Martin Luther dan Zakheus

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Pada 31 Oktober 1517 Martin Luther memaklumatkan 95 Dalil yang mengkritik keberadaan Gereja Katolik Roma. Kabarnya Dalil-dalil itu ditulis pada selembar poster yang dipakukannya di pintu Gereja Istana Frederik.

Gereja Katolik Roma tak tinggal diam, Luther pun dikucilkan. Dalam sebuah pembelaannya, pada petang hari 18 April 1521, di persidangan kota Worms, Jerman, Luther berkata, ”Saya tidak dapat mundur dan saya tidak akan mundur. Melawan hati nurani tidak benar dan tidak aman. Semoga Allah menolongku. Amin.”

Hanya Iman

Sejak itu peta dunia Kristen berubah. Reformasi terjadi dalam tubuh Gereja Katolik. Martin Luther dan para pengikutnya—yang disebut protestan—dikeluarkan dari Gereja Katolik Roma.

Sesungguhnya Luther tak pernah berniat keluar dari Gereja Katolik. Ia hanya ingin mereformasinya. Pada masa itu, untuk penggalangan dana bagi pembangunan Katedral Santo Petrus, Gereja Katolik Roma mengeluarkan kebijakan menjual surat indulgensia, penghapusan siksa. Yang membeli surat itu akan terlepas dari siksa akhirat. Bahkan, mereka dapat membelinya bagi orang-orang yang telah mati.

Di mata Luther, tindakan macam begini melawan kebenaran Alkitab. Dengan tegas, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya karena iman—sola fide, yang merupakan tanggapan dari anugerah Allah—sola gratia. Hidup hanyalah anugerah Allah.

Dalam masa kegelisahannya, Luther mengaku, ”Aku berusaha sekeras mungkin menaati peraturan. Aku biasa bertobat, dan membuat daftar dosaku. Aku mengakukannya terus menerus. Namun, suara hatiku tetap gelisah….”

”Akhirnya,” demikian tulis Luther, ”Allah menaruh belas kasih kepada saya, dan saya mulai mengerti bahwa kebenaran Allah adalah anugerah Allah yang menghidupi orang benar, yaitu iman.”

Semua memang hanya anugerah Allah. Itu jugalah yang dinyatakan oleh Nabi Yesaya (Yes. 1:11-15). Yesaya, sebagai penyambung lidah Allah, menegaskan: ”Ketika kamu datang di hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu darimu, sehingga kamu menginjak-injak pelataran Baitku” (Yes. 1:12). Allah tidak menuntut persembahan. Yang Allah inginkan adalah hati yang murni dan jiwa yang bertobat. Amal tidak akan pernah membawa kita berdamai dengan Allah. Pada kenyataannya perbuatan baik hanya akan membuat kita pada kesadaran bahwa kita nggak baik-baik amat. Inilah yang membuat kita frustrasi.

Dan jalan keluarnya adalah anugarah Allah saja. Yesaya menegaskan: ”Marilah, baiklah kita beperkara!—firman TUHAN—Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba” (Yes. 1:18). Itulah anugerah.

Zakheus

Martin Luther bukanlah orang pertama yang mengalami anugerah tersebut. Zakheus, kepala pemungut cukai di Yerikho, pernah merasakannya.

Ya, namanya Zakheus. Agak aneh, bisa menjadi bahan tertawaan, pemungut cukai kok namanya Zakheus. Zakheus merupakan bentuk Yunani dari nama Zakkay dalam bahasa Ibrani, yang berarti ”bersih, tidak bersalah”.

Pemungut cukai tidak mendapat gaji dari pemerintah. Gajinya merupakan selisih antara jumlah uang yang disepakati dengan pemerintah Roma dan yang berhasil ditagih. Acap terjadi, jumlah yang ditagih menjadi beberapa kali lipat. Tak heran, para pemungut cukai sangat dibenci dalam masyarakat Yahudi. Mereka dianggap lintah darat, bahkan pengkhianat bangsa.

Lukas mencatat betapa besar keinginan Zakheus untuk melihat Yesus (Luk. 19:1-10). Masalahnya adalah ia terhalang orang banyak karena tubuhnya pendek. Bisa jadi, orang-orang yang mengenalinya sebagai pemungut cukai sengaja menghalang-halanginya.

Mutungkah Zakheus? Tidak! Mengeluhkah dia karena keterbatasannya? Tampaknya juga tidak! Ia gigih mencari jalan untuk melihat Yesus. Tanpa malu-malu, dia berlari dan memanjat pohon ara. Tindakannya itu mungkin membuat orang terpingkal-pingkal.

Mengapa motivasinya begitu besar? Kelihatannya, dia penasaran akan pribadi Yesus. Ia mungkin pernah mendengar, Yesus bukan sembarang guru. Yesus dari Nazaret menerima orang apa adanya. Bahkan salah seorang murid-Nya mantan pemungut cukai.

Zakheus agaknya pribadi yang kesepian. Ia sadar, jabatannya itu tak disukai orang. Kalaupun ada yang dekat, itu sering karena ada maunya. Mereka tidak tulus bersahabat dengannya. Persahabatan itu berlandaskah hal rapuh: uang.

Tak Bertepuk Sebelah Tangan

Ternyata Zakheus tak bertepuk sebelah tangan. Dia ingin melihat Yesus. Namun, Yesus tak hanya melihatnya, melainkan menegurnya dan berkata,  ”Aku harus menumpang di rumahmu” (Luk. 19:5).

Sulit dibayangkan makna sapaan bagi Zakheus. Yesus memanggilnya. Namanya, yang kadang menjadi bahan olokan, ternyata berharga di mata Yesus. Buktinya: Yesus mau menyebutkannya. Lagi pula, menumpang di rumah orang berdosa merupakan tindakan tak biasa. Tindakan itu bermakna bahwa Yesus menganggapnya sahabat.

Tampaknya, Yesus tahu kebutuhan terdalam Zakheus—seorang sahabat. Dan Yesus bersedia menjadi sahabatnya. Itulah anugerah terbesar bagi Zakheus.

Tindakan Yesus itu membuat iman Zakheus bertumbuh. Iman itu berbuah dalam tindakan radikal—menghibahkan kekayaannya kepada orang miskin dan mengembalikan sebanyak empat kali lipat kepada orang yang pernah diperas.

Tindakan itu pastilah mengejutkan masyarakat Kota Yerikho. Apa yang dilakukannya melampaui bayangan banyak orang. Namun, itu hanyalah akibat dari perjumpaannya dengan Yesus.

Buah Iman

Baik Martin Luther maupun Zakheus telah melakukan tindakan-tindakan radikal. Semua itu bukan tanpa sebab. Mereka telah merasakan anugerah Allah sebelumnya. Mereka adalah orang-orang berbahagia sebagaimana disebutkan pemazmur: ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!” (Mzm. 32:1-2).

Dan karena itulah mereka melakukan tindakan radikal sebagai buah iman. Bagaimana dengan kita? Apa yang kita perbuat sebagai Kristen?

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa