Tuhan Baik

Ketika beberapa tahun silam saya mengadakan sebuah pelatihan penulisan, ada teman kuliah yang menghubungi saya untuk ikut mendaftar, Josia, namanya. Saya mengingatnya sebagai adik kelas satu komisi pelayanan. ”Tapi saya membawa istri untuk mendampingi, Kak,” katanya. Saya terkejut, bertahun-tahun tak jumpa, ternyata dia harus menggunakan kursi roda, sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas.
Dalam keterbatasannya dia berusaha aktif dalam pelatihan tersebut. Kami belajar menuliskan betapa Tuhan baik dalam hidup kami. Dan ketika ada kesempatan mengobrol dengan dirinya, dia menggambarkan keterbatasannya dalam melakukan aktivitas: ”Saya sudah menggenggam sendok yang berisi nasi, namun ketika saya mengangkatnya, sendok itu terjatuh.” Saat itu dia juga menceritakan betapa pilu hatinya, sebagai kepala keluarga tidak dapat memberikan nafkah kepada keluarganya. Saya menimpali, ”Namun, Tuhan baik, kamu dikaruniai istri yang setia dan tulus. Anak-anak pun pandai dan taat kepada Tuhan. Doa dan kehadiran, itu adalah dukungan kepada keluarga yang sangat besar artinya.”
Sekian tahun berlalu saya dan beberapa teman mengunjunginya pada suatu minggu. Tubuhnya sudah lemah, tetapi dia masih mengenali kami dan berkomunikasi dalam keterbatasannya.
Beberapa hari lalu dia berpulang ke rumah Bapa dengan dikelililingi istri, anak-anak, dan handai tolan. Satu per satu memberikan dukungan kepada keluarga yang ditinggalkan dan mengisahkan tentang dirinya.
Melihatnya terbaring dengan tenang di rumah duka, dikelilingi orang-orang yang mengasihinya, sepertinya inilah akhir dari percakapan kami berdua, ”Tuhan baik, Josia. Inilah kisah yang akan tertulis tentang kenangan akan dirimu.”
Tjhia Yen Nie | Sobat Media
Foto: Unsplash/Henry Be