Hidup yang Berlimpah-limpah
”Akulah pintu. Siapa yang masuk melalui Aku, ia akan diselamatkan dan ia akan masuk dan keluar serta menemukan padang rumput. Pencuri datang hanya untuk mencuri, membunuh, dan membinasakan. Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dengan berlimpah-limpah.” (Yoh. 10:9-10).
Demikianlah Sabda Yesus kepada para murid-Nya. Dalam sabda tersebut tegaslah bahwa Yesus adalah Sumber Hidup. Dan karena Yesus merupakan sumber, Dia mampu membagikan hidup itu kepada orang lain. Dan hidup itu bukanlah hidup yang biasa, melainkan hidup yang berlimpah-limpah.
Berbagi Hidup
Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Akulah pintu. Siapa masuk melalui Aku akan selamat; ia keluar masuk dan mendapat makanan. Pencuri datang hanya untuk mencuri, untuk membunuh dan untuk merusak. Tetapi Aku datang supaya manusia mendapat hidup—hidup berlimpah-limpah.”
Jelas di sini, Yesus berbeda dengan pencuri. Pencuri hanya berorientasi mencuri, membunuh, dan merusak. Yesus tidak. Ia tidak mencuri, tetapi memberi; tidak membunuh, tetapi menghidupkan; dan tidak merusak, tetapi memulihkan. Dan itu terbukti dalam peristiwa Jumat Agung dan Paskah.
Peristiwa Jumat Agung memperlihatkan bahwa Yesus mati agar manusia hidup. Ia menjadi pengganti dalam menanggung upah dosa—maut. Dan pribadi pertama yang sungguh merasakan kenyataan itu adalah Barabas. Hukuman mati bagi Barabas urung dilaksanakan karena Yesus menggantikannya menerima hukuman mati itu.
Dalam Paskah kita melihat bagaimana Yesus membangkitkan semangat para murid, sehingga mereka dapat melanjutkan hidup yang penuh pengharapan. Bukankah itu yang terjadi dengan kisah Emaus? Kleopas dan temannya tak hanya menikmati sukacita Paskah sendirian, tetapi membagikan semangat Paskah itu kepada para murid lainnya di Yerusalem.
Nah, bicara soal hidup yang berlimpah-limpah, tak sedikit orang yang terjebak mengartikan sabda Yesus ini persoalan materi belaka. Materi penting. Namun, bukan yang terutama. Hidup itu lebih penting ketimbang materi.
Dan kelimpahan itu bukanlah untuk dinikmati sendirian. Menarik diperhatikan. Kata ”melimpah” sendiri berarti luber. Itu berarti bahwa seseorang yang hidup dalam kelimpahan berarti dia sendiri telah merasakan kecukupan. Karena itulah, dia dipanggil pula untuk membagikan limpahan itu. Logikanya, jika tidak dibagikan, limpahan itu akan hilang sia-sia. Itulah panggilan setiap orang yang hidup berlimpah-limpah, yaitu membagikan limpahan itu kepada orang lain.
Teladan Nyata
Itu jugalah yang diperlihatkan jemaat yang pertama. Jemaat pertama merupakan teladan nyata. Mari kita perhatikan!
”Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kis. 2:47). Demikianlah cara Lukas menutup ceritanya tentang kehidupan jemaat yang pertama. Lukas hendak menyatakan adanya peningkatan dalam hal jumlah. Jemaat makin besar. Peningkatannya cukup drastis. Dari beberapa orang saja, mungkin di bawah 50 orang, pada Hari Pentakosta bertambah 3000 orang. Dan itu pun masih bertambah. Dan Lukas menegaskan bahwa pertambahan jumlah itu merupakan karunia Tuhan. Tuhanlah, sang kepala gereja, yang memanggil orang-orang menjadi hamba-Nya.
Namun demikian, Lukas juga menyadari bahwa itu semua karunia Tuhan semata. Lukas memahami bahwa Tuhanlah yang telah mengangkat manusia menjadi rekan sekerjanya. Jadi, manusia turut andil dalam peningkatan jumlah warga jemaat pertama itu. Hal itu tampak jelas dalam catatan-catatan Lukas sebelumnya.
Pertama, ”mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, dalam persekutuan” (Kis. 2:42). Jemaat pertama adalah jemaat yang senantiasa belajar dan bersekutu. Mereka menyadari bahwa setiap pengikut Kristus perlu belajar menjadi pengikut Kristus. Orang boleh dengan lugas menyatakan diri sebagai orang Kristen. Namun, apa artinya pengakuan itu kalau dia sendiri tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan: Apa artinya menjadi seorang Kristen? Mengapa saudara menjadi Kristen? Apa yang seharusnya dilakukan seorang Kristen? Di manakah beda seorang Kristen dengan orang bekepercayaan lain?
Seorang Kristen seharusnya bisa menjawab semua pertanyaan tadi. Seorang Kristen harus sungguh-sungguh mengetahui apa yang dipercayainya. Sebab, masih layakkah seorang menyebut diri Kristen kalau dia sendiri tidak mengetahui alasan dia menjadi Kristen? Sama halnya dengan pertanyaan, apakah seseorang layak disebut dokter kalau dia sendiri tidak pernah mempelajari seluk beluk dunia kedokteran?
Bagaimana supaya mengerti? Ya, belajar. Warga jemaat pertama tekun dalam pengajaran rasul-rasul. Mereka belajar agar dapat lebih mengenal Tuhan yang mengasihi mereka. Bagaimana dengan kita, jemaat yang hidup pada abad ke-21? Kita pun perlu belajar mengenai apa yang kita percayai. Supaya kalau ada orang yang bertanya kepada kita tentang iman Kristen, kita dapat menjawabnya dengan baik.
