Pulanglah ke Rumahmu!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah dilakukan Allah kepadamu” (Luk 8:39). Demikianlah perintah Yesus kepada orang yang telah dibebaskan dari roh jahat.

Sebenarnya dia ingin sekali mengikut ke mana pun Yesus pergi. Dia ingin menjadi sama seperti para murid lainnya. Dia—yang telah mengalami pembebasan itu—agaknya merasa perlu membalas budi kepada Yesus Orang Nazaret. Menarik disimak, Yesus menyuruh orang itu pulang.

Kisah Lelaki dari Gerasa

Mengapa Yesus menyuruhnya pulang? Kemungkinan besar karena laki-laki itu memang sudah lama tak pulang ke rumahnya. Lukas mencatat: ” Orang itu dirasuki oleh setan-setan dan sudah lama ia tidak berpakaian. Ia tidak tinggal dalam rumah, tetapi di pekuburan” (Luk 8:27).

Keadaannya memang sudah tak normal lagi. Bisa jadi, ada anggota keluarga yang malu dengan keadaannya itu. Pulang ke rumah menjadi penting dan bermakna karena perubahan itu pastilah menyenangkan hati keluarganya.

Yesus menyuruhnya pulang ke rumah bukan karena tidak membutuhkan pelayanannya, tetapi karena kesaksian laki-laki tersebut akan sangat efektif. Dia bisa menjadi saksi hidup mengenai kepedulian Allah. Mengapa? Karena dia telah merasakan sendiri bagaimana Allah melakukan tindakan konkret terhadap dirinya. Pengalaman hidup itu merupakan kisah yang akan membuat orang lain mengenal dan merasakan kasih Allah itu.

Dan laki-laki itu pun menaati perintah Yesus itu. Lukas mencatat dengan jelas: ”Orang itu pun pergi ke seluruh kota dan memberitahukan segala sesuatu yang telah dilakukan Yesus atas dirinya” (Luk 8:39). Laki-laki itu tak hanya pulang ke rumahnya, tetapi malah mengelilingi kota itu dan memberitahukan apa yang telah diperbuat Yesus.

Kisah Kita

Sebenarnya yang dialami lelaki dari Gerasa juga kisah kita. Adakah di antara kita yang tidak merasakan kesulitan dalam hidup? Jawabnya, pasti sepakat, tidak ada. Kita semua pernah mengalami kesulitan hidup. Hanya sampai di situ? Pasti tidak. Karena semua itu sebenarnya masa lalu. Bagaimanapun kita masih hidup. Dengan kata lain, Allah telah menyertai kita menjalani kesulitan hidup itu. Dan kalau mau jujur, kita semua bisa belajar dari kegagalan itu sendiri.

Dalam salah satu bukunya, Regina Brett menulis: ”Ketika Anda tidak mendapatkan apa yang Anda inginkan, Anda mendapatkan sesuatu yang lebih baik—pengalaman. Dan pengalaman orang percaya sejatinya adalah pengalaman bersama Allah.”

Itu jugalah kisah Israel. Melalui Nabi Yesaya, Allah berfirmanAllah berfirman, ”Buah anggur yang masih ada airnya tidak dibuang, tetapi dijadikan air anggur. Begitu juga bangsa-Ku tak akan Kubinasakan seluruhnya, sebab di antara mereka masih ada yang mengabdi kepada-Ku” (Yes. 65:8). Ya, segala kesulitan hidup kita sejatinya masih memperlihatkan ada berkat Allah di dalamnya.

Tak hanya lelaki dari Gerasa atau Israel, kita pun punya pengalaman bersama Allah. Kita punya cerita. Itu jugalah mengapa sejarah dalam bahasa Inggris disebut history—karena setiap orang punya cerita, punya kisah yang bisa dibagikan.

Sesungguhnya, ini jugalah tugas utama gereja. Sebagai kumpulan orang yang telah dimerdekakan dan menjadi milik Kristus (Gal. 3:23-29), gereja diutus untuk memberitahukan kasih Kristus kepada dunia sekitarnya. Dan dunia yang paling kecil adalah, mengutip syair lagu, Ian Antono, ”rumah kita sendiri”. Dan panggilan kita juga adalah pulang ke rumah kita masing-masing.

Mudahkah menjadi saksi di rumah kita sendiri? Jawabnya tentu tidak mudah. Sebab orang-orang di rumah pasti tahu keseharian kita—tahu hitam merah kita. Sehingga tak mudah bersaksi ketika apa yang kita lakukan berbeda dengan apa yang dikatakan.

Namun, yang juga tidak boleh kita lupa adalah rumah sendiri adalah sarana yang tepat untuk belajar menceritakan kebersamaan kita dengan Allah. Di rumah sendiri itu kita belajar menyatukan kata dan karya. Dan ketika kata dan karya menyatu, kesaksian kita di luar rumah akan sungguh-sungguh efektif dan pada akhirnya efisien.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa