Batu-batu Hidup
”Janganlah gelisah hatimu. Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.” Itulah nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Dia tidak selamanya menemani mereka secara fisik. Sang Guru mesti pergi.
Dalam pemahaman masyarakat Yahudi pada masa itu—menurut penafsir Katolik Rama Gianto, pengalaman paling menyeramkan ialah merasa ”tertinggal” di luar, tak ada yang mengurusi. Dalam keadaan tersebut orang merasa seperti berada di luar pintu gerbang kota pada malam hari, sewaktu-waktu bisa diganggu penyamun atau binatang liar.
Rumah Bapa
Nah, dengan latar inilah Injil Yohanes berbicara mengenai tempat yang paling memberi rasa aman. Tempat itu ialah kediaman Bapa sendiri. Di situ Yang Maha Tinggi berkuasa. Tak ada yang dapat mengganggu gugat mereka yang diam di dekat-Nya. Ya, siapa pula yang bisa mengganggu dan menggugat orang-orang pilihan Allah?
Selanjutnya, Yesus berkata, ”Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal.” Artinya, siapa saja boleh dan bisa menemukan ketenteraman dan perlindungan di dekat Yang Mahakuasa. Tidak akan ada lagi yang merasa tertinggal atau ditinggalkan. Pengikut Yesus tak perlu berebut tempat atau merasa was-was tidak kebagian tempat.
Dengan kata lain—menurut penafsir Protestan William Barclay—di dalam surga ada tempat bagi semua orang. Sebuah pondok duniawi bisa menjadi terlalu padat. Sang pemilik pondok kadang terpaksa menolak para tamu yang hendak menginap.
Tak demikian dengan rumah Bapa. Surga itu seluas hati Tuhan, sehingga ada tempat bagi setiap manusia. Yesus seakan berkata, ”Janganlah khawatir! Manusia mungkin menutup pintu bagimu. Namun, di surga tak seorang pun menghadapi pintu tertutup.”
Mengapa? Yesus telah membuka jalan ke sana dan tidak ada seorang pun yang berkuasa menutupnya. Itulah salah satu pokok pikiran dalam Perjanjian Baru: Yesus berjalan di depan kita untuk diikuti. Dia membuka jalan sedemikian rupa agar kita dapat mengikuti jejak-Nya. Yesus adalah Perintis jalan ke surga.
Dalam dunia perkapalan, Yesus Kristus laksana kapal tunda, yang berfungsi untuk mengantarkan kapal dagang masuk atau keluar pelabuhan. Kapal tunda memimpin kapal yang lebih besar ke dalam air yang dalam. Kapal tunda berjalan di muka agar yang mengikutinya aman.
Yesus sendirilah yang menyiapkan tempat yang aman itu. Selanjutnya, Dia datang kembali untuk membawa para murid-Nya ke tempat yang aman tadi. Dan mereka takkan berpisah lagi dengan-Nya. Sebab, ”Di tempat Aku berada, kamu pun berada.” (Yoh. 14:3).
Kita tak perlu berspekulasi tentang surga: bagaimana bentuk maupun suasananya. Cukuplah mengetahui bahwa kita akan bersama dengan Tuhan selamanya. Inilah hidup kekal itu: manusia manunggal bersama dengan Allah. Inilah kekekalan itu: menyatu dengan Sumber Hidup!
Jika Fanny Crosby menulis: ”Di jalanku ’ku diiring oleh Yesus Tuhanku, apakah yang kurang lagi jika Dia Panduku.” (KJ 408:1); maka di surga, bersama pemazmur kita berkata, ”Aku tinggal dalam rumah Tuhan sepanjang masa.” (Mzm. 23:6).
Menjaga Kualitas Hidup seperti Stefanus
Di rumah Bapa banyak tempat tinggal dan Yesus pergi ke sana untuk menyiapkan tempat bagi kita. Namun, itu tidak berarti kita diam saja menunggu tempat itu selesai. Kita harus terlibat dalam pembangunan tempat tinggal abadi itu.
Seperti pembangun membutuhkan batu untuk mendirikan sebuah rumah, demikian jugalah pembangunan kediaman abadi di rumah Bapa. Dan kita sendirilah batu-batu hidup yang dibutuhkan bagi pembangunan rumah rohani tersebut.
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Kalian seperti batu-batu yang hidup. Sebab itu hendaklah kalian mau dipakai untuk membangun Rumah Allah yang rohani. Dengan demikian kalian menjadi imam-imam, yang hidup khusus untuk Allah, dan yang melalui Yesus Kristus mempersembahkan kepada Allah, kurban rohani yang berkenan di hati Allah” (1Ptr. 2:5).
Petrus menjelaskan bahwa kita dipanggil sebagai imam-imam yang hidup khusus untuk Allah. Sehingga, menjaga kualitas hidup kita di hadapan Tuhan merupakan hal penting dalam mempersiapkan rumah abadi itu. Meski harus tersingkir atau terbuang dari dunia, hidup berkualitas sangat berharga di mata Tuhan. Dan itulah yang dijalani Stefanus.
Mari kita berpikir sejenak: Apa sesungguhnya kesalahan Stefanus? Stefanus adalah seorang diaken. Tugasnya: memberdayakan warga sekeng dalam jemaat. Tak hanya itu, ”Stefanus sangat diberkati oleh Allah, sehingga ia mengadakan banyak keajaiban dan hal-hal luar biasa di antara masyarakat.” (Kis. 6:8; BIMK).
Apa sesungguhnya kesalahan Stefanus? Bukankah banyak orang tertolong olehnya—tak hanya secara materi, juga rohani? Melalui dia, banyak orang merasakan mukjizat kesembuhan.
Persoalannya hanya satu: sekelompok orang iri terhadapnya. Bagi orang yang tidak mampu mengendalikan diri, rasa iri merupakan masalah besar. Rasa irilah yang menyebabkan pembunuhan manusia untuk pertama kalinya dalam sejarah—saat Kain membunuh Habil.
Sekelompok orang yang iri itu berusaha mengajak Stefanus berdebat. Mereka kalah. Tak bisa menerima kekalahan itu, mereka menyuap orang untuk berkata, ”Kami telah mendengar dia mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan Allah!” (Kis. 6:11). Dan Stefanus pun mati dirajam.
Apa sesungguhnya kesalahan Stefanus? Tidak ada. Bahkan, sebelum meninggal akibat rajaman, dia berdoa, ”Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Pada titik ini Stefanus hanyalah mengikuti jejak Kristus, yang berkata, ”Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk. 23:34). Stefanus berjalan di Jalan Kristus.
Lagi pula, berkaitan dengan Jalan yang ditawarkan Yesus Kristus, jalan sebagus apa pun tidak akan membawa manfaat kalau tidak dijalani. Jalan hidup kita dalam iman kepada Yesus tidak akan memberikan manfaat apa-apa kalau kita tidak tekun menjalaninya. Memiliki jalan Allah bukanlah jaminan bahwa kita akan sampai kepada Allah. Hanya mereka yang menjalaninya dengan tekunlah yang akan sampai kepada Allah. Itulah yang dilakukan Stefanus.
Hingga akhir hidupnya, Stefanus setia. Sebagaimana Sang Guru, diaken itu berusaha menjaga kualitas hidupnya hingga akhir. Ia adalah salah satu batu hidup, yang digunakan untuk pembangunan rumah rohani di surga. Nama Stefanus sendiri berarti mahkota. Kehidupan dan kematiannya membuat dia beroleh mahkota kehidupan. Sebab ia telah memelihara iman.
Itu jugalah panggilan kita.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media