Akan tetapi, yang sering terjadi sekarang kayaknya tidak seperti itu. Kalau ada orang yang bertanya kepada kita tentang iman Kristen, kita lebih senang melemparkannya kepada para anggota majelis. Alasannya, terkadang sangat diplomatis: Takut salah! Kalau salah, kan repot! Mendingan para anggota majelis atau pendeta sekalian. Bukankah mereka adalah pemimpin gereja?
Ya, alasan ini tidak seluruhnya tepat! Kalau memang kita takut salah dalam menjawab, mengapa kita tidak belajar? Banyak orang Kristen merasa cukup dengan ibadah hari Minggu saja. Ibadah Minggu merupakan salah satu pengajaran yang dilaksanakan oleh gereja. Namun, hanya salah satu, kita dapat terus belajar di luar ibadah Minggu. Kegiatan Komisi-komisi itu dimaksudkan agar semakin banyak orang lebih memahami imannya.
Dan belajar yang efektif ialah belajar dalam persekutuan. Artinya, belajar bersama. Bagaimanapun, belajar bersama—khususnya dalam hal iman—akan memperkaya setiap orang yang sedang belajar. Belajar sendiri, membaca buku rohani secara pribadi, memang baik. Akan tetapi, lebih baik lagi jika masing-masing orang menceritakan apa yang dipelajarinya dalam persekutuan. Sehingga setiap orang dapat diperkaya oleh pengalaman saudara persekutuan lainnya.
Kedua, ”dalam memecahkan roti dan berdoa” (Kis. 2:42). Persekutuan yang mereka lakukan tidak hanya berkutet soal pengajaran iman Kristen. Tidak hanya berkait dengan rasio, tetapi juga menyinggung rohani; dalam hal ini perjamuan kudus dan doa. Beberapa penafsir memahami memecahkan roti di sini sebagai rujuan kepada perjamuan kudus. Jadi persekutuan yang terjadi tidak hanya persekutuan rasio atau nalar, tetapi rohani. Pada kenyataannya, jika mengandalkan rasio saja, akan terjadilah kekeringan rohani. Bukankah yang sering terjadi adalah secara rasio kuat, tetapi rohaninya memble. Atau, sebaliknya. Perlu keseimbangan di sini. Jangan hanya satu sisi!
Ketiga, mungkin ini sangat radikal dalam pemahaman manusia abad ke-21, ”semua orang yang percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis. 2:44-45).
Persekutuan yang terjadi ternyata bukan sekadar persekutuan rasio, rohani, namun juga persekutuan harta benda. Agaknya, mereka memahami bahwa harta benda mereka bukanlah berasal dari diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak keberatan jika harta benda itu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ini bukan berarti bahwa milik sendiri tidak dihargai. Namun, mereka rela memberikan harta itu kepada orang lain sesuai dengan keperluannya. Pada akhirnya, nilai diri seseorang tidaklah ditentukan oleh apa yang dimilikinya, melainkan oleh apa yang dia lakukan dengan apa yang dimilikinya itu.
Keempat, ”mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah”(ay 46-47). Mereka bersekutu secara jasmani pula. Lukas mencatat bahwa mereka juga bersekutu dengan cara makan bersama. Sesungguhnya, makan bersama memperlihatkan persekutuan sejati karena semua orang yang terlibat dalam makan bersama itu setara kedudukannya. Artinya, semua orang memakan makanan yang sama. Tidak ada diskriminasi. Semua orang boleh memakan makanan yang terhidang. Entah kaya–miskin, pintar–bodoh, pribumi–asing, pada saat makan bersama akan memakan lauk yang sama. Dan yang terjadi adalah suasana gembira dan tulus hati. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah.
Dari keempat hal tadi tampaklah bahwa setiap orang mendapatkan apa yang diperlukannya. Dan terlihat pulalah bahwa dalam jemaat pertama ini, janji Yesus, bahwa orang yang percaya kepada-Nya akan memiliki hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh. 10:10), terwujud.
Tak heran kalau pada akhirnya, Lukas mencatat pula, ”mereka disukai semua orang”(Kis. 2:47). Suasana jemaat semacam itu ternyata berdampak pula bagi orang-orang di luar persekutuan itu. Bahkan orang-orang di luar persekutuan itu menyukai cara hidup semacam itu. Cara hidup Kristiani seharusnya memang membuat orang lain menghormati para pengikut Kristus. Tak heran kalau pada akhirnya, Lukas mencatat bahwa jumlah mereka semakin hari semakin bertambah. Karena memang banyak orang yang bersimpati dengan gaya hidup mereka.
Persoalannya, dapatkah gaya hidup semacam ini diterapkan bagi kita pada abad ke-21 ini? Masalahnya, bukan bisa atau enggak; tetapi apakah kita mau melakukannya? Dan jangan tunggu orang lain melakukannya, namun baiklah kita mulai melakukannya! Dimulai dari diri kita!
Caranya? Mulailah dengan senantiasa berpikir: Apa yang dapat kita lakukan bagi orang lain? Jadi, setiap bertemu orang, kita perlu bertanya apa yang dapat kita perbuat bagi dia? Kita bisa memberinya makanan, kita bisa mendoakannya, kita juga bisa tersenyum kepadanya. Banyak yang bisa kita lakukan untuk orang lain. Pertanyaannya, maukah kita?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa