Di Jumat Agung itu

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Itu Tubuh/Mengucur darah/mengucur darah. Demikianlah Chairil Anwar memulai syairnya ”Isa”. Di Jumat Agung itu ada tubuh yang mengucur darah. Chairil tidak bicara soal darah yang menetes, tetapi soal darah yang mengucur. Bukan tetesan, tetapi kucuran. Dan darahlah yang mengucur di salib itu. Seperti domba yang disembelih, bukan tetesan darah, melainkan kucuran darah. Darah itu mengucur karena Yesus—orang Nazaret—rela darah-Nya tercurah.

Mengapa darah itu tercurah? Karena setiap orang tak lagi menjalani hidup seturut versi Allah, t”etapi hidup seturut versinya masing-masing. Dan semuanya bermuara pada kekecewaaan demi kekecewaan. Sesungguhnya itu jugalah yang terlihat jelas dalam peristiwa di Jumat Agung itu—mulai dari istana Pilatus hingga Golgota!

Di Istana Pilatus

Di istana Pilatus kita menyaksikan bagaimana bagaimana Pilatus kukuh pada versinya sendiri, yang membuat dia bingung sendiri. Dalam pengadilan itu kita bisa menyaksikan adanya perubahan status:  dari pendakwa, Pilatus menjadi terdakwa. Dalam percakapan jelaslah bahwa Yesus mengatakan bahwa diri-Nya raja, tetapi Kerajaan-Nya bukanlah dari dunia ini. Yesus berusaha untuk menyatakan versi-Nya, namun Pilatus keukeuh pada versinya sendiri.

Dalam percakapan itu, jelas pula bagaimana Yesus Orang Nazaret menyatakan misi-Nya adalah memberi kesaksian tentang kebenaran. Dan ada undangan kepada Pilatus untuk juga menjadi saksi kebenaran. Sayangnya, Pilatus tak melanjutkan percakapan itu, tetapi berbicara dengan dirinya sendiri: Apakah kebenaran itu?

Di sinilah mungkin persoalan besar Pilatus. Dia bertanya tentang kebenaran, tetapi telinganya tak begitu siap untuk mendengarkan kebenaran itu sendiri. Mengapa? Sebab dia telah memiliki versinya sendiri. Sehingga pertanyaan yang baik itu lenyap di udara. Pertanyaan yang baik memang perlu diajukan kepada pribadi yang tepat agar mendapatkan jawaban yang baik pula. Namun, yang juga perlu dipersiapkan ialah orang yang bertanya perlu mempersiapkan dirinya untuk menerima jawaban dari pertanyaannya itu.

Sekali lagi, di sinilah persoalan Pilatus. Ia punya pertanyaan baik, sayangnya ditujukan pada dirinya sendiri. Pertanyaan ”Apakah kebenaran itu?” menggantung di udara. Pilatus tidak berusaha  menjawabnya, juga tidak berupaya mendengarkan komentar Yesus, tetapi meninggalkan Yesus. Sayang memang.

Tindakan Pilatus itu agaknya membuat dia menjadi ragu dalam mengambil keputusan. Ketika Pilatus mendengar bahwa orang-orang Yahudi itu menuntut hukuman mati—Pilatus—Sang Gubernur, orang yang begitu berkuasa—malah menjadi ketakutan. Orang-orang Yahudi itu mempunyai versinya sendiri. Pada pemahaman mereka Yesus memang harus mati karena telah menyamakan diri-Nya dengan Allah.

Ketakutan Pilatus membuatnya masuk ke dalam gedung pengadilan dan berkata kepada Yesus, ”Dari manakah asal-Mu?” Namun, Yesus tidak memberi jawab apa pun. Yesus diam. Ia bergeming. Mengapa? Karena Pilatus memang lebih senang mendengarkan suaranya sendiri.

Pertanyataannya sekarang ialah siapa yang lebih kita dengarkan? Suara orang lain atau suara kita sendiri? Mungkin tak terlalu sulit menjawabnya. Sebagai pribadi merdeka, tentu kita lebih ingin mengikuti kehendak pribadi ketimbang ikut-ikutan orang lain. Namun, di sini persoalannya, apakah yang kita ikuti: hati nurani atau suara Tuhan? Mungkin serentak kita berkomentar: Bukankah hati nurani ialah suara Tuhan? Jawabannya, belum tentu! Bagaimanapun, setulus-tulusnya hati nurani, itu tetap keluar dari keberdosaan manusia.

Bukankah itu juga yang ada di benak Pilatus. Ia sungguh ingin membebaskan Yesus. Bahkan membuat referendum—pilih mana Yesus atau Barabas? Nuraninya benar, tetapi ketika menggugu pada nurani sendiri—ujung-ujungnya adalah diri sendiri, Pilatus malah membuat blunder dan akhirnya menyerah pada kemauan orang banyak!

Ketika Pilatus mulai kesal dan mempersoalkan kuasa, Yesus menegaskan  bahwa Allah lebih berkuasa dari diri Pilatus. Perhatikan bahwa Yesus berbicara soal kuasa. Kuasa dalam pandangan Yesus adalah amanat, tanggung jawab, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Selanjutnya penulis Injil Yohanes tidak mencatat kata-kata Yesus Orang Nazaret. Sebab, meskipun kata-kata Yesus terdengar, pastilah tenggelam dengan terikan massa, yang berujung pada salib di Golgota.

Di Golgota

Menghayati penderitaan Yesus di salib, Chairil Anwar menulis:

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar Tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Salib mengajak Saudara dan saya bercermin untuk tidak bersikukuh pada versi kita masing-masing. Satu-satunya versi yang mesti kita ikuti adalah versi Tuhan. Ia telah mencipta kita, bahkan menyelamatkan kita, masak iya kita masih keukeuh pada versi kita masing-masing.

Lihatlah salib itu! Dari atas salib Yesus berkata kepada ibu-Nya, ”Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya, ”Inilah ibumu!” (lih. Yoh. 19:26-27). Di salib itu Yesus mengamanatkan sebuah tanggung jawab. Pertanyaannya: Apakah tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita sekarang ini?  

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa