Gembalakankah Domba-dombaku

Petrus terpana. Yesus menyapanya di pantai Danau Tiberias. Yohanes mencatat, ini kali ketiga bagi Yesus memperlihatkan diri kepada para murid-Nya (Yoh. 21:1-19). Kehadiran-Nya kali ini terasa lain bagi Petrus. Sang Guru bertegur sapa dengannya secara pribadi.
Sapaan itu besar maknanya. Dalam pertemuan sebelumnya Yesus tidak secara khusus menyapanya. Petrus pun merasa sungkan mendahului percakapan mengingat kisah penyangkalannya.
Kegalauan Petrus
Kebangkitan Yesus memang melegakan Petrus. Semangatnya bergelora. Orang yang dikasihinya bangkit. Yesus tak berdusta.
Namun, kebangkitan Yesus tak menyirnakan kegalauan Petrus. Bagaimanapun, kebangkitan itu tak bisa menghapus peristiwa di halaman Istana Imam Besar, Jumat Subuh itu, sewaktu Petrus membantah, bahkan mengutuk dan bersumpah, ”Aku tidak kenal Orang itu!” (Mat. 26:74).
Inilah dilema Petrus: ingin ngobrol, namun tak punya nyali; mau, tetapi malu. Petrus tak berani memandang wajah Yesus. Ia khawatir ditolak. Jangan-jangan, Yesus tak lagi menganggapnya murid.
Tampaknya, penyangkalannya telah menjadi buah bibir para murid. Itu merupakan kesalahan fatal. Bisa jadi, Petrus pun merasa tak enak hati saat bersama-sama murid lainnya. Ia menjadi bahan gosip. Yudas Iskariot juga menjadi bahan gosip, tetapi ia telah mati bunuh diri.
Namun demikian, para murid tahu bahwa Petrus sungguh menyesal. Tatkala Yesus memandangnya, sesaat setelah penyangkalan, Petrus meninggalkan halaman istana dan menangis dengan sedihnya.
Petrus menangis karena menyadari betapa ringkihnya daging itu. Belum lama dia bertekad mati bersama Sang Guru. Yang terjadi, dia malah mengingkari hubungannya dengan Sang Guru di hadapan seorang hamba perempuan.
Daging memang lemah. Dan Petrus menangisinya. Itu bukanlah air mata biasa. Itulah air mata yang terpancar dari mata air ketulusan. Itu pulalah agaknya yang membuat para murid masih menghormatinya.
Petrus frustrasi. Dia merasa tak layak menjadi penjala manusia. Ketaklayakan itu makin mengental, berbuah dalam keinginan: ”Aku mau pergi menangkap ikan” (Yoh. 21:3)
Pemulihan Petrus
Yesus mengetahui semua itu. Ia sungguh mengenal Petrus. Ia tahu sulitnya posisi sang murid. Bagaimanapun, di mata Sang Guru, Petrus setia. Ia tak lari seperti yang lainnya kala Yesus ditangkap. Ia diam-diam menguntit rombongan itu. Ia ingin menemani gurunya.
Karena itulah, ketika Petrus mengajak para murid lainnya menjala ikan, Yesus merasa perlu menemui sang murid dan meneguhkannya kembali menjadi penjala manusia.
Yesus mengambil prakarsa. Ia tak ingin membiarkan Petrus dalam kegelisahan. Sang Guru meretas keresahannya dengan bertanya: ”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”
Pertanyaan-Nya menukik tajam, tepat sasaran, tanpa tedeng aling-aling. Tiada basa-basi. Yesus mempersoalkan makna terdalam sebuah hubungan: kasih. Jawaban sang murid sungguh radikal: ”Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”
Petrus merasa tak cukup hanya menjawab: ”Benar Tuhan.” Tidak. Petrus mendasarkan jawaban pada kemahatahuan Yesus. Dasar jawaban Petrus tidak terletak pada keakuan diri, tetapi pada diri Yesus sendiri. Dasar jawaban Petrus tidak terletak pada kemauan, bukan pula pada kemampuan diri, melainkan pada ketuhanan Yesus.
Bahkan, ketika Yesus merasa perlu mempertanyakan kasihnya hingga tiga kali, Petrus tetap pada jawabannya, sekali lagi berdasarkan kemahatahuan Yesus: ”Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”
Menurut Henri J. M. Nouwen, dalam bukunya Dalam Nama Yesus, Permenungan Tentang Kepemimpinan Kristiani, pemimpin Gereja tak cukup hanya bermoral tinggi, terlatih, siap membantu sesama dan mampu menanggapi masalah-masalah hangat pada zamannya secara kreatif.
Di atas semuanya itu, pemimpin kristiani adalah orang yang sungguh-sungguh mengasihi Allah. Dengan kata lain, lanjut Nouwen, pemimpin kristiani adalah orang yang benar-benar mau tinggal di hadirat Allah dan bersekutu dengan-Nya. Sehingga, visi Allahlah, dan bukan visinya pribadi, yang menjadi dasar dan arah kepemimpinannya.
Mandat Sang Guru
Atas semua jawaban Petrus, Yesus memberi mandat: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Singkat, namun bermakna. Bagi Petrus, mandat itu berarti pemulihan. Dia pernah memutus hubungan, kini Yesus menyambungnya kembali.
Mandat itu cuma dua kata, namun melegakan hati. Mandat itu berarti kepercayaan. Meski pernah disangkal, Yesus tetap memercayainya, bahkan mengangkatnya sebagai pemimpin umat. Bagi Petrus mandat itu berarti karya yang harus dilakukan tanpa syarat.
Tak hanya Petrus, Ananias pun diperintahkan untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Kis. 9:1-20). Salah satu domba itu ialah Saulus yang telah berikhtiar menangkap, bahkan membunuh, pengikut Yesus.
Saulus bukan sembarang domba. Ananias gentar ketika mandat itu datang. Dia takut pertobatan Saulus hanya taktik agar dapat membunuh pengikut Yesus lebih banyak lagi.
Namun, Ananias taat. Bagi Ananias, ketaatan merupakan dasar kemuridan. Lagi pula, Ananias percaya dan mengaku: ”Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” (Why. 5:12).
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa