Wonder Woman

Sabtu malam itu saya menginap di tempat kos anak saya di negeri tetangga, terdengar suara sekelompok perempuan berceloteh riang di ruang tamu. Ternyata, si mbak asisten rumah tangga di kos kedatangan teman-temannya. Akhirnya saya pun ikut mengobrol dengan mereka. ”Sudah berapa lama di negara ini? Apa pekerjaannya? Betah, ngga?” saya memberikan pertanyaan-pertanyaan sambil lalu.
”Saya sudah 5 tahun di sini, mengurus 2 rumah, 2 anak dan 1 kucing, sudah seperti wonder woman,” jawab salah satu dari mereka sambil menjelaskan pekerjaannya. ”Kucing?” tanya saya. ”Iya, kucingnya sakit ginjal, jadi salah satu tugas saya setiap hari memberikan suntikan obat kepada kucing itu, rutin membawa ke dokter, yang biaya perawatannya lebih besar dari gaji saya sebulan.” Saya pun segera membayangkan kucing jenis tertentu yang mahal atau bulunya lebat. ”Kucing jenis apa, Mbak? Kucing anggorakah?” ”Bukan, Kucing biasa…, kucing Jawa.” Kami pun tertawa bersama.
”Kalau saya sudah 10 tahun di sini, pernah kerja dengan majikan bule, tapi majikan yang sekarang anaknya 2, sudah besar, jadi saya ngga ngurusin mereka, cuma ada 1 anjing yang jompo,” temannya menimpali. ”Hah, anjing jompo?” saya balik bertanya, ”Iya… anjingnya sudah tua, jadi harus dirawat seperti layaknya orang jompo, dipakaikan pamper tiap hari, diberi vitamin, juga rutin check up ke dokter.”
Pembicaraan itu mengalir begitu saja dengan akrab. Saya pun bertanya kepada mereka, apakah tidak merasa rindu dengan kampung halaman, jika kerja bertahun-tahun dan hanya pulang saat lebaran. Bagaimana dengan anak-anak yang ditinggalkan? ”Saya malah kalau bisa pulangnya 2 tahun sekali saja, setiap pulang uang gajian berbulan-bulan langsung habis,” seorang dari mereka menjawab. ”Makanya, kamu kalau pulang jangan saat lebaran,” kata yang lain. ”Ah, ya susah… banyak yang menunggu.”
”Mbak, kerja bertahun-tahun harus bisa mengumpulkan uang, sebagian harus ditabung, diinvestasikanlah, jangan dihabiskan semua, kan kalau sudah tua ngga bisa kerja kayak wonder woman gini.” Saya ikut menimbrung.
”Saya harus bekerja untuk membiayai anak, uang sekolah, kebutuhan keluarga sehari-hari di kampung, Bu!” sahut yang lain.
Tak terasa hari sudah larut malam, mereka pun kembali ke rumah majikannya masing-masing sambil berjanji untuk melakukan aktivitas bersama di hari Minggu saat mereka libur, jalan-jalan, main voli, makan bersama, atau sekadar duduk-duduk di taman kota, melepaskan penat setelah seminggu bekerja. Dan saat saya keluar di hari Minggu, saya pun bisa mengenali wajah dan gaya mereka, dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang bersliweran di tengah-tengah ramainya suasana kota. Wajah wonder woman, pekerja migran Indonesia.
Tjhia Yen Nie | Sobat Media
Foto: Unsplash/Yusron El Jihan