Pada Minggu Palma

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Bak pemimpin politik, Yesus masuk Yerusalem. Orang-orang, yang mendengar bahwa Yesus sedang di tengah jalan menuju Yerusalem, berhamburan keluar. Mereka mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru-seru: ”Hosana! Terpujilah Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Mrk. 11:9).

Hosana merupakan aliterasi dari bahasa Ibrani yang berarti ”selamatkan kami!” Dalam seruan itu tersirat harap: Yesus menyelamatkan Israel dari belenggu Roma.

Orang-orang itu agaknya percaya bahwa Yesus mampu menyelamatkan mereka. Bagaimanapun, tindakan Yesus selama ini memang sungguh luar biasa—orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, penderita kusta menjadi tahir, orang mati hidup kembali. Dari tindakan-tindakan itu, jelaslah bahwa mereka menggantungkan harap bahwa Yesus akan melepaskan bangsa Israel dari penjajahan Roma.

Menarik disimak, tindakan penyelamatan itu diharapkan muncul dari Pribadi yang mengendarai keledai.

Tuhan Memerlukannya

Pada masa itu di Palestina, keledai bukanlah hewan yang dianggap hina, melainkan terhormat. Bila raja pergi berperang, ia mengendarai kuda. Jika raja datang dengan maksud damai, ia mengendarai keledai.

Yesus masuk ke Yerusalem bukan untuk menaklukkannya secara politis, melainkan untuk menyerahkan diri-Nya. Ia datang bukan untuk berperang, melainkan menawarkan damai. Bukan paras garang, tetapi paras lemah lembutlah yang ditampilkan-Nya. Yesus datang dalam damai dan demi kedamaian. Dan keledai merupakan simbol perdamaian.

Keledai menjadi wahana kedatangan Yesus ke Yerusalem. Meski sering tak dianggap kebanyakan orang karena tak segagah kuda, lamban, dan terkesan bodoh, keledai dihargai Sang Guru dari Nazaret. Bahkan, kepada para murid yang diutus untuk menjemput keledai tersebut, Yesus berpesan, ”Tuhan memerlukannya.”

Tuhan memerlukannya! Yesus—Allah yang menjadi Manusia—tak sungkan mengakui bahwa Ia membutuhkan pertolongan keledai muda itu. Yesus tidak menyembunyikan kenyataan tersebut, Ia berkata terus terang. Ia sungguh-sungguh membutuhkan keterlibatan keledai dalam menggenapi misi-Nya—menjadi pendamai antara Allah dan manusia.

Menjadi Rekan Sekerja Yesus

Yesus memang membutuhkan peran serta keledai yang belum pernah ditunggangi orang. Kenyataan itu selaras pula dengan maksud kedatangan-Nya ke Yerusalem. Hewan yang akan digunakan untuk maksud suci haruslah hewan yang belum pernah dipakai untuk tujuan apa pun. Keledai muda itu secara tidak langsung diangkat menjadi rekan sekerja Yesus dalam menuntaskan misi-Nya: menjadi Juruselamat dunia.

Menjadi rekan sekerja Yesus dan menjadi simbol perdamaian merupakan tugas yang mesti dijalani keledai muda itu. Tak ada paksa-memaksa di sini. Yesus tidak memaksa keledai tersebut untuk tunduk kepada-Nya.

Sebaliknya, sang keledai pun kelihatannya pasrah bongkokan ’menerima tanpa syarat’ kala para murid menghamparkan pakaian mereka di atas punggungnya. Tak ada pemberontakan. Yang ada hanyalah kerelaan terlibat dalam karya Tuhan. Ia bersikap laksana hamba Tuhan: tak menolak kerja dan rindu menyenangkan hati Tuhannya.

Pada titik ini kita bisa belajar dari keledai itu. Ia pasrah bongkokan kepada Yesus orang Nazaret. Ia tidak mengeluh karena tahu Yesus sungguh memerlukannya. Dan itu untuk kebaikannya semata. Yang dilakukannya hanyalah percaya bahwa apa yang dilakukan Yesus atas dirinya sungguh baik semata.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Foto: Istimewa