Mengampuni? Bukan Kemustahilan!

”Tetapi, kepada kamu yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuh-musuhmu, berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu, berkatilah mereka yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang berbuat jahat terhadap kamu” (Luk. 6:27-28).
Perintah kepada para murid—yang terdengar absurd ini—dimulai dengan ucapan ”tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku”. Kata ”tetapi” merujuk pada ucapan bahagia dan kutuk pada perikop sebelumnya ketika mereka diperintahkan untuk mengandalkan Allah dan bukan yang lain. Itu berarti perintah Yesus merupakan langkah praktis dan nyata dari cara hidup mengandalkan Allah.
Buah Pengandalan Diri kepada Allah
Perhatikan! Mengasihi musuh, berbuat baik kepada yang membenci, memberkati yang mengutuk, berdoa bagi yang menjahati kita sejatinya merupakan buah dari pengandalan kepada Allah. Pengandalan pada diri sendiri membuahkan balas dendam. Atau balas dendam biasanya terjadi karena kita merasa tak mungkin ada orang yang akan menghukum orang itu, Allah pun tidak. Kita berpikir hanya kitalah yang peduli dengan nasib kita sendiri. Sehingga kita merasa perlu membalas orang yang telah membuat kita susah.
Standar Yesus memang beda. Dan itulah yang ditekankan Sang Guru kepada para murid-Nya, juga kita sekarang ini. Para murid diminta untuk tidak serupa dengan dunia. Mereka adalah manusia-manusia rohani. Dan karena itu, mereka dipanggil hidup bukan secara duniawi, tetapi secara rohaniah.
Kita dipanggil meneladan doa Tuhan Yesus, ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Orang jahat, yang sungguh-sungguh jahat, sebenarnya sedikit sekali. Yang paling banyak adalah orang yang tidak tahu apa yang diperbuatnya.
Dan karena itu, Sang Guru menegaskan, ”Janganlah menghakimi, dan kamu pun tidak akan dihakimi. Janganlah menghukum, dan kamu pun tidak akan dihukum. Ampunilah dan kamu akan diampuni” (Luk. 6:37).
Yesus Orang Nazaret melarang para murid-Nya menghakimi orang lain. Bagaimana caranya agar kita lepas dari kecenderungan menghakimi orang lain? Ingatlah bahwa kita bukan hakim sesama kita. Semua manusia dicipta setara. Kita pun juga enggak hebat-hebat amat. Yang boleh menghakimi hanya Allah.
Lagi pula penghakiman hanya akan membuat diri kita capek sendiri. Sebab penghakiman pada satu hal akan merembet ke hal lainnya. Jika tidak dihentikan, akan terus membuat pikiran dan hati kita letih. Bisa jadi ada rasa puas karena kita merasa diri kita lebih hebat. Namun, kita pun jujur merasa bahwa semuanya semu. Terlebih, sekali lagi, jika kita melihat keberadaan diri. Yang akhirnya membuat kita malu sendiri.
Sehingga, ketika hati dan pikiran mulai menggoda menghakimi orang lain, kita perlu diam sejenak dan bertanya dalam hati, ”Mengapa kita melakukannya?” Jika kita tidak mampu dengan tulus menjawabnya, tak perlu kita lanjutkan. Sebab jangan-jangan itu hanya memupuk ego diri!
Kisah Yusuf
Ketimbang menghakimi, kita dipanggil untuk mengampuni. Mudahkah? Pasti tidak! Mustahil? Tentu juga tidak! Yusuf pernah mengalaminya (Kej. 45:1-15).
Pada hemat saya Yusuf merupakan sosok manusia merdeka. Dia telah bebas dari beban masa lampaunya. Apa yang dialaminya pastilah sangat menyakitkan hati. Mungkin kita maklum jika Yusuf merasa perlu memberikan sedikit pelajaran kepada saudara-saudaranya.
Mari kita bayangkan kondisi Yusuf! Dalam usia 17 tahun dia dijual oleh saudara-saudaranya sebagai budak. Dan alasan di balik tindakan tersebut ialah rasa iri. Mereka tidak mungkin protes kepada Yakub. Dan Yusuflah yang menjadi korbannya. Yusuf tidak diculik oleh orang asing untuk dijadikan budak. Tetapi, saudara-saudaranyalah yang menjadikannya budak belian.
Menjadi budak berarti hidup orang tersebut berada di tangan majikannya. Sang majikan tidak akan dituntut atas apa yang dilakukan terhadap budaknya. Dia boleh memperlakukan budak tersebut sekehendak hatinya.
Itu jugalah yang dialami Yusuf. Potifar begitu mudahnya menjebloskannya ke dalam penjara. Tak perlu proses hukum karena majikan selalu benar dan budak selalu salah.
Tetapi, itu tidak dilakukan Yusuf. Dia melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Dia percaya apa yang terjadi pada dirinya merupakan cara Tuhan untuk menjadikan dirinya berkat bagi orang lain.
Yusuf tidak merasa perlu memberi pelajaran kepada Saudara-saudaranya karena dia menyadari bahwa Allah mengizinkan semua itu terjadi untuk kebaikan dirinya. Tidak saja dirinya, tetapi negara di mana dia tinggal, dalam hal ini Mesir, juga negara-negara tetangga. Bahkan keluarga Yakub pun bisa membeli gandum di Mesir.
Perhatikan: ”Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.” (Kej. 45:4-5)
Yusuf merupakan sosok manusia merdeka. Dia telah merdeka dari beban masa lampaunya. Bahkan dia mengatakan kepada saudara-saudaranya untuk tidak bersusah hati dan menyesali diri.
Bisa jadi dalam benak saudara-saudaranya terlintas adanya kemungkinan balas dendam. Bukankah sekarang dia telah menjadi orang kedua dalam pemerintahan Mesir?
Yusuf adalah manusia merdeka dan dia mengajak saudara-saudaranya untuk melihat masa lampau dari perspektif masa kini. Yusuf telah merdeka dari beban masa lampaunya. Dan karena itulah dia mampu membebaskan saudara-saudaranya pula.
Hanya orang merdekalah yang mampu membebaskan orang lain. Bagaimana mungkin orang membebaskan orang lain, jika dia sendiri belum merasa merdeka.
Seandainya Yusuf belum merasa merdeka, pastilah balas dendam menjadi agenda pribadinya. Dan apa yang dilakukannya pasti akan didukung, atau setidaknya orang lain bisa memahami apa yang dilakukannya.
Namun, itu tidak dilakukan Yusuf. Yusuf belajar dari masa lampau. Waktulah yang mendewasakan dirinya. Dia merasa merdeka. Dan karena itulah dia mampu membebaskan saudara-saudaranya dari beban masa lampaunya.
Saudara-saudaranya pastilah juga merasakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan sejati bukanlah kemerdekaan dari rasa lapar saja, tetapi juga kemerdekaan dari kesalahan yang pernah diperbuat. Mereka masih membawa beban masa lampau. Dan beban masa lampau yang terberat ialah beban kesalahan masa lampau. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan selama 13 tahun.
Ingatlah Doa Bapa Kami! Yesus tidak hanya berbicara soal kebutuhan makanan, tetapi juga kebutuhan pengampunan. Yesus tidak hanya bicara soal kebutuhan jasmani, namun juga kebutuhan rohani.
Sekali lagi, sebagai manusia merdeka, Yusuf telah memerdekakan orang lain. Kenyataan memang demikian: hanya orang merdekalah yang sanggup memerdekakan orang lain.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa