Dengarkanlah Dia!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Kira-kira delapan hari sesudah menyampaikan perkataan itu, Yesus membawa Petrus, Yohanes, dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa” (Luk 9:28).

Marilah kita memperhatikan kembali tujuan utama Yesus mengajak Petrus, Yohanes, dan Yakobus! Yesus tidak mengajak mereka untuk hiking atau piknik, tetapi untuk berdoa. Mereka diajak untuk berdoa. Dan berdoa berarti bertemu dengan Allah. Doa berarti berkomunikasi dengan Sang Ilahi.

Menggentarkan Sekaligus Memesona

Dan Allah, menurut Rudolf Otto, mysterium tremendum et fascinosum ’Misteri yang menggentarkan sekaligus memesona’. Itulah yang harus kita perhatikan ketika kita berhadapan dengan Allah. Kita harus sadar, sesadar-sadarnya, ada jurang yang dalam antara Allah dan kita.

Ada beda kualitas antara Allah dan manusia—Dia suci, kita berdosa. Dia kudus, kita cemar. Dia mulia, kita sahaja. Allah adalah Pribadi yang menggentarkan. Pemazmur dengan tegas berkata: ”TUHANlah Raja, biarlah bangsa-bangsa gemetar. Ia bersemayam di atas kerubim, biarlah bumi berguncang” (Mzm 99:1).

Gerard Moultrie (1829 – 1885) menulis syair yang diterjemahkan oleh Pdt. van Dop, direkam dalam PKJ 29:1-4:

Patut segenap yang ada diam dan sujud sembah,
mengosongkan pikirannya dari barang dunia,
kar’na Tuhan sungguh hadir, patut dipermulia.

Inilah keniscayaan itu: setiap ciptaan patut diam dan menyembah Allah karena Allah adalah Pribadi yang menggentarkan. Dan itu jugalah yang terjadi pada Harun dan umat Israel. Penulis Kitab Keluaran mencatat: ”Lalu Musa turun dari Gunung Sinai dengan kedua loh hukum di tangannya. Ketika turun dari gunung itu, ia tidak menyadari bahwa kulit wajahnya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan Tuhan. Ketika Harun dan semua orang Israel melihat Musa, tampaklah kulit wajahnya sehingga mereka takut mendekati dia” (Kel 34:29-30). Ada rasa ketakutan yang mendalam dalam diri Harun dan umat Israel. Mereka agaknya memahami bahwa sebagai pribadi enggak kudus-kudus amat.

Namun, yang tidak boleh dilupakan, Allah jugalah Pribadi yang memesona. Kenyataan inilah yang membuat Bapa Gereja Augustinus berkata, ”Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri. Jiwa-jiwa kami gelisah hingga bertemu dengan-Mu.” Manusia, yang diciptakan menurt gambar dan rupa Allah itu, membutuhkan persekutuan dengan Allah. Allah, yang meski menggentarkan, toh membuat manusia kangen untuk hadir dalam hadirat Allah.

Sungguh Baik

Itu jugalah yang secara tersurat ada dalam hati dan pikiran Petrus: ”Guru, sungguh baik kita berada di tempat ini. Biarlah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa, satu untuk Elia” (Luk 9:33). Petrus sungguh bahagia melihat bagaimana Sang Guru dalam kemuliaan-Nya bercakap-cakap dengan Musa dan Elia.

Bagaimanapun, baik Musa dan Elia merupakan para pemimpin Israel. Jika Musa dikenal sebagai pendiri dan penetap dasar hukum Israel dengan Tauratnya, Elia adalah pribadi yang mencoba menjaga kemurnian Israel dalam menaati hukum tersebut. Petrus pasti merasa bahagia sekali karena menyaksikan Sang Guru berada pada level yang sama dengan Musa dan Elia.

Perhatikan, keinginan Petrus membuat kemah bisa diartikan bahwa dia tidak ingin kejadian itu cepat berlalu. Dia ingin berlama-lama berada di gunung itu. Dia tidak ingin meninggalkan gunung itu. Mengapa? Karena dia sudah turut merasakan kemuliaan itu.

Dan akhirnya terdengarlah suara dari dalam awan: ”Inilah Anak-Ku, pilihan-Ku, dengarkanlah Dia” (Luk 9:35). Kalimat-kalimat itu menjadi penting. Yang pertama adalah pernyataan dan yang kedua adalah perintah.

Pernyataannya: Inilah Anak-Ku yang Kupilih. Dipilih untuk apa? Dan itulah sesungguhnya yang menjadi bahan percakapan antara Musa, Elia, dan Yesus, yaitu: kematian Yesus yang tidak lama lagi akan dijalankan-Nya di Yerusalem.

Sekali lagi, kemungkinan besar para murid tak paham dengan jalan yang akan ditempuh Sang Guru. Bagaimana mungkin Yesus mati dibunuh? Mungkinkah orang membunuh Yesus? Mungkinkah orang menangkap Yesus, setan-setan saja takut kepada-Nya?

Jawabnya: tentu tidak mungkin. Yang mungkin ialah Yesus menyerahkan diri-Nya untuk dibunuh. Kalaupun Yesus dibunuh, pada hari ketiga Dia bangkit. Bagaimana mungkin itu terjadi?

Kisah Yesus dimuliakan di atas gunung memperlihatkan bahwa kebangkitan Yesus bukan kemustahilan. Kisah itu merupakan bukti nyata—Yesus adalah Anak Allah.

Pemuliaan Yesus di atas gunung seharusnya mendorong para murid untuk tetap percaya dalam keadaan apa pun juga. Mengapa? Sebab guru mereka mulia.

Yang kedua, perintah: Dengarkanlah Dia! Sebenarnya ini merupakan implikasi logis dari pernyataan tadi. Jika Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, menjalankan perintah-Nya merupakan hal yang wajar. Yang tidak wajar, ketika kita lebih suka mendengarkan suara kita sendiri.

Hidup Mulia

Lagi pula, Paulus berkata: ”Kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, kita sedang diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2Kor 3:18).

Ketika kita berada dalam persekutuan dengan Tuhan, kita akan diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. Pada titik ini, hidup mulia itu merupakan keniscayaan. Sebab Tuhan sendirilah yang tinggal dalam diri kita.

Oleh karena itu, selanjutnya Paulus berkata: ”Oleh rahmat Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu, kami tidak tawar hati. Namun, kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya, kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dinilai menurut hati nurani semua orang di hadapan Allah” (2Kor 4:1-2).

Beberapa hal yang bisa kita petik dari surat Paulus ini adalah:

1. Paulus belajar untuk tidak tawar hati karena menyadari bahwa pekerjaan itu merupakan karunia Allah. Dalam BIMK tertera: Kami melakukan pekerjaan ini karena kemurahan hati Allah. Itu sebabnya kami tidak putus asa. Tidak putus asa bahkan ketika orang meragukan pekerjaannya.

2. Paulus menyatakan kebenaran dan bersikap transparan. Paulus siap untuk dinilai publik. Bersikap transparan berarti bersikap apa adanya dan tidak ada yang disembunyikan. Dan itulah prinsip setiap murid Kristus yang hidup dalam kemuliaan Kristus!

Yoel M. indrasmoro

Foto: Istimewa