Jagalah Dirimu!
”Akan ada tanda-tanda pada matahari, bulan, dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut. Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan kuasa dan kemuliaan yang besar” (Luk. 21:25, 27).
Itulah catatan Lukas mengenai kedatangan Yesus yang kedua. Kebanyakan orang Kristen memandang kedatangan-Nya sebagai akhir zaman, acap dipenuhi kisah-kisah mengerikan, yang membuat mereka malah ketakutan sendiri.
Penyelamatan Sudah Dekat
Namun, Yesus mendorong para pengikut-Nya untuk tidak cemas dalam menyambut kedatangan-Nya. Meski akhir zaman sering digambarkan sebagai kehancuran alam semesta, Yesus menegaskan: ”Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah kepalamu, sebab pembebasanmu sudah dekat.” (Luk. 21:28).
Sesungguhnya, akhir zaman tidak melulu bicara soal kehancuran semesta, tetapi juga soal pembebasan. Akhir zaman tak hanya bicara soal berakhirnya suatu zaman, tetapi juga dimulainya zaman baru. Inilah sumber penghiburan bagi setiap orang yang menyandarkan diri kepada Yesus Kristus.
Karena itu, hal terlogis ialah menyambut kedatangan-Nya! Lagi pula, pemazmur mengaku: ”Semua orang yang menantikan Engkau takkan dipermalukan…” (Mzm. 25:3). Mereka tidak akan dipermalukan atau kecewa karena Allah pasti menepati janji-Nya. Persoalannya, orang sering bertumpu pada tanda kehancuran semesta itu dan lupa menyambut kedatangan-Nya.
Akhir zaman, sekali lagi, tidak perlu dipandang sebagai peristiwa menakutkan, namun harus dipahami sumber penghiburan. Sebab, pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.
Menjaga Hati
Sang Guru mengingatkan para murid-Nya untuk senantiasa siap menyambut kedatangan-Nya. Caranya: menjaga hati agar jangan dibebani oleh pesta pora, kemabukan, dan kekhawatiran hidup. Setiap Kristen harus menanti-Nya dalam suasana hidup penuh kasih dan kekudusan.
Menjaga hati itu penting karena semua perasaan, entah baik maupun jahat, bersumber dari hati. Perhatikanlah nasihat Yesus: ”Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan dibebani oleh pesta pora, kemabukan, dan kekhawatiran hidup, dan supaya hari itu jangan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti jerat.” (Luk. 21:34-35).
Yesus menggunakan kata ”dibebani”. Tak ada beban yang ringan. Artinya: jangan sampai hati kita malah dibebani oleh hal-hal yang tak perlu. Sang Guru juga menekankan tiga hal yang sering membebani manusia: pesta pora, kemabukan, dan kekhawatiran. Ketiga hal itu bisa membuat manusia lengah.
Masalahnya sering kali memang di sini: lengah. Lengah karena terlalu sibuk. Lengah karena tak lagi memfokuskan diri pada yang terutama dalam hidup. Ya, suasana pesta sering membuat orang tidak lagi waspada. Tak hanya pesta, terlalu berfokus pada persoalan hidup juga bisa membuat kita terlena.
Bisa dinalar, jika Yesus melanjutkannya dengan nasihat: ”Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.” (Luk. 21:36).
Menjadi Palungan
Itu tidak berarti kita menunggu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua itu dengan diam, pasif, tanpa aktivitas. Kita bisa menanti kedatangan Tuhan dengan menerapkan keadilan dan kebenaran (lih. Yer. 33:15). Dan keduanya memang bersumber dari hati!
Aneh rasanya, jika kita merindukan Kerajaan Tuhan datang, namun tak hidup sebagaimana warga kerajaan itu. Oleh karena itu, kita perlu menyiapkan diri sebaik mungkin—tak bercacat dan kudus—agar tahan berdiri di hadapan Anak Manusia ketika Dia datang. Caranya? Mari kita bersikap sebagaimana palungan!
Berkait palungan, Carl Wilhelm Osterwald menulis syair yang terekam dalam Kidung Jemaat 84:2: ”Hatiku biar Kaujadikan palungan-Mu yang mulia dan dalam aku Kaucerminkan terang sorgawi yang baka, sebab dengan kehadiran-Mu keluhan batinku lenyap. Kiranya lahir dalam aku dan tinggalah serta tetap.”
Menjadi palungan merupakan salah satu cara menyambut kedatangan Anak Manusia. Menjadi palungan berarti menjadi tempat. Menjadi palungan berarti siap menyediakan ruang untuk Allah dan manusia.
Palungan adalah tempat makanan. Palungan tak ubahnya piring dalam dunia manusia. Menjadi palungan berarti bersedia menjadi piring. Menjadi palungan berarti siap menjadi saluran berkat Tuhan.
Palungan pun tidak pernah bersikap diskriminatif. Tak ada tangan dalam palungan. Setiap binatang yang datang kepadanya bisa makan dari palungan tersebut. Palungan menerima semua binatang itu apa adanya. Tak ada seleksi. Semua binatang diterimanya tanpa syarat. Palungan baik kepada semua!
Pengikut Kristus perlu belajar menjadi palungan yang siap memberi tempat perlindungan dan pertolongan kepada orang lain tanpa syarat apa pun. Itulah yang adil dan benar di hadapan Tuhan.
Dan itu hanya mungkin dilakukan jika kita—mengikuti nasihat Paulus—tak bercacat dan kudus di hadapan Allah Bapa (lih. 1Tes. 3:13).
Selamat menjadi Palungan!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa