Berbagi Damai Sejahtera

Kisah Paskah adalah kisah pemulihan. Catatan Injil Yohanes berkait Paskah bisa kita jadikan dasarnya. Mari kita bertanya dalam diri, ”Mengapa Yesus yang bangkit berkata, ’Damai Sejahtera bagi kamu.’ Apakah ini salam biasa, yang lumrah dikatakan kebanyakan orang saat berjumpa satu sama lain? Jika ini salam biasa, mengapa Yesus Orang Nazaret merasa perlu mengucapkannya hingga dua kali?”
Bukan Salam Biasa
Sepertinya bertanggung jawab jika kita mengatakan bahwa ini bukan salam biasa. Juga bukan basa-basi. Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu dan murid-murid berada di suatu tempat dengan pintu-pintu terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata, ’Damai sejahtera bagi kamu!’” (Yoh. 20:19).
Jelas mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Ketakutan pertama adalah karena Yesus Orang Nazaret, Sang Guru, sudah menjadi musuh bersama—pemerintah Romawi dan pemimpin agama Yahudi. Dan serentak dengan itu juga menjadi musuh bersama massa yang sepakat Barabas dibebaskan dan Yesus disalibkan.
Yesus sudah mati. Apalagi yang lebih menyedihkan ketimbang kenyataan ini? Ya, Yesus sudah mati. Dia memang Pribadi kualitas unggul. Tak hanya saleh, juga punya prinsip. Bahkan Dia membuat begitu banyak mukjizat, sehingga banyak orang percaya bahwa Dia adalah Mesias yang mereka tunggu-tunggu. Namun, apa daya, mereka melihat sendiri bagaimana Sang Guru tidak membela diri sama sekali. Dia mati disalibkan. Dan kematian Yesus semakin membuat mereka ketakutan karena mereka telah kehilangan andalan mereka. Para murid telah kehilangan jagoan mereka.
Ketakutan itu bercampur kebingungan karena mereka mendengar berita dari para perempuan pada pagi hari bahwa Yesus sudah bangkit. Dan para penguasa Yahudi sendiri sudah menyuap para penjaga untuk mengatakan bahwa para muridlah yang mengambil mayat Yesus. Bisa jadi mereka takut akan dianggap menyebarkan hoaks. Itu juga kejahatan. Dan mereka bisa ditangkap.
Sejatinya, mereka tidak ada dalam keadaan damai. Mereka belum berdamai dengan semua peristiwa yang baru saja terjadi. Sehingga sapaan Yesus—”Damai sejahtera bagi kamu!”—memang bukan salam biasa karena mereka memang membutuhkannya. Mereka membutuhkan damai itu.
Di tengah ketakutan dan kebingungan, Yesus berdiri di tengah-tengah mereka. Yesus tidak berdiri di pinggir dan tidak bisa disentuh. Tidak. Yesus berdiri di tengah-tengah mereka. Berarti berdiri juga di tengah ketakuan dan kebingungan mereka.
Pemulihan
”Damai sejahtera bagi kamu.” Dalam kalimat ini nyatalah bahwa ”damai sejahtera” semula memang bukan milik mereka. Damai sejahtera adalah miik Yesus Orang Nazaret yang diberikan kepada para murid-Nya. Sang Guru mau membagikan damai-Nya. Dan itu berarti kebangkitan-Nya. Ini bukanlah penglihatan atau bayang-bayang semu. Tidak. Yesus berdiri di tengah-tengah mereka dan berbicara.
Tak hanya berbicara, Yesus memperlihatkan tangan dan lambungnya kepada para murid. Dan itulah yang menggembirakan para murid bahwa mereka telah melihat Tuhan. Tak sekadar melihat, tetapi juga berbicara mereka. Kalau dalam Injil Lukas dinyatakan bahwa Yesus pun makan ikan bakar bersama mereka malam itu. Dengan kata lain, itu bukanlah kebangkitan semu. Yesus, Sang Guru, sungguh-sungguh bangkit. Mereka mengalami kebangkitan Tuhan. Mereka telah dipulihkan. Dan itulah yang membuat mereka sangat bersukacita.
Tak Hanya untuk Diri Sendiri
Menarik disimak, mereka tidak hanya diberi kesempatan berdamai dengan situasi dan kondisi di sekitar mereka, tetapi mereka diperintahkan untuk membagikan damai yang mereka dapatkan itu kepada orang lain. Damai sejahtera dilanjutkan dengan pengutusan. Mereka diutus untuk berbagi damai kepada para murid lainnya. Karena itu, mereka langsung memberikan rasa damai itu kepada Tomas yang tidak ada bersama mereka saat itu.
Kita tak pernah tahu alasan ketidakhadiran Tomas. Itu tidak begitu penting. Yang terpenting: para murid tidak menyembunyikan kabar gembira itu. Dengan semangat mereka berkata: ”Kami telah melihat Tuhan!”
Agaknya, mereka sengaja menggunakan kata ganti ”kami”. Ungkapan ”Kami telah melihat Tuhan!” bukanlah pengakuan iman pribadi, melainkan pengakuan iman kelompok. Pada akhirnya, itu jugalah pengakuan iman gereja.
Dan tampaknya Tomas tambah tidak damai karena ternyata Yesus menemui para murid, perempuan-perempuan, tetapi dirinya tidak ditemui sama sekali. Bisa jadi Tomas iri. Itu membuatnya makin tidak damai. Dan mengambil sikap untuk tidak memercayai berita kebangkitan itu.
Namun, para murid tidak memaksa Tomas untuk percaya. Bagaimanapun, percaya merupakan hal pribadi dan tentunya tidak bisa dipaksakan. Pada titik ini, gereja masa kini perlu belajar dari para murid. Kita tak perlu marah atau tersinggung kalau ada orang yang tak memercayai kebangkitan Yesus Kristus.
Ketika Tomas dengan akalnya tidak bisa menerima kebangkitan Yesus, mereka tidak melecehkannya, juga tidak menyalahkannya. Mungkin mereka sedih. Tetapi, agaknya mereka sadar kalau mereka menganggap remeh Tomas, atau menganggapnya sesat, dia akan meninggalkan persekutuan.
Jika itu yang terjadi, mereka tidak akan pernah mendengar pengakuan iman Tomas: ”Ya, Tuhanku dan Allahku.” Pengakuan iman yang pendek ini pada masanya merupakan pengakuan iman di kalangan jemaat awal.
Bisa jadi, para murid menyadari bahwa pengakuan iman bukan urusan manusia semata. Tuhanlah yang memampukan manusia untuk percaya kepada-Nya. Berkait dengan Tomas, Yesuslah yang menemui Tomas. Bukan sebaliknya. Itu berarti Tuhan pulalah yang memampukan Tomas menjadi percaya.
Untunglah para murid tetap mengasihi Tomas, meski berbeda paham. Pemahaman berbeda memang harus dinyatakan, tetapi jangan menjadi alasan untuk bersikap membedakan.
Tak hanya kepada Tomas. Sejarah mencatat bagaimana para murid menularkan damai sejahtera itu kepada orang-orang di luar kelompok mereka. Mereka tidak ingin menikmati damai sejahtera itu sendirian. Pada titik ini, mereka sungguh-sungguh menjalankan perintah Yesus. Dan itulah yang dengan lantang diserukan Petrus pada Hari Pentakosta.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa