Di Atas Batu Karang Ini….

”Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku” (Mat. 16:18). Demikianlah kalimat yang keluar dari mulut Sang Guru saat menanggapi pengakuan para murid, yang diwakili Simon Petrus.
”Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku”. Kalimat ini menyiratkan bahwa Yesus—Allah yang menjadi manusia itu—adalah Pribadi yang berjanji. Ada kata “akan” dipakai di sana. Artinya, belum terjadi. Yesus—Allah yang menjadi manusia itu—memang gemar mengikatkan diri-Nya pada sebuah janji.
Milik Allah
Dalam kalimat ini jelas bahwa Gereja adalah milik Yesus Kristus. Kalimat ini sengaja digaungkan kembali karena persoalan kerap muncul ketika manusia mulai mengampanyekan diri selaku pemilik gereja.
Dalam bukunya Gereja Milik Siapa?, Martin B. Dainton menengarai bahwa pertikaian gereja sedikit banyak berakar pada soal kepemilikan gereja. Sewaktu manusia mulai merasa dirinyalah pemilik gereja itu, dan bukan Allah, pada titik inilah masalah muncul. Karena merasa gereja itu miliknya, dia merasa boleh bertindak semau-maunya. Atau, karena merasa mempunyai andil dalam pendirian gereja, dia boleh memperlakukan gereja itu sesukanya.
Gereja adalah milik Kristus. Gereja didirikan oleh Kristus. Setiap orang yang terlibat dalam penanaman dan pertumbuhan Gereja rekan sekerja Kristus. Sang Inisiator tetaplah Kristus. Kristuslah Sang Kepala Gereja. Dan segala persoalan gereja akan relatif mudah dipecahkan ketika setiap orang tunduk pada kenyataan ini.
”Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku.” Gereja Kristus berdiri di atas batu karang. Karena itulah, kita tak perlu cemas akan nasib Gereja selanjutnya. Bagaimanapun, dia berdiri di atas batu karang dan bukan di atas pasir. Dia akan tetap kokoh berdiri.
Namun, jangan pula kita lupa bahwa berdiri di atas batu karang berarti juga terus berada dalam terpaan ombak. Berdiri di atas batu karang berarti tiada satu hari pun tenang tanpa empasan ombak. Ini hanyalah sebuah konsekuensi. Gereja akan terus dihantam ombak. Ombaknya bisa kecil, bisa juga macam tsunami. Dan kenyataan ini kadang membuat kita cemas.
Akan tetapi, sekali lagi, baiklah kita ingat, berdiri di atas batu karang merupakan jaminan bahwa gereja akan tetap berdiri. Bagaimanapun, gereja itu berdiri di atas batu karang. Dia tidak berdiri di atas pasir.
Pengakuan Iman
Dan batu karang itu adalah sebuah pengakuan iman: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Inilah batu karang itu. Dasar utama Gereja bukanlah daya, dana, maupun teologi. Ketiganya penting, namun semuanya itu adalah konsekuensi logis, yang bersumber pada sebuah pengakuan iman. Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup merupakan dasar utama gereja. Dan di atas dasar inilah Kristus mendirikan gereja-Nya.
Ketika hanya berkonsentrasi pada daya tanpa pengakuan iman, Gereja akan menjadi sibuk dengan banyak kegiatan tanpa arah. Ketika hanya berkonsentrasi pada dana tanpa pengakuan iman, gereja akan menjadi kaya raya, namun enggan memberi. Ketika hanya berkonsentrasi pada teologi tanpa pengakuan iman, Gereja akan menjadi piawai bicara tanpa aksi.
Pengakuan iman adalah dasar utama Gereja. Dan bicara soal pengakuan iman berarti bicara soal pembinaan. Dan bicara soal pembinaan berarti bicara pula soal kualitas ajaran. Gereja harus menjadi gereja yang senantiasa belajar agar setiap warga jemaat mampu membedakan antara ajaran benar dan palsu.
Berkait uang palsu, pemerintah telah mengajak warganya untuk waspada terhadap uang palsu, yakni dengan cara 3D: dilihat, diraba, diterawang. Menurut Pdt. Eka Dharmaputera, satu-satunya cara untuk menjadi ahli uang palsu bukanlah dengan mempelajari uang palsu, tetapi harus terlebih dahulu sungguh-sungguh mengenali yang asli. Setelah itu, dia pasti mampu menetapkan mana yang asli dan mana yang palsu.
Demikian juga ajaran. Jika Gereja hendak terus ada, Gereja harus mengupayakan kualitas ajaran. Dan kualitas ajaran tidak terletak di pundak para pejabat gereja, namun di pundak setiap warga jemaat. Gereja harus mau menjadi gereja yang belajar.
Pembaruan Budi
Berkait dengan pembelajaran, Paulus menasihatkan kepada Jemaat di Roma agar mereka berubah oleh pembaruan budi mereka.
Berubahlah. Gereja yang berubah ialah gereja yang peka terhadap perubahan dunia ini. Bukan berarti bahwa gereja harus melulu ikut tren dan arus dunia. Tidak sama sekali. Namun, berubah di sini merupakan upaya gereja untuk tetap bersifat, bersikap, dan bertindak kontekstual. Bagaimanapun, Gereja tidaklah berada dalam ruang hampa. Gereja senantiasa berada dalam konteks (ruang dan waktu).
Pembaruan Budimu. Perubahan yang dimaksud dalam kalimat ini bukanlah tanpa dasar. Dan dasarnya ialah pembaruan budi. Bukan pembaruan budi orang lain, tapi pembaruan budi kita sendiri (umat). Budi yang diperbarui (renewing of minds). Budi di sini dapat juga diartikan sebagai akal-budi; nalar-hati; atau nalar-rasa. Ada kaitan antara pikiran dan perasaan. Budi sendiri melingkupi keutuhan manusia, yakni: apa yang dia pikir, rasa, dan tindak!
Jelaslah berubah di sini memang tidak asal berubah. Perubahan didasarkan pada pembaruan budi. Dan itu berarti bahwa kita menyadari bahwa kita masing-masing mempunyai karunia-karunia pelayanan yang berlainan. Karunia-karunia itu diberikan oleh Allah kepada kita menurut rahmat-Nya. Sebab itu kita harus memakai karunia-karunia itu. Orang yang mempunyai karunia untuk mengabarkan berita dari Allah, harus mengabarkan berita dari Allah itu menurut kemampuan yang ada padanya.
Orang yang mempunyai karunia untuk menolong orang lain, harus sungguh-sungguh menolong orang lain. Orang yang mempunyai karunia untuk mengajar, harus sungguh-sungguh mengajar. Orang yang mempunyai karunia untuk memberi semangat kepada orang lain, harus sungguh-sungguh memberi semangat kepada orang lain. Orang yang mempunyai karunia untuk memberikan kepada orang lain apa yang dipunyainya, harus melakukan itu dengan murah hati secara wajar. Orang yang mempunyai karunia untuk memimpin, harus sungguh-sungguh memimpin. Orang yang mempunyai karunia untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, harus melakukannya dengan senang hati.
Kisah Sifra, Pua, Ibu Musa, Kakak Musa, Putri Firaun merupakan kisah nyata dari perubahan oleh pembaruan budi (Kel. 1:8–2:10). Mereka berubah agar lebih banyak berbuah. Dengan karunianya masing-masing mereka bisa menyelamatkan sebuah bangsa dari pemunahan. Bayangkan setiap bayi laki-laki Ibrani harus mati. Itu berarti regenerasi total berhenti!
Kita, orang percaya abad ke-21, bisa meneladan mereka—berubah agar lebih banyak berbuah. Kita mesti berubah agar mampu bertindak kontekstual. Dan perubahan bertumpu pada pembaruan budi. Dan pembaruan budi berdasar pada pengakuan iman.
Ya, sebuah pengakuan iman: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.” Inilah pengakuan iman para murid perdana. Dan ini jugalah pengakuan iman Gereja selanjutnya. Ini jugalah pengakuan iman kita. Pengakuan iman ini pulalah yang menjadi sebab Yesus mengucapkan komitmen berikut: ”Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:20).
Adakah yang lebih menghibur dan menguatkan ketimbang janji ini?
Amin.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangung Jiwa via Media
Foto: Istimewa