Bukan Kamu yang Memilih Aku
”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilihkamu. Aku telah menetapkankamu supaya kamu pergidan menghasilkanbuah dan buahmu itu tetap…” (Yoh. 15:16). Demikianlah pernyataan sekaligus amanat Yesus kepada para murid-Nya. Dalam pernyataan itu, jelaslah Allah yang memilih kita.
Memilih adalah tindakan aktif dan pasti disengaja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memilih berarti menentukan sesuatu yang dianggap sesuai dengan kesukaan atau selera. Memilih dapat juga berarti mencari atau memisahkan-misahkan mana yang baik. Dalam memilih nyatalah terkandung hak seseorang. Dan berkait dengan pilihan, orang luar tak mungkin campur tangan. Itu merupakan hak istimewa orang itu sendiri.
Kedaulatan Allah
”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Dalam kalimat ini jelas: Allah sendirilah yang telah memilih kita menjadi anak-Nya, dan bukan sebaliknya. Kenyataannya memang demikian: tidak mungkin seseorang mengajukan diri menjadi anak angkat. Yang mungkin terjadi hanyalah seseorang mengambil anak orang lain menjadi anak angkatnya.
Pemilihan itu merupakan hak Allah. Itu jugalah yang terlihat jelas ketika Allah memerintahkan Petrus untuk menemui Kornelius. Petrus akhirnya sadar bahwa Allah berkuasa untuk menetapkan siapa saja orang yang dipilihnya. Dan mengenai pilihan itu, Petrus tidak perlu dan tidak mungkin protes karena memang berada dalam wilayah kedaulatan Allah.
Lukas mencatat: ”Sementara Petrus berkata demikian, turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu. Semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, karena melihat karunia, yaitu Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa lidah dan memuliakan Allah.” (Kis. 10:44-46).
Jelas terlihat dalam catatan Lukas bahwa Allah berkenan kepada Kornelius dan para saudara dan sahabatnya. Bicara soal perkenanan, sekali lagi merupakan hak isitimewa Allah. Petrus tidak boleh protes. Meski bangsa Yahudi merupakan umat pilihan Allah, Petrus memahami bahwa dia tidak bisa berbuat apa pun kala Allah menyatakan kasih-Nya kepada bangsa lain.
Ungkapan ”turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu” memperlihatkan dengan gamblang hak istimewa Allah. Dan Petrus pun hanya dapat berkata: ”Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?” Dia tidak bisa berbuat lain. Jika Tuhan berkehendak, manusia hanya bisa menerima kedaulatan Allah itu tanpa syarat.
Bukan Kar’na Upahmu
”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Dalam kalimat itu jelas: kitaadalah orang pilihan. Berkait pilihan Allah itu, pertanyaan yang layak diajukan ialah mengapa? Apa alasan Allah memilih kita?
Dalam lagu ”Bukan Kar’na Upahmu” yang terekam dalam Pelengkap Kidung Jemaat 265, Godlief Soumokil menyatakan dengan jelas bahwa semuanya itu karena kemurahan Tuhan. Perhatikan liriknya: ”Bukan kar’na upahmu dan bukan kar’na kebajikan hidupmu, bukan persembahanmu dan bukan pula hasil perjuanganmu.”
Karena itulah, bersyukur menjadi hal yang sudah semestinya. Pemazmur mengajak umat untuk mengumandangkan nyanyian baru bagi Tuhan (Mzm. 98:1). Sekali lagi karena Tuhan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. Dan hal terajaib yang dilakukan Tuhan ialah mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya.
Oleh karena itu, jalan terlogis menurut sang penyair ialah ”Janganlah kau bermegah dan jangan pula meninggikan dirimu; baiklah s’lalu merendah dan hidup dalam kemurahan kasih-Nya.” Kita dipanggil untuk hidup dalam kemurahan kasih-Nya.
Pada kenyataannya, Allah memilih kita tidak untuk menikmati kasih-Nya sendirian, tetapi kita diminta pergi untuk menghasilkan buah. Kita dipilih bukan untuk diam bertopang dagu; melainkan pergi dan menghasilkan buah. Ada tanggung jawab praktis di balik pilihan Allah itu.
Perhatikan kembali ucapan Tuhan Yesus tadi: ”Bukan kamu yang memilihAku, tetapi Akulah yang memilihkamu. Aku telah menetapkankamu, supaya kamu pergidan menghasilkanbuah dan buahmu itu tetap…” (Yoh. 15:16). Allah menetapkan kita untuk pergi.
Sekali lagi, kita tidak dipilih untuk diam, tetapi untuk pergi. Kita tidak dipilih untuk bertopang dagu, melainkan untuk bergerak. Kita tidak dipilih untuk menikmati kasih Allah sendirian, tetapi untuk membagikannya—mengasihi orang lain tanpa batas. Itulah yang dimaksudkan Yesus dengan hidup yang berbuah.
Menghasilkan Buah
Namun demikian, janganlah kita terjebak untuk senantiasa mengartikan keberhasilan sebagai buah. Henri Nouwen membedakan keduanya. Hidup yang berhasil, menurut penulis Belanda itu, berpusat pada diri sendiri, sedangkan hidup yang berbuah berpusat pada Tuhan sendiri.
Ketika seseorang memaklumkan keberhasilannya, sejatinya dia sedang menyatakan kepada dunia bahwa semuanya itu adalah karena dirinya semata.
Sedangkan berbuah hanya mungkin terjadi ketika seseorang melekat erat kepada sumber hidup sejati. Yesus dengan tegas menyatakan bahwa di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Kita hanya mungkin berbuah kala kita menjadikan Yesus sebagai pusat hidup kita.
Gereja juga diutus untuk menghasilkan buah dan bukan keberhasilan. Gereja dipanggil untuk menjadi tempat di mana orang merasa aman, tenang, damai, diperhatikan, dan bertumbuh. Dengan kata lain, gereja harus menjadi sahabat siapa pun tanpa pandang bulu sebagaimana Sang Guru dari Nazaret.
Menghasilkan buah merupakan perintah Tuhan. Dalam suratnya, Yohanes menulis: ”Sebab, inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah mengalahkan dunia” (1Yoh. 5:3-4). Dan mengasihi Allah merupakan bukti bahwa kita adalah anak-anak-Nya.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa