Pilihlah Kehidupan

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Pilihlah kehidupan, supaya kamu hidup…” (Ul. 30:19). Demikiankan ajakan Musa kepada umat Israel. Ajakannya sederhana dan logis. Jika mau hidup, ya pilihlah kehidupan. Sebaliknya, kalau mau mati, ya pilihlah kematian.

Sesungguhnya tak ada orang yang mau mati. Semua makhluk normalnya ingin hidup. Makanan menjadi kebutuhan primer karena manusia ingin hidup. Mengapa rumah sakit penuh? Sebab banyak orang ingin hidup. Tentunya, hidup dengan sehat dan tidak sakit-sakitan.

Namun demikian, kehidupan yang dimaksudkan Musa bukan sekadar hidup, tetapi hidup yang berpaut kepada Allah. Sebagai orang yang telah merasakan bagaimana Allah menyelamatkan umat Israel dari Mesir, Musa menyadari, tak ada kehidupan tanpa Allah, Sang Sumber kehidupan itu sendiri.

Tak heran, jika selanjutnya Musa menyatakan kiat untuk hidup semacam itu: ”dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya. Sebab, Dialah hidupmu dan yang membuat kamu lama tinggal di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, nenek moyangmu, untuk diberikan kepada mereka.” (Ul. 30:19-20).

Dengan kata lain, kalau ingin sungguh-sungguh hidup, umat Israel harus mengasihi Allah, mendengarkan suara-Nya, dan berpaut kepada-Nya. Ada kaitan erat antara mengasihi dan mendengarkan pribadi yang dikasihi. Aneh rasanya, kita mengasihi, namun enggan mendengarkan suara orang yang kita kasihi.

Jelas dari perintah Musa, mengikuti kehendak Allah merupakan bukti bahwa umat mengasihi-Nya. Dan hanya dengan itu mereka akan tetap berpaut dengan-Nya.

Sekali lagi, itu pun cuma soal pilihan. Allah memberikan kehendak bebas dalam diri manusia. Kalau mau terus nyambung dengan-Nya, maka gelombang kita harus sama dengan gelombang-Nya. Caranya? Terus mendengarkan suara-Nya (Mzm. 1). Inilah yang dimaksud dengan spiritualitas. Ada banyak definisi tentang spiritualitas. Namun, pada hemat saya, spiritualitas adalah selama kita terus nyambung dengan Allah. Itu berarti berpikir, bersikap, dan bertindak sebagaimana Allah.

Menjadi Murid

Yesus Orang Nazaret pun memberikan pilihan-Nya. Perhatikan kata-kata-Nya: ”Jikalau seorang datang kepada-Ku…”.  Jelas ini pilihan: jika seseorang datang kepada Yesus! Jika tidak, ya enggak apa-apa? Akan tetapi, kalau mau datang, ada syaratnya.

Mari kita perhatikan konteks pembicaraan Yesus dengan para muridnya perihal kemuridan. Lukas dengan baik menampilkan sebuah kenyataan: ”Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya” (Luk. 14:25).

Inilah kenyataannya: banyak orang berduyun-duyun mengikti Yesus. Lukas tidak menyatakan dengan jelas berapa banyak orang yang berduyun-duyun itu. Tetapi, kita bisa menduga, jumlahnya pasti tidak sedikit. Dan kita memang tidak pernah tahu apa motivasi mereka mengikuti Yesus.

Berkaitan dengan perjalanan, yang dimaksudkan Lukas adalah perjalanan ke Yerusalem, tempat di mana Yesus menuntaskan misi hidup-Nya: mati dan bangkit. Nah, persoalan besarnya ialah apakah orang yang berduyun-duyun ini akan setia mengikuti Yesus hingga Yerusalem atau tidak.

Sang Guru tampaknya membedakan antara orang yang datang dan orang yang menjadi murid. Yang datang belum tentu menjadi murid. Memang banyak yang datang. Itu memang patut dihargai. Tetapi, apakah mereka layak disebut murid? Ini memang perkara berbeda.

Menjadi murid memang bukan sekadar datang. Menjadi murid pasti beda dengan menjadi pengunjung. Pengunjung dapat datang dan pergi kapan saja. Kalau ada waktu datang, kalau nggak punya waktu, ya nanti saja! semuanya tergantung mood, perasaan hati, dan tentu saja sangat situasional sifatnya. Menjadi murid tidak menunggu mood, tidak tergantung perasaan hati, dan sifatnya tentulah kekal.

Menjadi murid juga berbeda dengan simpatisan. Simpatisan tentu saja hubungannya lebih dekat ketimbang pengunjung. Tetapi, semuanya itu berdasarkan simpati seseorang. Simpati, menurut KBBI, berarti rasa kasih, rasa setuju, rasa suka, keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Ujung-ujungnya perasaan lagi. Dan kita sulit mengharapkan komitmen dari para simpatisan. Sekali lagi, perasaan seseorang cenderung berubah, bahkan senantiasa berubah.

Sedikit contoh. Simpatisan partai tertentu akan menarik dukungannya jika ada partai lain yang dirasa lebih baik. Simpatisan mudah berubah haluan karena perasaan manusia memang cenderung berubah.

Dan Yesus memanggil orang untuk tidak hanya menjadi pengunjung, simpatisan, tetapi menjadi murid. Dan menjadi murid ada syaratnya.

Syarat-syarat

Pertama, membenci orang-orang terdekat, bahkan diri sendiri. Dalam gaya bicara orang Semit, menurut Rama Gianto, ungkapan ”membenci” biasa dipakai untuk menggambarkan sikap tidak memihak. Begitu pula ”mengasihi” maksudnya sama dengan berpihak.

Para murid diingatkan agar tidak lagi memihak pada ikatan-ikatan kekerabatan atau mengikuti naluri menyelamatkan diri. Mereka harus menomorduakannya. Tuntutan Yesus jelas. Dia ingin semua hubungan keluarga dinomorduakan karena Allahlah yang menciptakan semua hubungan itu. Aneh bukan, jika kita menomorduakan Allah, yang mengaruniakan semua hubungan keluarga itu.

Kedua, memikul salib dan mengikuti Yesus. Ungkapan ini janganlah dipahami sebagai ajakan untuk mencari-cari salib. Sang Guru memikul salib, para murid-Nya pun harus memikul salibnya sendiri. Demikianlah mereka meneladani Kristus.

Frasa ”memikul salib” dan ”mengikut aku” tak bisa dipisahkan. Bila dipisahkan, beban yang dipikul bisa-bisa bukan lagi salib yang membawa ”keselamatan”, tetapi berhenti pada penderitaan tanpa ujung pangkal.

Salah satu teladan dalam memikul salib adalah belajar mengampuni. Dalam suratnya kepada Filemon, Paulus menasihati Filemon untuk menerima kembali hambanya. Tampaknya Onesimus adalah orang yang pernah berbuat salah kepada Filemon. Kelihatannya dia adalah budak yang melarikan diri dari rumah Filemon, dan bertobat setelah bertemu Paulus. Paulus meminta Filemon untuk menerima Onesimus bukan sebagai budak, tetapi sebagai saudara seiman.

Ketiga, melepaskan harta milik. Syarat ini disebut sesudah perumpamaan mengenai pentingnya membuat anggaran sebelum membangun dan memperhitungkan kekuatan sendiri sebelum berperang (Luk. 14: 28-32).

Itu berarti, kita harus belajar mempertanggungjawabkan rencana penting dengan cara matang. Hal menjadi murid bukanlah hikmat sesaat dan mudah berubah menurut keadaan. Orang harus memikirkannya secara matang—tak hanya keberanian memulai, tetapi juga kemampuan meneruskan dan menerima konsekuensinya.

Seorang murid harus bersikap merdeka terhadap harta. Yesus mengajak para murid-Nya melepaskan diri dari ikatan terhadap kekayaan. Lukas sungguh memberi perhatian kepada orang miskin dan mendorong pembacanya memberi pertolongan. Karena itu, perlu sikap merdeka terhadap harta.

Itulah semua syarat menjadi murid Yesus. Pertanyaannya: maukah kita menjalaninya? Sejatinya, menjadi murid merupakan jalan kehidupan.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa