Sirik Tanda Tak Mampu
”Guru, kami melihat seseorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Mrk. 9:38). Demikianlah laporan Yohanes kepada Yesus.
Tampaknya, Yohanes, sebagai seorang pengikut Yesus, tak rela jika ada orang lain yang melakukan perbuatan ajaib atas nama Sang Guru. Di mata Yohanes, hanya para pengikut Yesuslah yang boleh melakukan perbuatan ajaib atas nama Yesus. Bukankah mereka adalah orang-orang terdekat Yesus?
Yohanes tidak sendirian. Para murid lainnya agaknya juga merasa bahwa mereka orang-orang istimewa. Bukankah Yesus sendiri yang telah memilih mereka dari kalangan orang banyak? Sebagai orang pilihan mereka beranggapan bahwa hanya merekalah yang boleh melakukan mukjizat-mukjizat dalam nama Yesus.
Mukjizat adalah Karunia
Mereka tidak sendirian. Pada abad XXI ini para murid Yesus pun terkadang risi jika ada kelompok-kelompok yang mengembangkan karunia penyembuhan.
Mungkin kita juga perlu bertanya dalam hati sekarang: ”Bagaimanakah perasaan kita jika ada gereja-gereja yang melakukan tindakan-tindakan penyembuhan dalam nama Yesus? Risikah? Jangan-jangan kita juga nggak rela jika ada kelompok-kelompok yang melakukan hal tersebut?”
Yesus dengan tegas menyatakan kepada para murid-Nya: ”Jangan kamu cegah dia! Sebab, tidak seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Siapa yang tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (9:39-40).
Butir Pelajaran
Tampaknya, Yesus sedang memberikan pelajaran kepada para murid dalam hal ini. Pertama, mereka tak perlu marah kalau ada orang yang mengusir setan dalam nama Yesus. Sesungguhnya mereka pun percaya kepada Yesus. Jika tidak, tentu mereka tidak akan melakukan penyembuhan itu dalam nama Yesus.
Kedua, yang tak boleh dilupakan pula, mukjizat adalah karunia. Jika ada orang yang melakukan perbuatan-perbuatan ajaib dalam nama Tuhan, dan Tuhan sungguh berkenan, maka mukjizat pasti terjadi. Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa mukjizat itu terjadi dalam nama Tuhan Yesus. Dengan kata lain, mukjizat itu tidak berasal dari orang itu sendiri. Akan tetapi, Tuhan berkenan melakukannya. Kalau Tuhan, mau nama-Nya dipakai, masak kita marah?
Persoalannya ialah banyak orang lupa—berkait mukjizat—bahwa mukjizat adalah karunia. Orang akhirnya lebih berfokus kepada manusianya, dan bukan Allah sebagai pemberi karunia itu. Yang dimuliakan sering kali bukan Allah, tetapi manusianya. Jangan kita lupa bahwa manusia hanyalah alat.
Ketiga, di sinilah persoalan para murid Yesus. Ketika mereka mencegah orang-orang itu melakukan mukjizat dalam nama Yesus, agaknya mereka tidak rela jika ada orang menjadi lebih terkenal dari mereka. Mereka lupa bahwa mukjizat adalah karunia.
Akan tetapi, memang itulah yang sering terjadi bukan? Ketika ada orang sanggup melakukan mukjizat, maka banyak orang berbondong-bondong datang kepadanya dan mengelu-elukan dia. Mereka lupa bahwa semuanya itu sejatinya hanyalah karunia Allah.
Kalau sudah begini, rasa sirik atau iri akan makin menebal. Mereka iri karena sesungguhnya merekalah yang ingin menjadi terkenal. Dan, sebagaimana ungkapan anak muda tahun 80-an, ”Sirik memang tanda tak mampu!”
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Vanderbilt University Collection: Art in the Christian Tradition