Mengandalkan Allah

”Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang bersandar pada kekuatan manusia fana, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN. Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang mempercayakan dirinya pada TUHAN!” (Yer. 17:5,7).
Demikianlah nubuat Yeremia. Manusia dibagi dalam dua golongan besar: yang mengandalkan manusia dan yang mengandalkan TUHAN. Kepada yang mengandalkan manusia atau kekuatannya sendiri hanya ada satu kesimpulan: terkutuk! Dan kepada yang mengandalkan TUHAN hanya ada satu kesimpulan juga: diberkati!
Sekali lagi, orang yang hanya mengandalkan upaya manusia disebut “terkutuk” karena pasti tak berhasil dan malah bangkrut. Sebaliknya, yang mengandalkan TUHAN akan ”diberkati” karena upayanya akan subur dan berbuah.
Semuanya itu merupakan muara dari dua sikap dasar yang saling bertolak belakang. Sekaligus orang diajak berpikir, hanya ada dua kemungkinan dalam diri manusia: mengandalkan TUHAN atau manusia? Mendekati atau menjauhi TUHAN? Tidak ada jalan tengah!
Persoalan besar manusia adalah mengandalkan kekuatannya sendiri. Kadang akal budi—yang dimaksudkan Allah untuk menolong manusia mengambil Keputusan sebaik-baiknya—sering membuat manusia mengandalkan diri sendiri.
Sedikit contoh: ketika semua hal telah diperhitungkan dengan cermat, manusia mungkin tidak merasa perlu lagi untuk memohon berkat Allah. Hati kita merasa tenteram karena pikiran telah membuat perhitungan secara teliti. Ya, mengapa pula kita khawatir kalau semua telah disiapkan dengan cermat. Kita merasa aman dan nyaman. Kalau sudah begini, buat apa berkat Allah, bukankah semuanya telah dihitung secara saksama?
Pemahaman macam begini menyesatkan! Baiklah kita ingat bahwa pikiran dan perasaan sejatinya adalah anugerah Allah. Jadi, kalau pikiran dan perasaan menjauhkan kita dari TUHAN, bahkan mengandalkan diri sendiri, kita mesti waspada. Ketika pikiran membuat perasaan kita nyaman dan aman—sehingga kita tidak merasa perlu Allah lagi—kita perlu hati-hati.
Ucapan Bahagia
Itu jugalah yang ditekankan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya: ”Berbahagialah, hai Kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah” (Luk. 6:20). Lukas memperlihatkan bahwa Sang Guru mengatakannya sembari memandang para murid. Sepertinya Sang Guru hendak berkata, ”Apakah Engkau merasa miskin? Apakah Engkau merasa lapar? Apakah Engkau merasa ditekan dan dianiaya?” Jika mereka mengatakan ya dalam hatinya, mereka punya alasan untuk berbahagia.
Menarik diperhatikan, untuk orang miskin tidak dikatakan bahwa mereka akan menjadi kaya, tetapi merekalah yang punya Kerajaan Allah. Miskin di sini memang bisa bermakna ganda. Yang pertama adalah miskin tanpa harta, dan yang kedua adalah orang yang bergantung pada Allah saja. Dan yang tidak punya apa-apa biasanya hanya menggantungkan dirinya hanya kepada Allah.
Kepada mereka diberi alasan bahwa mereka akan memiliki Kerajaan Allah. Kalau dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Berbahagialah kalian orang-orang miskin, karena kalian adalah anggota umat Allah.” Ya, mereka adalah anggota umat Allah.
Sebaliknya, kepada orang kaya, Sang Guru berkata, ”Celakalah kamu, hai Kamu yang kaya, karena kamu telah memperoleh penghiburanmu” (Luk. 6:24). Persoalan orang kaya adalah mereka lebih mengandalkan kekayaan yang ada pada mereka. Hatinya puas dengan kekayaan mereka. Dan itulah yang menjadi penghiburannya selama ini. Sehingga tidak ada penghiburan lain baginya.
Lukas agaknya hendak mengatakan, semua orang—baik kaya maupun miskin—semestinya merindukan Allah. Bagaimanapun, Allah Sang Sumber Kehidupanlah yang akan sunggguh-sungguh mampu memenuhi kebutuhan setiap insan. Nah, inilah yang sering dilupakan manusia—entah mereka kaya atau miskin.
Caranya?
Bagaimana caranya? Yeremia menyatakan: ”Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi sungai…” (Yer. 17:8). Memang dia ditanam di tepi air, tetapi dia sendiri yang harus merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air. Artinya: ada usaha di sini untuk mendekati sumber hidup.
Berkaitan dengan manusia pertanyaannya ialah apakah dia mau mendekati Allah. Apakah manusia mau menjadikan Allah sebagai sumber hidupnya? Dengan kata lain: apakah manusia mau menjadikan Allah sebagai pusat hidup?
Menjadikan Allah sebagai pusat hidup sejatinya merupakan tindakan logis karena Allahlah pencipta manusia. Menjauh dari Allah bukanlah tindakan logis karena yang ada hanyalah kematian semata.
Aneh rasanya jika pohon yang ditanam di tepi air menjadi sombong dan tak mau merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air. Itu sama halnya dengan pohon yang berada di tanah tandus atau berada di air asin. Dan hasilnya hanyalah kematian.
Mendekati Allah, menjadikan Allah sebagai pusat hidup, sejatinya merupakan panggilan Allah terhadap manusia. Bagaimanapun, manusia pada awalnya memang diciptakan untuk bersekutu dan bukan berseteru dengan Allah. Namun, dosa membuat manusia menjadi seteru Allah dan akhirnya cenderung mengandalkan diri-Nya sendiri.
Persekutuan manusia dengan Allah itu telah dimungkinkan dalam diri Yesus Orang Nazaret. Dalam kematian-Nya, hubungan antara manusia dan Allah dipulihkan. Konsepnya sederhana. Upah dosa adalah maut. Dan semua manusia berdosa. Namun, Yesus menanggung upah dosa itu agar manusia dapat Kembali bersekutu dengan Allah.
Kebangkitan Yesus Orang Nazaret merupakan jaminan bahwa kematian-Nya sungguh-sungguh bermanfaat bagi manusia. Kepada Jemaat di Korintus Paulus berkata, ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1Kor. 15:17-19).
Kematian dan kebangkitan Yesus Orang Nazaret sejatinya merupakan andalan kita dalam hidup ini. Jika memang demikian, anehlah rasanya jika kita masih mengandalkan manusia. Ya, aneh rasanya.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Pixabay