Apakah Kamu Mau Pergi Juga?

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Mulai saat itu banyak murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” (Yoh. 6:66). Kisah mukjizat lima roti dan dua ikan berakhir murung. Tak sedikit murid yang mundur. Mereka tak mau lagi menjadi pengikut Yesus.  

Mulanya mereka begitu bersemangat. Ke mana Yesus pergi, mereka ikut. Namun, sulit bagi mereka memahami kalimat-kalimat Yesus. Apalagi dengan gamblang Yesus mengatakan, perutlah alasan mereka mencari diri-Nya. Kemungkinan besar inilah yang membuat mereka kesal. Kalau cuma nggak ngerti, mereka bisa bertanya. Tetapi, hati kesal agaknya membuat mereka enggan bertanya lagi. Dan mundur adalah jalan terlogis.

Motivasi Orang Banyak

Agaknya orang banyak itu tak terlalu siap menerima diri sekaligus visi Yesus. Mereka lebih tertarik roti ketimbang Yesus. Mukjizat Yesus hanya dipahami sebagai pengulangan peristiwa turunnya manna di padang gurun.

Motivasi mereka, sekali lagi, agaknya memang perut. Mereka mencari Yesus karena berharap dikenyangkan kembali. Mereka hanya ingin roti. Di mata mereka, Yesus tak beda dengan pesulap murah hati. Sehingga mereka tak begitu paham ketika Yesus bercerita tentang makanan yang tidak dapat binasa. Yesus sepertinya sedang berusaha menjelaskan betapa bergantungnya manusia di bumi ini kepada Allah di Surga.

Karena itu, dengan jitu Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan roti. Yesus menegaskan berkali-kali, Dialah Roti Kehidupan. Itu berarti, Yesus adalah sumber kehidupan.

Kata orang, manusia dinilai dari apa yang dimakannya. Yesus menyatakan kala kita memakan tubuh dan darah-Nya, Ia akan tinggal dalam diri kita. Pertanyaannya: apakah orang lain melihat Yesus dalam diri kita? Dengan kata lain: siapakah yang kita perlihatkan? Yesuskah atau kedagingan kita?

Paulus dan Salomo

Paulus menasihati warga jemaat di Efesus untuk senantiasa memperlihatkan Yesus yang tinggal dalam diri mereka dengan cara: ”Jadi, berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah.” (Ef. 6:14-18).

Berdirilah tegap. Ada rasa percaya diri yang tinggi. Sebenarnya tak ada gunanya semua perlengkapan senjata perang itu jika dalam diri sendiri tak ada rasa percaya diri.

Nah di sini persoalan besarnya. Orang banyak itu agaknya lebih suka mendapatkan roti ketimbang hidup sebagaimana Yesus hidup. Tak mudah memang hidup sebagaimana Yesus hidup. Namun, itu juga bukan pilihan. Jika Yesus hidup dalam diri kita, hidup sebagaimana Yesus hidup merupakan keniscayaan. Kalau tidak malah aneh!

Itulah hidup yang dijalani Paulus! Perhatikan permohonan Paulus agar dia diberikan  keberanian menyatakannya, sebagaimana seharusnya dia berbicara (lih. Ef. 6:20). Paulus sendiri berkeyakinan, lebih baik apa yang dikatakan Allah ketimbang dirinya sendiri.

Demikian pula halnya dengan Salomo. Salomo sendiri, meski dia adalah penguasa Israel masa itu, tetap saja mengakui dan mohon pemeliharaan dari Allah sendiri. Salomo mengakui bahwa dia tidak bisa hidup otonom. Dia hanya mungkin bergantung kepada Allah saja.

Sejatinya, Allah memang lebih penting ketimbang berkat-berkat-Nya. Persoalannya tak banyak orang yang mau membedakannya. Mereka pikir jika bersama dengan Allah pastilah hidup akan serbamelimpah. Itu pulalah yang dipahami oleh orang banyak di Kapernaum.

Apakah Kamu Mau Pergi Juga?

Di tengah banyak murid yang mundur dan tidak mau mengikuti-Nya lagi, Yesus tidak berusaha menahan para murid yang masih setia.  Dia juga tidak membujuk mereka tetap tinggal. Sebaliknya, Yesus menantang mereka.  Yesus menghadapkan mereka pada pilihan: ikut atau tidak.

”Apakah kamu mau pergi juga?”  Dalam kalimat tanya ini, Yesus menegaskan bahwa tak ada paksaan apa pun berkaitan dengan diri-Nya.  Dalam kalimat itu juga tersirat bahwa Yesus menganggap lumrah seandainya para murid tidak lagi mengikuti-Nya.  Yesus seakan memaklumi jika para murid itu pergi meninggalkan-Nya.

”Apakah kamu mau pergi juga?”  Ada kata ”mau” yang diletakkan Guru dari Nazaret dalam kalimat ini.  Mengikut Yesus memang lebih berdasarkan kemauan ketimbang kemampuan intelektual seseorang.  Kemauanlah yang memampukan orang menjadi setia. Kemauanlah yang akhirnya membuat orang punya alasan intelektual untuk tetap bersama Yesus.

Dan itulah yang dinyatakan Petrus selaku wakil para murid.  Atas pertanyaan Yesus, Sang Batu Karang itu menjawab, dengan pertanyaan pula, ”Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?”  Di sini Petrus malah menantang Yesus untuk menjawab pertanyaannya: ”Siapakah yang lebih layak diikuti ketimbang Engkau, Sang Guru dari Nazaret?”

Kalimat tanya Petrus bukan tanpa alasan.  Petrus menyatakan dengan tegas: ”Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkaulah  Yang Kudus dari Allah.”

Apakah kamu mau pergi juga?

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa