Pemulihan Ayub dan Bartimeus

Di hadapan Allah, Ayub berkata, ”Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb. 42:2). Dan itu dilakukannya sebelum memulihkan keberadaannya.
Sepertinya penulis Kitab Ayub hendak menyatakan bahwa pengakuan iman Ayub itu tidak berasal dari keadaan serbaberes. Tidak. Pengakuan iman Ayub tidak berdasar pada situasi dirinya, tetapi karena ia mengakui kedaulatan Allah.
Doa Ayub
Bahkan, C. Bijl, dalam bukunya Ayub Sang Konglomerat, menekankan bahwa pemulihan Ayub terjadi ”setelah Ayub berdoa bagi ketiga temannya,” (Ayb. 42:10, BIMK). Allah tidak melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaan Ayub, sekalipun dia telah menyesali diri dan mencabut perkataannya.
Kelihatannya, masih menurut C. Bijl, syafaat Ayub itu merupakan bukti paling nyata bagi kekeliruan Iblis. Doa itu telah mematahkan keyakinan Iblis bahwa Ayub mengasihi Allah karena ada maunya. Tindakan Ayub memperlihatkan bahwa ia sungguh mengasihi Allah dan tanpa pamrih.
Ayub lebih dahulu memohon pengampunan Allah untuk sahabat-sahabatnya yang sehat itu ketimbang berdoa bagi kesembuhan dirinya. Ayub lebih mengutamakan kebutuhan sahabat-sahabatnya yang telah memfitnahnya. Dengan kata lain, Ayub telah menyangkal dirinya.
Tentu, Ayub ingin sembuh. Tetapi, ia agaknya tak mau memaksa Allah. Tampaknya, laki-laki dari tanah Us itu memahami bahwa bukan tanpa alasan Allah mengizinkan penyakit tetap melekat di tubuhnya. Ia menyerahkan pengharapannya kepada kedaulatan Allah saja.
Seruan Bartimeus
Pengharapan yang sama juga dimiliki seorang pengemis buta di kota Yerikho. Pengemis itu percaya bahwa Yesus sanggup memenuhi harapannya. Karena itulah dia berteriak: ”Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk. 10:47).
Dalam teriakan itu tersiratlah bahwa ia mengakui Yesus sebagai Anak Daud. Gelar ”Anak Daud” bukanlah gelar yang lazim pada masa itu. Gelar itu hendak menjelaskan bahwa guru dari Nazaret itu bukan sembarang guru, melainkan Mesias!
Gelar itu biasanya membuat gusar pemerintah Roma karena berkonotasi subversib. Tak heran, banyak orang memintanya diam. Gelar itu memang tak begitu disukai antek-antek Romawi.
Dalam teriakannya itu terselip permohonan: ”Kasihanilah aku!” Itulah alasannya berteriak. Ia ingin Yesus, Anak Daud itu, mengasihani dirinya. Keyakinan itulah yang membuatnya terus berteriak meski banyak orang memintanya diam. Ia tetap berteriak karena dia tahu Yesus adalah Anak Daud. Ia percaya karena gelar itulah Yesus akan mengasihaninya.
Nama pengemis buta itu Bartimeus—artinya anak Timeus. Namanya sendiri tak ada yang tahu. Lagi pula, mengapa pula orang perlu mengetahui nama sebenarnya? Bukankah ia sendiri buta dan profesinya pun cuma pengemis?
Di kota Yerikho, Bartimeus merupakan orang pinggiran. Lebih tepat orang yang dipinggirkan masyarakatnya—yang memahami kebutaan sebagai hukuman Allah. Namun, Guru dari Nazaret itu tidak meminggirkannya! Anak Daud itu mengabulkan keinginannya. Bartimeus pun melihat lalu ”mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.” (Mrk. 10:52).
Hidup dalam Pemulihan
Pemulihan itu tidak membuat Bartimeus tinggal dalam euforia—perasaan gembira yang berlebihan. The show must go on! Hidup terus berjalan dan harus dijalani dengan ucapan syukur—menjadi pengikut Yesus.
Mengikut Yesus berarti bersedia melakukan apa yang Yesus lakukan. Mengikut Yesus berarti meneladan Yesus dalam sikap dan tindak. Mengikut Yesus berarti hidup dalam pemulihan—hidup untuk orang lain.
Di dalam Kristus, hidup manusia dipulihkan dari hamba dosa menjadi hamba Allah. Karena itulah, hidup dalam pemulihan bukan pilihan melainkan keniscayaan!
Caranya? Setiap Kristen dipanggil untuk peka terhadap kebutuhan orang lain! Setiap Kristen perlu belajar dari Yesus yang peka terhadap kebutuhan Bartimeus dan Ayub yang peka terhadap kebutuhan sahabat-sahabatnya!
Ya, peka terhadap sekitar!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa