Yerusalem, Yerusalem

Yesus mengeluh (Luk. 13:31-35) Tak mudah memahaminya. Tak hanya kita, manusia Indonesia abad XXI, orang-orang pada masa Yesus pun sulit menerima kenyataan itu.
Bagi bangsa Yunani, salah satu sifat Allah adalah apatheia, yang berartiketidakmampuan secara total untuk merasakan emosi apa pun. Pathos berarti penderitaan. Apathos atau apatheia berarti bahwa Allah, yang sempurna, tak mungkin merasakan derita.
Dalam pemahaman Yunani itu, hanya pribadi yang punya rasalah yang merasakan derita. Jika Allah mempunyai rasa, Dia masih dikuasai oleh perasaan-Nya. Itu berarti perasaan lebih berkuasa dari Allah. Jika demikian, siapa yang berhak disebut mahakuasa: Allah atau perasaan? Tetapi, Lukas mencatat nada keluhan Yesus.
Keluhan itu bukan tanpa sebab. Yesus mengeluh karena Yerusalem, mengutip gubahan H.A. van Dop dalam Kidung Jemaat 155, ”tak lagi menjunjung citra sorga”. Menjunjung citra surga. Sejatinya, itulah panggilan bagi Yerusalem.
Yerusalem: Kota Damai yang Kudus
Mulanya, Allah berjanji kepada Abraham: ”Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke Sungai Efrat, sungai yang besar itu, yakni tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi dan orang Yebus itu” (Kej. 15:18-21).
Sebelumnya, Yerusalem dikuasai orang Yebus. Daud merebutnya dan menjadikannya ibukota kerajaan menggantikan Hebron. Nama Yerusalem sendiri sering dikaitkan dengan ”damai” (Ibrani syalom). Lumrahlah, jika jika banyak orang menyebutnya kota damai.
Dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru (PB) nama Yerusalem dialihaksarakan menjadi Hierousalem. Bagian pertama langsung mengingatkan orang pada kata Yunani hieros, artinya ’kudus’. Yerusalem berarti Salem yang kudus. Dengan demikian, Yerusalem bisa disebut Kota Damai yang kudus.
Daud dalam mazmurnya mengingatkan umat untuk mencari wajah Tuhan (Mzm. 27:8). Mencari wajah Tuhan berarti menjadikan Tuhan sebagai fokus dan pusat hidup. Dengan kata lain, Tuhanlah yang terutama dalam diri manusia.
Sayangnya, itulah yang tidak dilakukan Yerusalem, Yerusalem lebih menggugu kehendak hatinya sendiri. Mereka tidak menjadikan Tuhan sebagai pusat hidup mereka.
Dalam pandangan Paulus, mengutip suratnya kepada jemaat di Filipi, ”ilah mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (Flp. 3:19). Fokus mereka tak lagi kepada kemuliaan Allah, tetapi kepada kepentingan diri sendiri.
Itu tampak jelas ketika beberapa orang Farisi berkata kepada Yesus, ”Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.” (Luk. 13:31, TB2). Kita tidak pernah tahu maksud di balik nasihat itu. Apakah mereka, yang biasanya berseberangan dengan Yesus, merasa kasihan kalau Yesus mati di tangan Herodes. Atau, mereka sendiri ingin menakut-nakuti Yesus.
Apa pun maksudnya, Yesus menjawab, ”Pergilah dan katakanlah kepada si rubah itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai” (Luk. 13:32).
Yesus menyebut Herodes dengan rubah. Mengapa? Sepintas lalu, dari kejauhan, rubah memang tampak seperti domba karena warnanya tak begitu berbeda. Namun, rubah merupakan pemangsa domba. Pada masa itu, ungkapan ”seperti rubah” menggambarkan orang jahat yang licik dan berbahaya.
Di mata Yesus, Herodes memang gambaran manusia yang terlihat baik, namun berbahaya. Tetapi, dengan mengatakan bahwa Herodes seperti rubah, Yesus juga hendak menyatakan bahwa di mata-Nya Herodes bukanlah sosok yang perlu ditakuti.
Yesus tak mau mundur. Dia tetap ingin menuntaskan misinya: mati di Yerusalem. Ungkapan ”pada hari ini dan besok” menggambarkan situasi yang singkat sebelum datangnya suatu krisis (pada hari ketiga). I.H. Marshall, dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini, menjelaskan bahwa Yesus tetap bertekad melanjutkan pekerjaan pekerjaan-Nya sampai selesai.
Mengeluh: Tanda Kepedulian
Bayangkan: Israel dipimpin seorang yang berwatak seperti rubah! Kalau rajanya saja seperti rubah, bagaimana pula dengan rakyatnya? Itulah gambaran Yerusalem secara umum. Dan karena itulah Yesus mengeluh.
Keluh di sini bukan tanda kelemahan, lebih tepat tanda kepedulian. Yesus peduli terhadap Yerusalem. Kota damai itu ternyata tak mau berubah. Beberapa nabi ditolak dan dan banyak utusan Allah dilempari dengan batu.
Mengeluh di sini, sekali lagi, bukanlah tanda kelemahan, lebih tepat tanda kasih. Yesus mengasihi Yerusalem. Perhatikan nada keluhan-Nya: ”Sudah berapa kali Aku ingin merangkul semua pendudukmu seperti induk ayam melindungi anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kau tidak mau.” (Luk. 13:34, BIMK)
Persoalaannya: tidak ada kemauan dalam diri penduduk kota itu, mungkin karena meneladan sang raja, untuk berubah. Itulah yang membuat Yesus mengeluh.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa