Di Masa dan Meriba
Sabda-Mu Abadi | 1 Juli 2024 | Kel. 17:1-7
Kisah di Masa dan Meriba mungkin sedikit membingungkan kita. Mulanya, penulis mencatat bahwa orang Israel berjalan dari persinggahan ke persinggahan lain sesuai titah Allah. Jika Tiang Awan atau Tiang Api itu bergerak, umat pun bergerak. Jika Tiang Api atau Tiang Awan itu berhenti, mereka pun berkemah. Tiada protes. Semua menuruti perintah Allah tanpa reserve. Tanpa syarat.
Tentunya, ada banyak alasan di balik semuanya itu. Umat Israel sungguh merasakan bahwa Allah ada dan selalu siap menolong mereka. Bukti melimpah: mulai dari sepuluh tulah di Mesir, penyeberangan Laut Teberau, pengubahan air pahit menjadi manis di Mara, hingga pemberian manna dan burung puyuh.
Namun, kisah itu berlanjut dengan pertengkaran antara orang Israel dan Musa. Di Masa dan Meriba mereka protes keras kepada Musa karena tidak menemukan air untuk di minum. Lalu, apa gunanya manna dan burung puyuh tanpa air? Tentunya, orang bisa menahan lapar barang beberapa hari, tetapi perkara haus, siapa pula yang bisa menahannya?
Dan ngerinya, ketiadaan air itulah yang menyebabkan umat Israel seolah lupa segala keajaiban yang mereka telah terima. Mereka tampak alpa dengan kenyataan hidup bahwa selama ini mereka telah dicukupi Allah. Ketiadaan air membuat mereka mempertanyakan keberadaan Tuhan. Mereka bertanya, ”Apakah TUHAN ada di tengah-tengah kita atau tidak?”
Mungkin kita, orang percaya abad ke-21, heran menyaksikan kisah ini. Begitu mudahnya keyakinan berubah. Dari menaati Allah tanpa syarat mereka mempertanyakan keberadaan-Nya. Di sinilah anehnya. Mereka tidak meminta air kepada Allah. Mereka seolah melupakan sejarah hidup mereka sendiri. Bahwa Allah pernah berkarya dalam hidup mereka. Yang ada hanyalah gerutuan!
Ya, mereka mempertanyakan keberadaan Allah. Aneh, tetapi itulah kenyataannya! Mungkin, kita heran dengan sikap Israel. Namun, bisa jadi ini juga kisah kita.
Saat duka menerpa, bagaimana sikap kita? Ketika sakit tiada kunjung sembuh, ketika kesulitan hidup makin menekan, ketika masalah silih berganti muncul, ketika harapan seolah jauh panggang dari api, mungkin kita masih percaya bahwa Allah ada, tetapi mungkin kita pun tergoda untuk berpikir bahwa Allah sudah tak lagi memedulikan kita. Sebagaimana Israel, kita pun kadang plin-plan. Dan menjadi panggilan kita untuk tidak turut menciptakan generasi plin-plan.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar: