). Jelaslah, hamba itu malah takut ketika kepadanya dipercayakan satu talenta. Ia tidak bangga seperti dua hamba lainnya, tetapi malah takut. Dan saking takutnya, ia malah menyembunyikan talentanya. Ia pikir, Sang Tuan pastilah maklum. Lagi pula, bukankah ia tidak merugikan Sang Tuan? Bukankah uang Sang Tuan itu tetap, jumlahnya tak berkurang sama sekali.

Salah Konsep

Namun demikian, di mata Sang Tuan, ia adalah seorang hamba yang jahat dan malas. Ia jahat karena telah berprasangka buruk terhadap Sang Tuan. Ia malas karena dia lebih suka menyembunyikan uang tersebut. Hamba yang ketiga itu lupa, sesungguhnya Sang Tuan sangat memercayainya. Ia telah salah konsep. Ia tak memahami maksud baik Sang Tuan.

Ia sendiri agaknya telah lupa diri. Ia lupa bahwa ia adalah hamba! Masak ada hamba berani menilai Sang Tuan. Bukankah tanpa Sang Tuan, kehambannya tak ada artinya sama sekali? Semestinya hamba yang ketiga itu bersikap seperti hamba yang terus menggantungkan dirinya kepada Allah (Mzm. 123:2).

Kembali ke kisah Barak, sejatinya dia kurang percaya diri. Ia lupa bahwa Allah sungguh-sungguh memercayai dirinya. Aneh bukan, ia tidak memercayai dirinya, meski dia tahu Allah sungguh-sungguh memercayainya.

Pertanyaannya: ini jugakah sikap kita? Jika ya, semestinya kita mengembangkan adagium ini: kita percaya diri karena Allah telah lebih dahulu percaya kepada kita. Kepercayaan diri kita berdasarkan kepercayaan diri Allah kepada kita. Tentu saja, itu tak berarti kita boleh sombong karena semuanya sesungguhnya anugerah Allah semata.

Panggilan Kita

Dan ketika kita bertemu dengan orang-orang yang bersikap seperti Barak dan hamba yang menerima satu talenta, baiklah kita bersikap seperti Debora. Menjadi bagian kita untuk memberikan semangat karena Allah telah memberikan talenta, potensi, dan kemampuan kepada mereka.

Dan itulah juga inti dari nasihat Paulus: ”Karena itu kuatkanlah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (1Tes. 5:11).

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa