Dipanggil Seturut Namanya

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering” (1Sam. 3:1). Demikianlah konteks pemanggilan Samuel. Hubungan antara umat Israel dan Allah semestiya dekat. Namun, yang terjadi jarang sekali komunikasi terjadi antara Allah dan umat-Nya.

Bisa jadi itu disebabkan karena anak-anak Eli ternyata tidak mengindahkan Allah. Sebagai imam mereka bertindak semaunya sendiri. Dan Eli sebagai pemimpin umat Israel enggan menegur mereka. Pemimpin yang tidak menjadi teladan moral dan etika berimbas kepada hancurnya bangsa yang mereka pimpin. Dan pada titik itulah Allah bertindak. Ia menyiapkan Samuel menjadi pemimpin bangsa.

Namanya Samuel

Samuel namanya. Nama ini sungguh sarat arti. Samuel berarti aku telah memintanya dari TUHAN. Samuel berarti pemberian Allah. Karena telah memintanya dari Allah, Hana berikhtiar memberikan anaknya kembali kepada Allah untuk menjadi pelayan.

Jelaslah, nama Samuel bukanlah nama sembarangan. Dan malam itu nama itu berkumandang di telinga Samuel—”Samuel, Samuel!” Tidak cuma sekali. Hingga tiga kali. Samuel mengira itu adalah suara Eli, sehingga dia bolak-balik menghadap Eli. Dan akhirnya Eli pun menyadari bahwa itu adalah suara Allah.

Apa artinya semuanya ini?

Pertama, Allah, Sang Pencipta, adalah Pribadi yang mengenal ciptaan-Nya. Dia memahami karakter dan keunikan setiap manusia. Sekali lagi, karena Dialah yang telah menciptakan manusia. Dia jugalah yang telah menciptakan Samuel. Tuhan merancangkan hidup Samuel, bahkan sebelum dia lahir. Pemazmur bersaksi: ”mata-Mu melihat selagi aku belum berbentuk, dan dalam kitab-Mu semua sudah tertulis, hari-hari yang sudah dibentuk, sebelum ada satu satu hari pun” (Mzm. 139:16).

Hana, ibu Samuel sangat paham akan hal itu. Sehingga dia menyerahkan kembali Samuel ke tangan Allah. Samuel bukanlah miliknya semata. Samuel adalah dari Allah dan milik Allah.

Kedua, selain itu, Allah juga Pribadi yang ingin bersekutu dengan manusia. Allah adalah Pribadi yang menyapa manusia. Allah ingin berkomunikasi dengan manusia. Kisah pemanggilan Samuel memperlihatkan bagaimana dalam setiap zaman, Allah ingin ngobrol dengan manusia. Dia ingin berkomunikasi dengan manusia. Dan Allah ingin manusia menanggapi panggilan itu sebaik mungkin. Imam Eli meninggalkan pesan yang baik, tidak hanya untuk Samuel, tetapi juga manusia di segala abad, ”Berfirmanlah, ya TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam. 3:9).

Nasihat Imam Eli merupakan hal logis. Jika Allah ingin berkomunikasi dengan kita, hal terwajar yang perlu kita lakukan ialah mendengar suara-Nya.

”Berfirmanlah, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Kalimat ini mensyaratkan adanya kesiapan manusia untuk mendengar suara Tuhan. Kalimat ini juga menyiratkan bahwa manusia menyadari apa yang hendak dikatakan merupakan sesuatu yang penting. Karena penting itulah, maka kita menyediakan diri untuk mendengarkan suara-Nya.

Dan di sepanjang zaman Allah senantiasa menyapa umat-Nya. Sekali lagi, seturut dengan namanya.

Yesus Memanggil

Yesus, Allah yang menjadi manusia, pada zamannya juga memanggil orang per orang. Yesus tidak memanggil sekelompok orang. Dia memanggil orang per orang, masing-masing seturut namanya. Kepada Filipus Yesus berkata, ”Ikutlah Aku!”

Sebuah ajakan tanpa paksaan. Filipus peka dengan panggilan itu dan meresponsnya. Kita tidak tahu bagaimana perasaan Filipus waktu itu. Saya duga Filipus menyadari bahwa yang mengajaknya memang bukan pribadi sembarangan. Dia terpesona dengan pribadi tersebut. Filipus pun mengikut Yesus.

Dan Filipus, orang yang telah merasakan persekutuan dengan Allah itu, tidak ingin menikmati persekutuan itu sendirian. Dia menceritakan pengalamannya itu kepada Natanael. Natanael tidak serta merta percaya. Natanael meragukan cerita Filipus. Bagaimanapun, Natanael mengenal Yesus sebagai orang yang berasal dari Nazaret. Dan memang tidak ada yang baik yang berasal dari Nazaret.

Ketika Natanael meragukan kisah perjumpaan Filipus dengan Yesus, Filipus tidak mengajukan argumentasi. Dia tidak mendebat. Dia hanya mengajak, sekali lagi tanpa paksaan, ”Mari dan lihatlah!” Dan Natanael pun peka dengan panggilan tersebut. Kepekaan terhadap panggilanlah yang akhirnya membuat manusia dapat berjumpa dengan Allah.

Sang Guru pun memuji Natanael, ”Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya.” Kita perlu belajar sebagai orang-orang yang dipilih Allah sebagai milik-Nya untuk hidup kudus. Tidak ada kepalsuan. Paulus berseru kepada umat di Korintus: ”Muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor. 6:20). Hidup kudus bukanlah hal yang luar biasa. Hidup kudus merupakan hal yang biasa-biasa saja karena kita telah ditebus Allah dan menjadi milik Allah.

Kepekaan

Apa artinya bagi kita? Kita perlu peka terhadap panggilan Allah. Kita perlu peka terhadap apa yang Allah ingin kita lakukan pada masa ini. Bagaimana caranya? Kita perlu melatih pendengaran kita. Biarlah telinga kita tidak hanya mendengarkan apa yang ingin kita dengar. Kita perlu mendengar suara Allah. Dalam hal ini kita perlu diam. Bukan berarti kita tidak boleh omong. Namun, di sini memang soalnya, kebanyakan omong akan membuat kita kurang peka terhadap suara Allah.

Kita perlu diam. Sebagaimana Filipus, kita pun perlu diam. Kita tidak perlu berargumentasi macam-macam. Kita perlu diam agar orang lain bisa mendengar suara Allah. Kalau kita banyak ngomong, jangan-jangan dia hanya mendengarkan omongan kita.

Ya, kita perlu diam.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa