Di Sebuah Perigi
Dua orang bertemu di sebuah perigi. Hanya berdua. Hari kira-kira pukul dua belas siang.
Keduanya tampak sedikit canggung. Terlalu banyak beda di antara mereka. Yang seorang: laki-laki Yahudi, masih muda, guru agama yang sedang naik daun, dengan standar moral tinggi tiada banding.
Yang lainnya: perempuan Samaria cantik, terkenal bukan saja karena kecantikannya, tetapi sudah lima kali kawin dan sekarang tinggal dengan laki-laki yang bukan suaminya.
Berilah Aku Minum
Laki-laki itu Yesus. Tampaknya, Ia tak tahan berada dalam kecanggungan itu. Mulut-Nya bergerak, memohon, ”Berilah Aku minum!” (Yoh. 4:7)
Perempuan itu terkejut bukan kepalang. Heran mendengar seorang Yahudi meminta sesuatu kepadanya. Ini peristiwa langka. Biasanya, orang Yahudi terlalu tinggi gengsinya untuk memohon sesuatu kepada orang Samaria. Sebagai bangsa pilihan dan murni, mereka menganggap Samaria sebagai bangsa campuran yang tak mengindahkan hukum Allah.
Tak hanya itu, mereka juga tak mau memakai cangkir atau mangkuk yang dipakai orang Samaria. Mereka takut tercemar. Di mata orang Yahudi, orang Samaria tak beda dengan penderita kusta. Bersentuhan dengan orang Samaria hanya akan membuat najis diri mereka.
Karena itu, permintaan Yesus membuat perempuan itu terperanjat. Dengan permintaan itu, jelaslah Yesus bersedia menggunakan alat timba perempuan Samaria itu.
Permintaan itu membuat perempuan itu merasa dihargai. Ini jarang terjadi. Biasanya, orang-orang, khususnya laki-laki dewasa, hanya meminta kecantikannya. Mereka hanya ingin bersetubuh dengannya. Tak lebih dari itu. Yesus tak meminta kecantikannya. Dia hanya minta minum.
Perempuan itu merasa tersanjung. Ia merasa dianggap memiliki sesuatu, yang darinya orang dapat menerima sesuatu yang baik. Dan sekali lagi, itu bukanlah kecantikannya.
Air Hidup
Selanjutnya, percakapan mengalir dengan cepat dan lancar. Percakapan itu melebur batas bangsa, kasta, dan moral. Percakapan yang bermuara pada persoalan besar manusia: air.
Air merupakan kebutuhan utama manusia setelah oksigen. Orang masih bisa hidup beberapa hari tanpa makanan, tetapi tidak tanpa air. Manusia tak mungkin hidup tanpa air. Bahkan, 95 persen otak manusia terdiri atas air. Air merupakan kebutuhan vital manusia. Tanpa air manusia tak mampu berbuat apa-apa, juga berpikir.
Itulah yang terjadi di Masa dan Meriba (Kel. 17:1-7; Mzm. 95:8). Ketiadaan air membuat orang Israel yang baru merdeka itu melupakan kemerdekaannya. Ketiadaan air membuat mereka ingin kembali ke Mesir. Ketiadaan air membuat manusia tak mampu mengontrol emosinya. Bahkan, ketiadaan air membuat manusia mempertanyakan keberadaan Tuhan. Ketiadaan air membuat mereka berpikir bahwa Tuhan telah meninggalkan mereka. Ketiadaan air membuat iman mereka goyah.
Yesus, Allah yang menjadi manusia itu, mengerti sungguh akan keberadaan manusia tanpa air. Tetapi, Dia melangkah lebih jauh. Guru dari Nazaret itu menawarkan air hidup kepada perempuan Samaria itu. Dia menegaskan bahwa air hidup yang ditawarkan-Nya tidak akan membuat manusia haus lagi. Akibatnya, giliran perempuan itu yang meminta sesuatu kepada Yesus, ”Berikanlah aku air itu!” (Yoh. 4:15).
Ada yang tersurat dan tersirat dalam permohonan itu. Tersurat: perempuan itu tidak ingin datang ke perigi itu lagi. Sejatinya, ia merasa malu jika harus bertemu dengan para perempuan Samaria lainnya. Itulah sebabnya, dia mengambil air ketika hari siang. Dia merasa tak merasa enak hatinya bertemu para perempuan yang kerap bergosip mengenai dirinya.
Tersirat: perempuan itu haus rohaninya. Lima kali perkawinannya kandas. Sekarang dia sendiri tak berani mengikat diri dengan pasangan kumpul kebonya. Dia takut kalau-kalau perkawinan itu pun gagal lagi.
Dengan kata lain, perempuan itu haus baik jasmani maupun rohani. Dan Yesus tahu itu. Karena itulah, bisa dimengerti mengapa Guru dari Nazaret itu menawarkan air hidup kepada perempuan Samaria itu.
Air hidup itu adalah Dirinya sendiri. Dan di dalam Kristus, perempuan itu seperti bercermin. Yesus menyatakan keberadaan perempuan itu apa adanya. Di muka Yesus memang tak ada yang perlu disembunyikan. Yang terpenting adalah datang kepada Yesus sebagaimana adanya. Sebab oleh Dia kita telah diperdamaikan dengan Allah (Rm. 5:10).
Tak Perlu Topeng
Tak perlu topeng. Semua manusia telanjang di hadapan Allah. Menyembunyikan sesuatu di hadapan Allah hanya akan membuat kita semakin merasa tak layak. Menyembunyikan sesuatu di hadapan Allah hanya akan membuat kita tak merasa nyaman berhadapan dengan-Nya. Menyembunyikan sesuatu di hadapan Allah hanya akan membuat kita letih. Menyembunyikan sesuatu di hadapan Allah hanyalah tindakan sia-sia.
Jika kita punya kesalahan, akuilah semuanya itu di hadapan Allah. Dan Allah akan mengampuni kita. Yesus akan menerima kita apa adanya dan membenarkan kita.
Kata Pascal, hanya ada dua macam orang: orang benar yang menganggap dirinya berdosa dan orang berdosa yang menganggap dirinya benar.
Orang macam apakah kita?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa