Bertobatlah dan Percayalah kepada Injil!

”Sesudah Yohanes ditahan datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, kata-Nya, ’Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!’” (Mrk. 1:14-15). Demikianlah cara Markus menuliskan permulaan kisah pelayanan Yesus Kristus.
Jelaslah, kemunculan Yesus tidaklah tiba-tiba. Ia hadir dalam situasi dan kondisi tertentu. Ada latar belakangnya, yakni ditangkapnya Yohanes Pembaptis. Kata ”sesudah” yang dipakai Markus menyiratkan bahwa Yesus melanjutkan pekerjaan anak Zakharia itu.
Yohanes Pembaptis ditahan. Mulutnya telah dibungkam penguasa. Herodes, Sang Penguasa saat itu, tak suka dikritik. Repotnya lagi, Sang Penguasa itu tidak dapat membela dirinya terhadap kritik. Dia tidak mampu membuktikan ketaksahihan kritik itu. Jalan keluar baginya hanya satu: mengirim Yohanes Pembaptis, Si Tukang Kritik, ke penjara.
The Show Must Go On
Namun, suara kenabian tetap berkumandang. Tidak berhenti seturut pemenjaraan Yohanes Pembaptis. Si Tukang Kritik boleh dipenjara, tetapi suaranya tetap membahana. Tindakan kenabian tetap berjalan. The show must go on. Yesuslah yang meneruskan pekerjaannya. Sebagaimana sepupunya itu, Yesus pun berseru, ”Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”
Baiklah kita paham bahwa yang dimaksudkan dengan waktu di sini ialah kairos dan bukan kronos. Kedua kata Yunani ini memang berarti waktu. Kronos bicara soal urutan waktu, misalnya: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Sedangkan kairos bicara soal momentum: waktu yang tepat. Kairos dapat juga diartikan: ”Inilah saatnya!”
Dan pertobatan sejati di sini, menurut Stefan Leks, bukanlah hanya menyesal dan menghentikan dosa, melainkan menaklukkan diri kepada Allah sembari percaya bahwa kebaikan-Nya tidak hanya menghapus dosa, tetapi mengaruniakan pertobatan itu sendiri.
Pertanyaannya: Mengapa Allah menginginkan manusia bertobat? Jawabannya: Allah mengasihi manusia. Kasih-Nya tidak berkesudahan. Allah ingin bersekutu dengan manusia. Tidak lebih dan tidak kurang. Manusia dicipta Allah dalam rupa dan gambar-Nya. Itu berarti manusia dicipta dalam hubungan dengan Allah. Persekutuan dengan Allah merupakan keniscayaan.
Pemazmur dengan menegaskan: ”Satu hal Allah firmankan, dua hal aku dengar: bahwa kekuatan ada pada Allah, dan pada Engkau, ya Tuhan, ada kasih setia” (Mzm. 62:12-13). Dalam BIMK tertera: ”kekuasaan berasal daripada-Nya, dan bahwa Ia tetap mengasihi.” Allah adalah pribadi yang tetap mengasihi!
Menjadi Saksi-Nya
Dari catatan pendek Markus ini tampak, dalam setiap masa dan tempat Allah memanggil manusia untuk menjadi saksi-Nya dan mengumandangkan Kabar Baik-Nya. Dan tak sedikit manusia yang merespons panggilan itu. Kisah dua bersaudara Simon dan Andreas, juga Yakobus dan Yohanes memperlihatkan kenyataan ini.
Jika dicermati, terkesan tak masuk akal. Mengenai Simon dan Andreas, Markus menulis: ”mereka segera meninggalkan jala mereka dan mengikuti Dia” (Mrk. 1:18). Dua bersaudara itu meninggalkan pekerjaan mereka. Mereka melepaskan mata pencarian untuk suatu pekerjaan yang lebih berarti, meski belum pasti. Melepaskan pekerjaan untuk mendapatkan sesuatu yang belum pasti memang langkah iman. Artinya, mereka meninggalkan kemapanan dan mengarahkan diri pada sesuatu yang serbatak pasti. Artinya, mereka sungguh-sungguh menyerahkan diri mereka kepada Sang Pemanggil. Di sini kelihatannya kita perlu menggaungkan kata tanya ”mengapa”.
Kita bisa menduga, baik Simon maupun Andreas tidak begitu tahu apa artinya menjadi penjala manusia. Tetapi, kenyataan bahwa mereka dipilih agaknya membuat mereka meyakini bahwa pekerjaan itu bukanlah pekerjaan sembarangan. Dan yang memilih mereka bukanlah orang sembarangan. Yohanes Pembaptis telah memberi kesaksian: ”Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia”(Yoh. 1:29).
Dan tentunya, menjadi penjala manusia sesungguhnya barulah janji Yesus. Yang namanya janji pasti belum terjadi. Masih nanti. Namun, itulah yang terjadi mereka percaya dengan Sang Pemberi Janji itu. Namun, jangan lupa, bahwa menjadi penjala manusia bukanlah panggilan utama. Panggilan yang pertama dan terutama bukanlah itu. Panggilan pertama, dan yang utama, ialah mengikut Yesus.
Ajakan yang ditujukan Yesus kepada Simon dan Andreas, secara harfiah dapat diterjemahkan, ”Mari, ke belakang-Ku!” Maksudnya bukan hanya mengikut secara fisik, melainkan menjadi murid atau pengikut. Menurut Stefan Leks, dalam Perjanjian Lama, ”berjalan di belakang/mengikut Allah” berarti taat kepada-Nya secara mutlak. Dapat diartikan pula sebagai menyertai-Nya, berjalan bersama-sama dengan-Nya, menjadi rombongan pengiring Yesus dalam perjalanan-Nya berkeliling Palestina.
Dengan cara demikian, tentulah orang yang mengikut Yesus memang harus meninggalkan segala sesuatunya: mata pencarian, keluarga, juga harta. Semuanya itu tidak dapat dibawa serta dalam perjalanan berkeliling. Mereka menjadi senasib dengan Yesus. Bukankah Yesus pun meninggalkan pekerjaannya? Ya, menjadi pengikut Yesus berarti menjadi mirip dengan-Nya.
Yakobus dan Yohanes meninggalkan ayah mereka. Tentunya, itu tidak berarti mereka membenci orang tuanya. Tetapi, panggilan Yesus menjadi yang terutama dalam hidup mereka. Baru setelah mereka mau mengikut Yesus, mereka pun dapat belajar dari Yesus perihal menjadi penjala manusia. Sebagaimana Yesus menjala mereka berempat, mereka pun dipanggil untuk menjadi penjala manusia.
Sampai Hari Ini
Dan sampai hari ini, Tuhan masih memanggil manusia untuk menjadi rekan kerja-Nya. Orang tua diajak Tuhan untuk menjadi rekan sekerja Tuhan dalam mengabarkan Injil! Orang tua dipanggil untuk bertindak sebagai nabi. Dan menjadi nabi harus dimulai dengan orang-orang terdekat karena mereka sejatinya tahu siapa kita sesungguhnya. Dan pekabaran Injil keluar akan sangat efektif manakala hubungan kita dengan orang-orang terdekat kita cukup baik. Jika mereka memang orang terdekat, tugas kita adalah mengabarkan Injil kepada mereka.
Suara dan tindakan kenabian memang perlu dikumandangkan terus-menerus. Meski awalnya terlihat mustahil, sepanjang sejarah ternyata ada orang yang mau mendengar berita keselamatan itu. Kisah pertobatan Niniwe dapat menjadi contoh nyata.
Bayangkan, kok bisa-bisanya Niniwe bertobat? Bukankah Niniwe itu musuh Israel? Bukankah mereka tidak percaya kepada Allah Israel? Tentunya, mereka juga tidak percaya kepada nabi-nabi Israel? Kok bisa-bisanya mereka percaya akan pemberitaan Yunus? Jawabnya: semuanya ini adalah karya Allah. Apakah manusia mau menjadikan dirinya sebagai tempat Allah bekerja? Inilah titik soalnya?
Dan yang juga penting adalah apakah ada orang yang bersedia mengumandangkan suara kenabian? Dan mengumandangkan suara kenabian, tidak hanya cukup di mulut saja, tetapi juga harus bertindak sebagai nabi.
Dan syaratnya cuma satu: orang itu harus mau berjalan di belakang Allah. Dia tidak boleh berjalan di depan Allah. Dia harus berjalan di belakang Allah. Ya, hanya itu syaratnya.
Berjalan di belakang Allah berarti juga menyangkal diri! Kepada Jemaat di Korintus, Paulus menasihati: ”Kita tidak punya banyak waktu lagi. Mulai dari sekarang, setiap orang yang sudah beristri hendaklah hidup seolah-olah ia tidak beristri; orang yang menangis, hidup seolah-olah ia tidak bersedih hati; orang yang tertawa, seolah-olah ia tidak gembira; orang yang sudah membeli, seolah-olah ia tidak memiliki apa-apa; dan orang yang berkecimpung dalam hal-hal dunia, hendaklah hidup seolah-olah ia tidak disibuki oleh hal-hal itu. Sebab tidak lama lagi dunia ini, dalam keadaannya yang sekarang, akan lenyap!” (1Kor. 7:29-31, BIMK).
Di sini Paulus hendak mengajak umat untuk dapat menguasai dirinya. Hanya dengan itulah kesaksiannya sungguh efektif. Dan hanya dengan itulah kita sungguh-sungguh telah bertindak sebagai saksi Injil. Mengapa? Karena Allah lebih penting dari semua hal yang ada dunia! Dan itulah artinya percaya, yakni mempercayakan diri kepada Allah saja!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa