Hidup dalam Penyelamatan Allah
Sikap hamba dalam perumpamaan Tuhan Yesus (Mat. 18:21-35) memang rada kurang ajar. Raja pun bingung dibuatnya, bahkan menyebutnya jahat! Sang raja bertanya, ”Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”
Di mata raja, hamba itu jahat karena tak tahu diri, tak tahu diuntung, dan tak tahu balas budi! Ia hanya menuntut haknya. Dia lupa—mungkin melupakan—bahwa semua kewajibannya terhadap raja telah dihapuskan!
Hamba itu berutang 10.000 talenta. Satu talenta setara 6.000 dinar dan satu dinar adalah upah harian pekerja kasar waktu itu. Jika upah harian pekerja kasar saat ini kita tetapkan Rp 150.000,-, maka hamba itu berutang Rp9 trilyun! Dan raja menghapuskannya! Namun, hamba, yang telah dihapuskan utangnya itu, tetap menuntut utang temannya sebesar 100 dinar—setara dengan Rp 15 juta. Mengapa?
Pertama, hamba itu tak pernah merasa diampuni! Orang yang tak pernah merasa menerima ampun mustahil memberi ampun. Apa yang hendak diberi jika dia tak pernah punya ampun?
Mungkin hamba itu berpikir, raja tak akan jatuh miskin meski dia tak membayar utangnya. Ia melihat tindakan raja itu sebagai kewajaran! Hamba itu melihat penghapusan utangnya sebagai hal biasa.
Sejatinya, raja berbuat di luar kebiasaan. Semula raja memerintahkan agar hamba itu beserta keluarganya dijual sebagai budak untuk melunasi utangnya. Kemudian, raja membebaskannya. Raja mengubah titahnya. Dia tak lagi berprinsip sabda pandita ratu ’perkataan raja harus terjadi’.
Kedua, hamba itu berprinsip utang harus dibayar. Dia nggak mau rugi. Tak beda dengan prinsip Yahudi: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Dia ingin orang lain merasakan sakit yang pernah dideritanya. Dalam hati macam begini balas dendam menjadi prioritas.
Utang memang harus dibayar. Namun, berkenaan dengan kesalahan orang lain—yang kadang disengaja dan sering tidak disengaja—Yesus mengajak pengikut-Nya untuk mengampuni. Alasannya: ”Demikian juga yang akan diperbuat oleh Bapa-Ku yang di surga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:35). Dengan kata lain, kalau kita berhitung dengan sesama, Allah pun siap mengadakan perhitungan dengan kita.
Ketiga, hamba itu tidak mau meningkatkan kedudukan kawannya. Tindakan raja itu telah membuat kedudukan antara raja dan hamba itu setara—tak ada lagi utang. Tindakan hamba itu, menjebloskan rekannya ke penjara, menjadikan rekannya tetap berkedudukan lebih rendah dari dia.
Mengampuni berarti memulihkan hubungan. Mengampuni berarti tiada lagi orang yang berutang kepada kita. Mengampuni berarti setaralah kedudukan kita dengan orang tersebut. Mengampuni berarti mengasihi. Itulah makna terdalam Kerajaan Surga.
Seperti Bapa
Perumpamaan disampaikan Sang Guru untuk menjawab pertanyaan Petrus. Bisa jadi, itu juga pergumulan Petrus. Petrus pasti tahu, sebagai umat Allah pengampunan merupakan panggilan. Namun, persoalannya adalah kalau saudara kita berkali-kali salah, apakah mesti diampuni juga?
Di sini sepertinya Yesus Orang Nazaret hendak memperlihatkan bahwa panggilan para murid adalah berpikir, bersikap, dan bertindak seperti Bapa. Mengapa? Sebab mereka anak Bapa! Anak Bapa, ya mesti hidup seperti Bapa! Dan itu mesti maujud dalam hubungan antaranak! Dan pengampunan menjadi salah satu tanda bahwa mereka telah hidup sebagai anak-anak Bapa.
Itu jugalah yang diingatkan Paulus dalam Surat Roma. Dalam rangka memelihara keselamatan yang telah diterima, berkait orang lemah iman, Paulus menasihati warga jemaat di Roma untuk tidak memperdebatkan pendirian imannya. Mengapa? Berkenaan iman, sesungguhnya setiap orang sedang berada dalam peziarahan iman.
Orang percaya—selama hidup di dunia—berada dalam proses pertumbuhan. Dan karena itu, kita tidak perlu menghakiminya. Tentu, baik menyatakan pendirian iman kita, tetapi jangan sampai kita malah menganggap lebih hebat dari mereka.
Di Roma, pada masa itu, daging yang diperjualbelikan biasanya daging kurban yang telah dipersembahkan kepada dewa-dewa. Nah, ada orang Kristen yang percaya bahwa dewa-dewa itu tidak ada—kalaupun diyakini ada pasti di bawah kuasa Allah—merasa tidak bermasalah memakan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala. Sedangkan orang lain merasa bersalah jika memakan daging kurban itu.
Karena itu, Paulus menekankan bahwa yang makan daging jangan merasa hebat, yang tidak makan jangan merasa benar. Semuanya punya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekali lagi, karena selama masih ada di dunia, setiap orang sedang dalam proses pertumbuhan iman.
Yang penting, setiap orang yakin dengan pendapatnya sendiri, artinya tidak ikut-ikutan dan akhirnya bimbang. Dengan lain perkataan, setiap orang punya alasan. Dan Allah pasti menghargai alasan itu seturut tingkat pertumbuhan imannya. Yang penting pertanggungan jawab.
Inilah jugalah panggilan: menanggungjawabi penyelamatan dari Allah itu! Intinya: tanggung jawab! Dan salah salah satu tanggung jawab kita terhadap sesama kita adalah mengampuninya.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa