Apabila Anak Manusia Datang

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama Dia, Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari yang lain, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya” (Mat. 25:31-33).

Jelaslah, Yesus sedang membicarakan saat Dia menyatakan kemuliaan-Nya sebagai raja. Menarik disimak bahwa kemuliaan-Nya itu terkait erat dengan peran-Nya sebagai hakim.

Sejatinya, tindakan Kristus sebagaimana gembala yang akan memisahkan domba dan kambing merupakan penggenapan dari nubuat Yehezkiel: ”Sesungguhnya Aku sendiri akan menjadi hakim antara domba yang gemuk dan domba yang kurus. Karena semua yang lemah kamu desak dengan lambung dan bahumu serta kamu tanduk dengan tandukmu sehingga kamu menghalau mereka ke mana-mana, maka Aku akan menyelamatkan domba-domba-Ku, supaya mereka tidak lagi menjadi mangsa dan Aku akan menjadi hakim di antara domba dan domba” (Yeh. 34:20-22).

Injil Matius memperlihatkan bagaimana kekuasaan Yesus tampak dalam memisahkan manusia dari manusia lainnya, sama seperti gembala yang memisahkan domba dari kambing. Tak ada tawar-menawar. Yang ada hanya vonis berkekuatan hukum tetap. Tiada banding sama sekali.

Saat Penghakiman

Kata ”apabila” tak hanya menyatakan kejadian pada masa depan, tetapi juga  mengisyaratkan bahwa waktu bagi setiap orang itu terbatas. Dan dalam keterbatasan itu, setiap orang dituntut pertanggungjawaban!

Memang ada orang yang dikaruniai umur panjang; yang lainnya dikaruniai umur pendek. Namun, dalam semuanya itu—baik panjang maupun pendek—setiap orang dituntut tanggung jawab yang sama. Tidak ada seorang pun yang lepas dari tuntutan itu!

Dalam penghakiman itu, tak ada seorang pun yang dapat melancarkan protes. Sebab, semuanya telah tercatat. Tidak ada yang bisa membela diri. Sekali lagi, karena semuanya telah terekam. Dan saksinya adalah waktu itu sendiri. Tolok ukur dari catatan itu ialah apa yang dilakukan manusia di dalam waktu!

Hakikat Waktu

Berkenaan waktu—baik panjang maupun pendek—waktu untuk setiap orang sama. Satu hari, ya 24 jam! Tidak lebih dan tidak kurang. Sehingga frasa ”mengejar” atau ”dikejar waktu”, ”kurang waktu”, ”terlambat”, ”terlalu cepat” sesungguhnya hanya soal pengelolaan waktu! Sekali lagi, waktu bagi setiap orang sama dalam satu harinya.

Masalahnya, kita acap memandang waktu sebagai sesuatu yang sudah dari sononya, take it for granted, sehingga kita kadang menilai waktu sebagai sesuatu yang murahan! Padahal, siapakah yang bisa membeli waktu?

Ya, siapa di antara kita yang bisa memiliki waktu? Siapa di antara kita yang bisa memegang waktu? Tak ada! Manusia berada dalam waktu! Waktu itu datang, menghampiri, dan meninggalkan manusia dengan kecepatan konstan. Manusia tidak dapat mengantongi waktu. Waktu berjalan dan kita tidak dapat menangkapnya. Kita tidak dapat menghentikannya! Yang bisa kita lakukan hanyalah mengisinya! Kita hanya bisa menggunakannya! Setelah itu waktu lenyap dalam keabadian!

Waktu adalah kesempatan untuk berkarya! Inilah yang ditekankan Anak Manusia saat menjatuhkan vonisnya terhadap kambing dan domba.

Sebab, ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu menjenguk Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Mat. 25:34-36).

Perhatikanlah banyaknya kata ”ketika” yang digunakan. Ini berarti, semua karya itu dilakukan dalam waktu. ”Ketika” merupakan kata penghubung untuk menandai waktu yang bersamaan. ”Ketika” berarti pula waktu yang sangat singkat atau tertentu. Artinya, orang lapar, orang haus, seorang asing, orang telanjang, orang sakit, orang di penjara, tidaklah setiap saat kita jumpai! Dan kalau kita melakukan kehendak Allah dalam menanggapi semua ”ketika” itu, kita telah melakukannya untuk Yesus.

Dalam hidup tentulah kata ”ketika” akan kita jumpai! Persoalannya: apakah yang kita lakukan saat kita berhadapan dengan kata ”ketika” itu? Apakah kita melakukan kehendak Allah saat itu?

Tindakan-tindakan Sederhana

Menarik disimak, kriteria dalam penetapan vonis tersebut bukanlah tindakan-tindakan luar biasa, spektakuler, adikodrati, sesuatu yang hebat atau wah, seperti: mukjizat, penyembuhan, bahasa lidah, khotbah. Tidak sama sekali. Kriterianya adalah segala hal yang menyangkut pemberian—makan, minum, tumpangan, pakaian, dan waktu.

Sekali lagi bukan tindakan-tindakan luar biasa: memberi makan, memberi minum, memberi tumpangan kepada orang asing, melawat orang sakit, dan mengunjungi narapidana. Akan tetapi, Sang Raja itu menganggap bahwa tindakan-tindakan itu dilakukan bukan untuk manusia, tetapi untuk diri-Nya.

Tindakan-tindakan sederhana itu, yang dilakukan untuk orang-orang sederhana, ternyata menjadi tolok ukur di Kerajaan Allah. Mengapa? Mungkin karena dalam kerajaan dunia, yang sering mengutamakan persepsi dan pencitraan, orang lebih suka menilai tinggi pada tindakan-tindakan spektakuler. Lagi pula, apa artinya tindakan hebat, jika itu hanya dilakukan untuk memuaskan ego sendiri?

Apakah itu berarti bahwa Sang Raja tidak menyukai tindakan-tindakan spektakuler? Tentu saja tidak. Sang Raja pun pernah melakukan tindakan-tindakan spektakuler—memberikan nyawa di Golgota. Namun, semua itu dilakukannya bukan untuk mendulang simpati, tetapi sungguh-sungguh karena cinta.

Banyak orang abai akan tindakan-tindakan sederhana. Mungkin karena saking sederhananya. Namun demikian, itulah yang menjadi tolok ukur di kerajaan-Nya.

Mengisi Waktu

Pada Minggu Akhir Tahun Gerejawi ini baiklah kita mengevaluasi diri. Apakah kita menganggap waktu adalah karunia Tuhan atau malah beban? Jika ya, apakah kita telah sungguh-sungguh menggunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya? Apakah kita memahami waktu yang ada sebagai kesempatan untuk melakukan apa yang baik? Atau, kita malah mengabaikannya?

Jika kita belum dapat menanggapi semua kata ”ketika” itu dengan sebaiknya, inilah saat yang paling tepat untuk mohon ampun! Dan bertekad untuk menanggapi semua kata ”ketika”, sekiranya kita masih diberi kesempatan! Artinya, bersikap sebagai hamba Allah kapan saja! Dan itulah cara sejati dalam menikmati hidup! Baik di kehidupan sekarang, maupun kehidupan nanti.

Mengapa kita melakukannya? Sebab kita adalah tubuh Kristus (Ef. 1:23), dan Kristus adalah kepala. Tentunya, tubuh haruslah mengikuti perintah atau kehendak kepala. Dan ketika tubuh melakukan apa yang dikehendaki kepala, kasih Kristus akan dirasakan oleh semakin banyak orang! Pada titik ini kita bisa memperlihatkan kepada dunia bahwa Kristus sungguh raja kita semua!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa