Sepuluh Firman

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 5 Juli 2024 | Kel. 20:1-2

Apakah yang ada di benak Saudara ketika mendengarkan frasa ”Sepuluh Firman”? Kemungkinan kita merasa jengah. Sepuluh Firman identik dengan sekumpulan kata jangan. Jangan begini, jangan begitu. Mungkin kita beranggapan, Sepuluh Firman telah kehilangan geregetnya. Sekumpulan kata ”jangan” terkesan melawan arus; dan pasti tidak populer. Lagi pula pendidikan modern mengajari orang tua untuk tidak lagi memakai kata ”jangan”. Sebab, anak makin dilarang, makin menjadi.

Kita, orang percaya abad ke-21, sepertinya lebih menyukai Hukum Kasih yang bernada lebih simpatik dan tidak bertele-tele. Kalau dihafal pun, kita lebih suka menghafal Hukum Kasih ketimbang Sepuluh Firman.

Hukum kasih menggunakan pendekatan positif, sedangkan Sepuluh Firman menggunakan pendekatan negatif. Hukum Kasih mengajak kita untuk melakukan apa yang baik, sedangkan Sepuluh Firman mengajak kita untuk tidak melakukan apa yang buruk. Mana yang lebih kita sukai? Kemungkinan kita lebih menyukai Hukum Kasih. Terlebih, yang mengatakannya Yesus Kristus sendiri.

Lalu, mengapa orang Kristen tidak menghilangkan Sepuluh Firman ini? Mengapa para pengikut Kristus tidak menghilangkan Perjanjian Lama? Bukankah Perjanjian Baru sudah cukup lengkap dan tuntas sebagai pegangan iman Kristen?

Jawabnya ada pada kalimat Yesus Kristus sendiri saat memperkenalkan Hukum Kasih: ”Pada kedua perintah inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Yesus tidak ingin menghilangkan Taurat; Ia tidak bermaksud menghilangkan Sepuluh Firman.

Sejatinya ketika membaca Sepuluh Firman, baik jika mata hati kita tidak langsung tertumbuk pada sekumpulan kata ”jangan” tadi. Tak boleh kita lupa ada kalimat pembuka yang menjadi dasar Sepuluh Firman, yakni: ”Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.”

Di sini tampaklah hubungan khas itu, yakni hubungan antara tuan dan hamba. Israel, sebagai bangsa budak, dipulihkan keadaannya oleh TUHAN menjadi bangsa yang merdeka, di tanah mereka sendiri, dan menjadi umat kepunyaan TUHAN sendiri. Sepuluh Firman harus dimengerti sebagai tanda perjanjian antara TUHAN dan umat-Nya. Dan bagi TUHAN, Sepuluh Firman menjadi tolok ukur untuk menilai kesetiaan umat Israel kepada-Nya.

Semena-menakah aturan ini? Tentu tidak! Israel masih boleh memilih apakah mereka masih mau menjadi bangsa merdeka dengan Allah sebagai tuan mereka atau sebagai bangsa budak dengan bangsa Mesir sebagai tuan mereka? Pilihan ada pada Israel.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar:

Foto: Unsplash/Aaron Burden