Perintah Baru Menuju Masyarakat Baru

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi. Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34). Demikianlah perintah Sang Guru menjelang penyaliban.

Mengapa Yesus menyebutnya perintah baru? Apanya yang baru? Bukankah Ia pernah berkata: ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”? Itu pun Yesus Orang Nazaret mengutip Kitab Ulangan? Sekali lagi, apanya yang baru?

Ukuran Kasih

Menurut Bernard Raho, SVD, kebaruan perintah itu terletak pada ukuran kasih, yaitu: kita mesti mengasihi orang lain sebagaimana Yesus mengasihi kita. Ukurannya: kasih Kristus yang kita rasakan. Inilah yang baru itu. Sehingga tidak asal mengasihi, tetapi mengasihi sebagaimana Tuhan telah mengasihi kita. Standarnya adalah kasih Tuhan sendiri.

Menarik disimak, perintah baru itu dilanjutkan dengan percakapan perihal penyangkalan Petrus. Perintah baru itu agaknya mengajak kita bersikap sebagaimana Yesus, yang siap disangkal murid kesayangan-Nya, sekaligus siap mengampuninya.

Mengasihi berarti siap dilukai. Kualitas kasih terlihat sewaktu kita rela menerima luka dan mengampuni yang melukai. Tak beda dengan mawar. Menerima keindahan mawar berarti pula menerima duri-durinya. Mengasihi mawar berarti siap dilukai.

Persoalannya: manusia mungkin siap mengasihi, tetapi nggak siap dilukai. Kita suka mengasihi, namun tak rela dilukai. Lalu, bagaimana kita bisa belajar mengampuni, jika kita tak pernah merasa terluka? Sejatinya pengampunan adalah dasar kasih. Menurut William Barclay, ”Tanpa pengampunan, kasih niscaya lenyap.”

Dan mengasihi adalah bukti kemuridan. Yesus menegaskan: ”Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh. 13:35).

Saling mengasihi merupakan penanda utama setiap Kristen. Ketika mereka saling mengasihi—dan itu berbeda dengan kecenderungan umum—dunia tahu bahwa mereka adalah murid Yesus. Itu pun bukan perkara mudah.

Perselisihan Pendapat

Dalam kisah pembaptisan Kornelius, persekutuan kasih jemaat perdana diuji. Perjumpaan Petrus dan Kornelius menimbulkan reaksi keras di kalangan warga jemaat. Lukas mencatat: ”Ketika Petrus tiba di Yerusalem, orang-orang dari golongan yang bersunat berselisih pendapat dengan dia. Kata mereka, ’Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka’” (Kis. 11:2-3).

Ada perselisihan pendapat. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) tertera: ”orang-orang Yahudi yang sudah percaya itu, mencela Petrus.” Mereka mengkritik Petrus karena—dalam anggapan mereka—telah bertindak melampaui wewenangnya.

Reaksi itu wajar karena ada yang luar biasa. Tak perlu kita terlalu menyalahkan orang-orang Yahudi itu. Bagi mereka, kisah pertobatan Kornelius merupakan hal yang sama sekali baru. Tradisi yang dibangun dalam jemaat perdana kala itu masih terbatas dalam lingkungan Yahudi. Tak heran, mereka melihat Petrus sebagai pelanggar tradisi. Sebab itu, mereka menegurnya.

Saling Mendengarkan

Agaknya, kita perlu belajar dari warga jemaat perdana. Mereka berani menyatakan perbedaan pendapat, bahkan kepada pemimpin jemaat masa itu. Kadang orang tak berani mengkritik karena melihat orang atau jabatannya. Sepertinya mereka sungguh mengasihi Petrus. Mereka tak ingin sang pemimpin berbuat salah. Mereka mengkritik berdasarkan kasih. Mereka menegur dalam kasih.

Mereka tak mau memetieskan masalah. Masalah harus dikemukakan. Mereka tidak kasak-kusuk, sembunyi-sembunyi, dan membuat masalah sebagai rahasia umum.

Namun, yang juga menarik: mereka diam kala Petrus menjelaskan tindakannya. Mereka mengkritik dengan mulut mereka, tetapi mereka juga mau mendengarkan penjelasan Petrus dengan telinga mereka. Persoalan bagi banyak kritikus ialah lebih siap membuka mulut, ketimbang membuka telinga. Dan orang Yahudi itu siap membuka mulut dan telinga!

Menarik diperhatikan, Petrus bersikap terbuka terhadap kritik. Mungkin ia sedikit kaget sewaktu mendengarnya. Akan tetapi, agaknya dia meyakini, kritik itu disampaikan demi kepentingannya sendiri. Lagi pula, mengasihi berarti siap menerima kritik dan siap dilukai.

Petrus lalu memberikan penjelasan secara terbuka. Ia tidak sedang membela diri. Dia merasa perlu mempertanggungjawabkan tindakannya.

Tanggung jawab merupakan kata kunci dalam pertemuan di Yerusalem itu. Para pengkritik—karena merasa turut bertanggung jawab dalam kehidupan jemaat—mengkritik Petrus. Dan Petrus pun tidak lepas tangan.

Kesimpulan akhir melegakan semua pihak. Lukas mencatat: ”Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya, ’Jadi, kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.’” (Kis. 11:18).

Kuncinya: kesediaan mendengarkan. Petrus mendengarkan kritikan dan mereka mendengarkan alasannya. Kala Petrus dan warga jemaat saling mendengarkan, sejatinya mereka mendengarkan suara Tuhan sendiri.

Mereka tak hanya ingin mendengarkan suaranya sendiri. Mereka siap mendengarkan suara orang lain. Akhirnya mereka mendengarkan suara Tuhan.

Itulah visi masyarakat baru (Why. 21:1-5). Setiap orang mendengarkan suara Tuhan sendiri! Dan Tuhan pun dimuliakan!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa