Belajar Hidup Lebih Beradab

Published by Sri Yuliana on

Dalam hidup sehari-hari kita menyaksikan banyak sekali tindakan arogansi, niretika, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Kasus yang paling mudah dijumpai adalah perilaku masyarakat di jalan. Misalnya, kendaraan masuk ke jalur busway, menyerobot APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, traffic light), melawan arus lalu lintas, menyerobot lintasan, berbelok sambil memotong jalur kendaraan lain, dsb. Sikap ”semau gue” menjadi hukum tak tertulis di jalanan. Padahal, sepuluh tahun lalu kondisi seperti yang dilukiskan di atas belum separah ini. Walaupun hal-hal tersebut terjadi, tetapi masih ada etika atau penghargaan terhadap pengguna jalan lain. Sekarang ini, sepertinya orang semakin abai dan tidak peduli bahwa jalan adalah fasilitas publik yang harus digunakan bersama.

Pertanyaannya, ”apakah hal-hal semacam ini kita biarkan saja dan menjadi sesuatu yang normal?” Tentu saja tidak. Akan tetapi, ”mampukah kita mengubahnya?” Kita mampu mengubahnya jika kita berupaya memengaruhi kelompok masyarakat di mana kita berada. Mungkin saja ada segelintir orang yang menolak gagasan ini. Tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa tindakan mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah mengakar adalah tindakan yang sia-sia. Namun, perubahan besar selalu dimulai dari perubahan kecil oleh kelompok masyarakat yang kecil juga. Kita tidak menyadari bahwa masyarakat kita sudah mulai bisa menerapkan budaya antre dan membuang sampah pada tempatnya. Hal yang sepertinya mustahil diwujudkan dalam tiga dekade lalu, tetapi sekarang kita sudah mulai merasakan manfaat dari perubahan cara hidup (way of life) itu.

Sebagai pengikut Sang Guru, marilah kita belajar hidup lebih beradab. Dengan tidak jemu berperan serta dalam mengedukasi kelompok masyarakat (komunitas) di mana kita berada. Sebagai upaya mengubah arogansi dan ketidakberadaban sebagian orang di ruang-ruang publik tersebut. Kita lakukan itu sambil mengingat firman-Nya, ”…tanpa mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri. Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Flp. 2:3-4].

Sri Yuliana | Tangan Terbuka Media

Foto: Istimewa