Berada di dalam Rumah Bapa

”Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49). Demikianlah jawaban Yesus kepada ibu-Nya. Lukas mencatat, orang tua Yesus tidak memahami apa yang dikatakan anak mereka. Catatan ini penting karena baik Yusuf maupun Maria agaknya lupa siapa anak mereka sesungguhnya.
Jawaban itu menyiratkan pula bahwa Maria dan Yusuf semestinya tahu bahwa tempat Yesus adalah di rumah Bapa-Nya. Bisa jadi, setelah kepulangan dari Mesir, Yesus tak beda jauh dari anak-anak kebanyakan.
Ini pula persoalan banyak orang tua. Mereka menganggap bahwa anak adalah miliknya sendiri. Karena itu, mereka berusaha untuk mengarahkan anak seturut dengan keinginan orang tua. Segala sesuatu ditinjau dari sudut orang tua. Anak harus patuh terhadap orang tua tanpa syarat.
Orang Tua Manusiawi dan Orang Tua Ilahi
Ini pulalah yang ditentang Kahlil Gibran dalam buku puisinya: Sang Nabi.
Anakmu bukanlah milikmu./Mereka putera Sang Hidup yang mendambakan hidup mereka sendiri./Mereka memang datang melalui dirimu, namun tidak darimu./Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Ya, itu persoalannya. Banyak orang tua merasa bahwa anak adalah milik mereka sendiri. Jadi, seharusnya tinggal bersama mereka. Ketika anak itu hilang dari pengamatan, orang tua kebingungan setengah mati. Itulah sumber kecemasan Maria dan Yusuf.
Kedua orang tua Yesus tak sepenuhnya salah. Mereka punya tanggung jawab besar. Mereka pasti ingat, peristiwa kelahiran Yesus memang bukan hal biasa. Karena itulah, mereka dengan cemas kembali ke Yerusalem untuk mencari anak mereka.
Waktu tempuh dari Nazaret ke Yerusalem adalah sehari perjalanan. Kita bisa membayangkan kecemasan Maria dan Yusuf saat mereka kembali dari Nazaret ke Yerusalem. Yesus pun baru dtemukan setelah tiga hari mencari. Artinya, selama tiga hari itu tentulah kekhawatiran meliputi hati mereka berdua. Sukacita Paskah pun tampaknya punah sudah.
Waktu pencarian tiga hari membuktikan bahwa Maria dan Yusuf tidak menyangka bahwa anak sulung mereka berada di Bait Allah. Mereka tidak menduga Yesus akan bercengkerama dengan para guru agama. Andai menyadarinya, tentu mereka tidak akan membutuhkan waktu lama dalam pencarian itu. Tetapi, ya di sini, agaknya mereka, sekali lagi, lupa siapa Yesus sebenarnya.
Tak heran, saat mereka menemukan-Nya, Maria tak dapat menahan hatinya langsung menegur Yesus, ”Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, Bapak-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Ada kelegaan sekaligus kegusaran. Lega karena mereka telah menemukan Yesus. Gusar karena Yesus tidak bilang terlebih dahulu.
Namun, yang lebih mengejutkan hati mereka adalah jawaban Yesus: ”Mengapa ayah dan ibu mencari Aku? Apakah ayah dan ibu tidak tahu bahwa Aku harus ada di dalam rumah Bapa-Ku?” (BIMK). Dalam jawaban Yesus ini tersirat ada perbedaan makna antara orang tua manusiawi dan orang tua ilahi. Dan Yesus hendak menekankan hal itu kepada orang tua manusiawi-Nya.
Inilah yang ditekankan Kahlil Gibran tadi, penyair asal Libanon tadi, bahwa anak bukanlah hanya milik orang tuanya, tetapi mereka adalah milik Sang Hidup. Anak adalah milik Allah. Sejatinya, setiap orang tua harus memahami perbedaan hakiki ini. Bahwa mereka adalah orang tua manusiawi, tetapi anak mereka, sebagaimana diri mereka juga, memiliki orang tua ilahi. Jadi, dalam hal ini jelas bahwa orang tua manusiawi haruslah pula menyadari bahwa orang tua ilahi jelas lebih tinggi tingkatannya ketimbang mereka.
Anak-anak itu memang datang melalui orang tua manusiawi mereka, tetapi mereka berasal dari orang tua ilahi. Lebih lanjut Kahlil Gibran menyatakan, masih dalam puisi tadi,
Berikan mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,/sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri./Patut kau berikan rumah bagi raganya, namun tidak bagi jiwanya,/sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,/yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpi.
Kahlil mengingatkan setiap orang tua manusiawi agar tidak terjebak dalam pemahaman bahwa anak adalah milik mereka sendiri sehingga boleh memperlakukannya sesuka hati mereka. Orang tua semestinya tidak menjadikan anak sebagai proyek orang tua, tetapi orang tua perlu memberikan wadah di mana pikiran anak-anak itu, yang telah dianugerahkan orang tua ilahi mereka, berkembang mencapai kepenuhannya.
Tugas Orang Tua Manusiawi
Agar mencapai kepenuhan semacam itu, orang tua seharusnya membiarkan, bahkan mendorong anak-anak mereka, untuk ”berada dalam rumah Bapa ilahi” mereka. Dan inilah yang dilakukan keluarga Nazaret itu. Baik Yusuf maupun Maria, meski mereka tidak mengerti apa yang dimaksud anak sulung mereka, mereka tidak mengomeli Yesus. Bahkan, Maria, sebagaimana dicatat dalam Injil Lukas, ”menyimpan semua hal itu di dalam hatinya.”(Luk. 2:51).
Tindakan Maria ini layak diteladan. Jangan buru-buru ngomong. Jika kita tidak begitu memahami persoalan, sebaiknya kita memang menyimpannya dahulu dalam hati. Sikap begini akan menolong kita bertindak lebih arif.
Kenyataannya sering memang tidak demikian. Kita cenderung cepat menimpali ide atau gagasan pihak lain. Akhirnya, kita malah tidak mempunyai kesempatan untuk mengerti karena kita tidak mau mendengarkannya secara keseluruhan.
Pada akhirnya, pengalaman hidup Maria membuktikan, apa yang dikatakan Yesus perihal ”berada di dalam rumah Bapa” merupakan hal terbaik dalam hidup manusia. Bagaimanapun, pada peristiwa-peristiwa selanjutnya Maria belajar untuk melepas Yesus.
Yesus, anak sulungnya itu, memang bukan miliknya sendiri. Maria hanya sarana kehadiran Yesus di dunia. Selanjutnya, Yesus malah menjadi milik umum. Dan perhatian Yesus memang tidak hanya kepada keluarga-Nya, perhatian-Nya tertuju pada kalangan yang lebih luas. Pada titik ini Maria memang harus merelakan anak sulung-Nya itu.
Bagaimanapun, frasa ”berada di dalam rumah Bapa” merupakan hal terpenting dalam hidup manusia. Bapa di sini tentu saja orang tua ilahi. Manusia perlu, bahkan harus, berada di rumah orang tua ilahinya karena pada galibnya dia memang berasal dari Allah. ”Berada di rumah Bapa” merupakan suatu keniscayaan.
Ini merupakan hal lumrah. Seorang anak dengan tentram menikmati persekutuan dengan Bapanya. Seorang anak tidak akan pernah memutuskan tali persekutuan itu. Seorang anak tidak akan pernah berupaya melarikan diri dari rumah Bapanya. Kalaupun, dia pernah keluar dari rumah Bapanya, pulang adalah cara terlogis. Sekali lagi, berada di dalam rumah Bapa. Hanya dengan cara itulah, seorang anak dapat memahami kehendak Bapanya.
Dan itulah yang dilakukan Yesus. Menjelang peristiwa penyaliban-Nya, Yesus berikhtiar, “Jadilah kehendak-Mu!” Semuanya itu hanya mungkin terjadi jika seseorang berada dalam hubungan yang intim dengan Bapa-Nya. Dan itulah yang dimaksud dengan ”berada di dalam rumah Bapa”.
Tak hanya Yesus, Samuel pun berada di dalam rumah Bapa. Yang akhirnya membuat dia makin disukai, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia (1 Sam. 2:26). Keberadaan Samuel tinggal di Bait Allah memang tidak lepas dari peran Hana, ibunya. Ibunda Samuel itu memahami bahwa Samuel adalah pemberian Tuhan. Dan karena itulah, Hana mengembalikannya kepada Tuhan.
Hana memang seorang perempuan biasa. Tetapi, tindakannya itu membuktikan bahwa dia seorang ibu yang baik. Sebagai orang tua manusiawi, dia memperkenalkan Samuel dengan orang tua ilahinya. Tugas utama orang tua manusiawi adalah memperkenalkan anak-anak kepada orang tua ilahinya.
Dan berada di dalam rumah Bapa memungkinkan orang untuk menjadi lebih baik dan menjadi serupa dengan Bapa. Tak heran, jika di masa hidup mereka, baik Samuel maupun Yesus, mendapat tempat di hati orang-orang sezaman.
Panggilan Kita Masa Kini
Berada di dalam rumah Bapa. Itu jugalah panggilan bagi setiap orang yang mengakui dan memanggil Allah sebagai Bapanya. Persoalannya mungkin di sini: kita lebih suka tinggal di rumah kita sendiri. Tinggal di rumah sendiri membuat kita mempunyai kuasa untuk mengatur diri sendiri. Kita tidak mau diatur oleh pihak lain. Bahayanya: kita menjadi otonom, tidak membutuhkan pihak lain, juga Allah.
Berada di dalam rumah Bapa berarti ikut aturan Bapa dan taat kepada-Nya. Itulah yang akan memampukan kita mengetahui kehendak Bapa. Yang akhirnya membuat kita semakin serupa dengan Bapa. Paulus kepada warga jemaat Kolose memperlihatkan kualitas hidup anak-anak Bapa—mereka yang telah dikuduskan dan dikasihi-Nya (Kol. 3:12-17). Bukankah ini yang seharusnya menjadi tujuan setiap manusia?
Pertanyaan besar pada akhir 2024: Apakah kita masih berada di dalam rumah Bapa.? Berkaitan dengan berlangsungnya waktu selama setahun ini, kita perlu bertanya: lebih banyak berada di dalam rumah Bapa atau malah menjauhi rumah Bapa? Jika ada di antara kita yang menjauh dari rumah Bapa, panggilan Bapa masih tetap sama: pulang!
Jadi, sekali lagi, dalam menapaki waktu yang mendatangi kita, perlukah kita bertanya: masih inginkah kita berada di dalam rumah Bapa?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa