Gerakan Iman

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Tak dapat dipungkiri, kisah Abram adalah kisah iman. Kisah seseorang yang memercayakan diri bukan kepada diri sendiri, tetapi kepada Pribadi di luar dirinya. Dan memercayakan diri kepada Pribadi di luar kita sejatinya merupakan gerakan iman.

Sedikit contoh: ketika naik kendaraan umum, sejatinya kita sedang memercayakan diri kita kepada sang sopir. Tentunya, ada di antara kita, apa lagi jika supirnya ugal-ugalan, kadang-kadang ikut mengerem meski kaki kita tidak di atas pedal rem.

Pergilah

Perhatikanlah: ”Pergilah dari negerimu, dari sanak saudaramu, dan dari rumah bapamu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, memberkati engkau, serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.” (Kej. 12:1-2).

Nas tadi hanya memperlihatkan sebuah perintah, tidak lebih. Dan perintahnya adalah agar Abram bergerak. Dan kepercayaan Abram memang tampak ketika dia bergerak, dari negerinya dan dari sanak saudaranya dan dari rumah bapanya ke negeri yang akan ditunjukkan Allah kepadanya.

Penulis kitab Kejadian mencatat: ”Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya…” (Kej. 12:4). Abram bergerak dari kemapanan menuju ketidakmapan; dari kejelasan menuju ketidakjelasan. Bergerak memang merupakan langkah iman. Di sini tentu saja bukan asal bergerak. Namun, gerak berdasarkan arahan. 

Menarik pula disimak, langkah iman itu berdampak pula bagi orang-orang di sekitar kita. Pada kasus Abram tentu saja, Lot, keponakannya, Sarai, istrinya, dan sejumlah orang mengikuti pergerakan tersebut. Di sini kelihatannya telah terjadi pengomunikasian iman dari Abram kepada keponakan dan istrinya. Dengan kata lain, Abram pun ditantang untuk mengomunikasikan perintah tersebut kepada orang-orang terdekatnya. Dengan kata lain, mereka pun taat terhadap perintah Allah itu.

Abram harus meninggalkan dan menanggalkan semua kemapanan yang melekat kepada dirinya. Keputusan Abraham memang bukan tanpa risiko. Namun, Abraham lebih percaya kepada Pribadi yang telah memanggilnya. Dia percaya Allah akan menepati janji-Nya. Tak heran, banyak orang memberinya gelar Bapak orang percaya.

Pertanyaannya ialah mengapa Abram menaati perintah Allah itu? Kemungkinan besar, karena Abram merasa dipilih; Abram merasa diperhatikan; Abram merasa dikasihi; Abram merasa dikaruniai. Dan karena semua hal itulah Abram tak lagi ragu memercayakan dirinya kepada Pribadi yang memanggilnya.    

Tidak Sendirian

Abraham tidak sendirian. Banyak orang mengikuti jejaknya. Dalam Matius 9:9-13, 18-26, setidaknya ada tiga orang yang memercayakan diri kepada Allah.

Pertama, Matius yang menanggapi panggilan Yesus. Perhatikan catatan penulis: ”Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya, ’Ikutlah Aku.’ Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia.”

Mengikuti Yesus sesungguhnya memercayakan diri kepada Yesus. Jelas di sini, Matius pun bergerak. Mulanya dia duduk, kemudian berdiri lalu mengikuti Yesus. Ada pergerakan. Ada langkah iman di sini. 

Dan kita perlu bertanya, mengapa Matius melakukannya? Mungkin mulanya Matius juga merasa kaget mengapa Yesus mendatanginya. Bisa jadi Matius telah mendengar tentang Yesus. Akan tetapi, dia sendiri agaknya tak terlalu antusias mengenai keberadaan Sang Guru dari Nazaret itu.

Matius memang berbeda dari Zakheus, yang penasaran terhadap Yesus. Meski sama-sama pemungut cukai, Matius tampaknya lebih pasif ketimbang Zakheus. Namun demikian, Yesus agaknya tak terlalu hirau akan kepasifan Matius. Yesus mendatanginya dan memanggilnya. Di sini kelihatannya Matius merasa diperhatikan. Dan karena itulah dia menanggapi panggilan Yesus dengan sebaik-baiknya.

Kedua, kepala rumah ibadat, yang memercayakan kehidupan anaknya kepada Yesus. Dia percaya jika Yesus meletakkan tangan-Nya ke atas anaknya, maka anak itu akan hidup. Oleh karena itu, agaknya dia tidak mempedulikan keberadaannya sendiri, dia langsung menemui Yesus dan menyembah Sang Guru dari Nazaret itu.

Karena percaya kepada Yesus, kepala rumah ibadat itu bergerak. Dia mendatangi Yesus dan memohon kepada-Nya. Dia agaknya tak terlalu peduli akan pendapat orang terhadap tindakannya itu. Bisa jadi orang yang melihatnya akan mencibirnya. Tetapi, dia melakukannya karena percaya.

Ketiga, Perempuan yang sakit pendarahan. Dia percaya, jika menyentuh jubah Yesus maka dia sembuh. Dia memang tidak punya nyali untuk memohon agar Yesus menjamahnya. Sebab aturan pada waktu itu, jika Yesus menjamahnya, Ia akan menjadi najis. Mungkin, juga dia takut ditolak Yesus. Namun, perempuan yang sakit itu percaya bahwa Yesus mampu menyembuhkannya, jika dia menjamah jubahnya.

Perempuan yang sakit pendarahan itu bergerak. Dia tidak diam. Kepercayaannya tampak saat dia bergerak, menjamah jubah Yesus. Dan akhirnya dia sembuh.

Tindakan ketiga orang dalam bacaan Injil Minggu ini bukan tanpa risiko. Dan mereka, sebagaimana Abraham, memilih untuk memercayakan diri kepada Yesus. Buktinya mereka bergerak. Itu merupakan gerakan iman. 

Kepedulian-Nya Sama

Di sisi yang lain, kita bisa menyaksikan bahwa Yesus menerima orang apa adanya. Jelas pula, cara orang mendapatkan karunia Tuhan pun tak sama.

Dalam kisah pemanggilan Matius, kita melihat bahwa Yesus lebih banyak aktif ketimbang Matius. Yesus datang ke tempat Matius. Bahkan, Matius pun hanya duduk saat Yesus memanggilnya. Dia baru berdiri saat Yesus memanggilnya.

Sebaliknya, kepala rumah ibadat itu sangat aktif. Dia yang datang kepada Yesus, menyembah, dan memohon, ”Anakku perempuan baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup. ” Kepala rumah ibadat itu percaya kepada Yesus.

Demikian pula dengan perempuan yang sakit pendarahan. Dia pun sangat aktif. Dia yang mendekati Yesus dan menjamah jubah-Nya. Dia pun sangat percaya kepada Yesus. 

Kepada ketiga orang itu, kepedulian Yesus sama. Sang Guru dari Nazaret tidak membedakan orang. Yesus menerima Matius—orang yang dianggap berdosa, menerima permohonan kepala rumah ibadat—orang yang dianggap saleh, dan memberikan pertolongan kepada perempuan sakit—yang dianggap najis pada masa itu. Yesus cinta semua orang!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa