Pelayanan oleh Waktu

Published by Admin on

Rasanya waktu semakin hari semakin mengancam dan menjadi musuh besar kita. Dalam masyarakat kita tampaknya waktu lebih memperbudak daripada uang. Mungkin kita pernah berkata, ”Saya ingin menyanggupi atau mengerjakan tugas itu, hanya saja saya tidak mempunyai waktu. Berpikir mengenai banyak hal yang harus saya kerjakan hari ini saja sudah membuat saya lelah.”  

Ada kecenderungan pada banyak orang, bukan mereka yang memiliki waktu melainkan waktulah yang memiliki mereka. Banyak yang merasa dirinya sebagai korban batas waktu akhir atau dead line, tertekan sebab harus siap dan selesai pada waktunya. Kita sering jumpai seseorang yang minta maaf sehubungan merasa tidak punya waktu. Ketika kita minta tolong, bisa jadi perlu disertai minta maaf untuk mengganggu waktunya sebentar.  Rasanya waktu di depan kita begitu cepat terisi, sampai-sampai kita bertanya-tanya apakah sebenarnya yang mendesak dari kita?

Pengalaman-pengalaman seperti itu menunjukkan bahwa waktu sudah menjadi buram, gelap dan tidak dapat ditembus. Waktu yang seperti itu dialami sebagai chronos. Hidup tidak lebih dari sekadar kronologi, rangkaian peristiwa dan kejadian yang secara kebetulan terjadi di luar kontrol kita.

Pengalaman waktu seperti itu dapat dengan cepat membawa kita kepada sikap fatalisme atau merasa menjadi korban keadaan. Fatalisme seperti ini sering kali  tersembunyi dalam perasaan bosan. Bosan yang tidak disebabkan oleh tidak adanya pekerjaan atau karena tidak ada apa pun yang dapat mengibur kita, tetapi bosan karena kita digerogoti oleh perasaan bahwa keputusan-keputusan yang kita ambil ternyata tanpa menyadari apa yang sesungguhnya kita katakan atau kerjakan.

Oleh karena itu, kebosanan  adalah suatu  gejala penghayatan waktu sebagai chronos. Tampak ada paradoks waktu sebagai  chronos, yakni ketika kita sedang tergesa-gesa, terlalu sibuk, mengejar dead line, namun pada waktu itu pula kita menjadi korban rasa bosan. Gejala ini menunjukkan bahwa waktu sudah menjadi buram  bagi kita.   

Hidup kontemplatif adalah hidup di mana waktu sedikit demi sedikit menjadi transparan dan tidak lagi buram. Sering kali ini merupakan proses yang sangat sulit dan lambat, meskipun  sungguh-sungguh mengandung daya mencipta kembali yang sangat kuat. Kalau kita mulai melihat bahwa berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita bukanlah sekadar terjadi dalam perjalanan kita mencari kepenuhan hidup, melainkan adalah jalan itu sendiri, sebenarnya kita mengalami suatu pertobatan sejati.

Kita diajak melihat bahwa berbagai aktivitas seperti menulis pesan, pergi ke sekolah, mengunjungi orang atau memasak, bukanlah suatu rangkaian peristiwa yang kebetulan saja harus  terjadi dan yang menghalangi kita untuk menyadari pribadi kita yang terdalam. Ketika semuanya itu  sungguh-sungguh merupakan peristiwa yang  mengandung daya ubah yang kita harapkan, sebenarnya kita mulai bergerak dari waktu yang dihayati sebagai chronos ke arah waktu yang dihayati sebagai kairos.

Kairos berarti kesempatan. Kairos adalah kesempatan yang tepat, waktu yang sejati bagi kehidupan  kita. Kalau waktu menjadi kairos bagi kita, ia akan menawarkan kesempatan dan kemungkinan tak terbatas bagi kita untuk mengubah hati. Dari yang tadinya merasa menjadi korban keadaan, beralih pada kesadaran sebagai pribadi yang dikasihi Tuhan. 

Dalam hidup Yesus setiap peristiwa merupakan kairos. Ia mengawali perjalanan pelayanan-Nya mewartakan Kerajaan Allah di hadapan umum dengan menyatakan, ”Saatnya (kairos) telah genap” (Mrk 1:15). Selanjutnya setiap saat Ia hayati sebagai kesempatan. Menjelang akhir hidup-Nya, juga dikatakan ”bahwa saat-Nya sudah tiba” (Yoh. 13:1). Artinya Ia menyongsong akhir hidup itu sebagai kairos. Dengan cara itu Ia membebaskan perjalanan hidup dari pusarannya yang fatalistik.

Inilah kabar gembira sesungguhnya. Ketika kita tahu bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam hidup, termasuk juga yang gelap, seperti perang, kelaparan, banjir, kekerasan, pembunuhan, bukan sekadar peritiwa-peristiwa yang mau tidak mau terjadi begitu saja, melainkan kesempatan bagi terjadinya perubahan hati. Yakin bahwa cinta kasih Tuhanlah yang menentukan sejarah dunia beserta apa pun yang terjadi atas kehidupan ciptaan-Nya. 

Di mana terjadi perubahan hati, maka tersingkirlah unsur-unsur yang menghambat kita untuk melihat wajah Allah yang hadir kini dan di sini. Peristiwa-peritiwa yang gelap itu menyakitkan, tetapi perlu. Yang menyakitkan itu justru menjadi kesempatan bagi kita untuk beralih mendengarkan suara lembut Tuhan.  “Jangan takut, engkau Kukasihi, damai-Ku besertamu.” 

Kita tidak perlu lagi lari dari masa kini ke tempat atau waktu lain di mana kita pikir terdapat hidup yang sebenarnya. Kita bisa melihat pernyataan pertama Kerajaan Allah, yakni  ”Saatnya (kairos) telah genap,” di tengah-tengah peristiwa-peristiwa yang sekarang terjadi. Kalau demikian tidak lagi ada kebosanan, karena setiap saat penuh dengan makna. Demikianlah waktu menjadi transparan.

Hidup kontemplatif bukanlah hidup yang memberikan beberapa saat yang baik di tengah-tengah keadaan buruk yang lebih dominan, tetapi hidup yang mengubah seluruh waktu kita menjadi suatu jendela. Melalui jendela itu dunia yang buram menjadi transparan.

Salah satu hal yang termasuk dalam inti pelayanan adalah membuat waktu menjadi transparan, agar dalam kedaan hidup yang sangat konkrit kita dapat melihat bahwa saat kita adalah saat Allah menyatakan diri, sehingga seluruh waktu adalah kairos.

Semua orang yang menderita, khsususnya mereka yang berusia lanjut, yang miskin—yang secara fisik, mental, spiritual terbelenggu—berada dalam bahaya bersikap fatalistik. Kalau kita dapat meretas rantai fatalistik dan membantu orang lain untuk melihat kesejatian  peristiwa-peristiwa yang melintas dalam hidup mereka, kita sungguh-sungguh membawa kabar baik kepada orang miskin, penglihatan kepada orang buta, dan pembebasan kepada yang terbelenggu (bdk. Luk 4:18).

Tyas Budi Legowo

Foto: Istimewa

Categories: Tala