Jangan Lupakan Konteks!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Jangan lupakan konteks! Perumpamaan ”Anak yang Hilang” memang indah. Betapa tidak indah melihat sang bapak berlari untuk memeluk anak itu. Ia bahkan tidak memberi kesempatan anak bungsunya untuk menyelesaikan kalimatnya: ”Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan Bapa” (Luk. 15:19). Apa lagi, jika kita merasakan bagaimana besarnya pergumulan kita melawan kecenderungan hati untuk menjauh dari Allah. Sehingga, perumpamaan ini membuat orang cenderung mengarahkan pandangannya kepada si Bungsu dan melupakan pergumulan si Sulung.

Padahal, konteksnya jelas, perhatikan Lukas 15:1-3: ”Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, semuanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya, ’Orang ini menerima orang-orang berdosa dan makan bersama mereka.’ Lalu Ia menyampaikan perumpamaan ini kepada mereka” (Luk. 15:1-3).

Ya, inilah latar belakang munculnya perumpamaan ”Anak yang Hilang”. Kisahnya pun terbuka di akhir cerita. Jelaslah bahwa Yesus mengajak pendengar-Nya mengarahkan perhatian pada si Sulung.

Pergulatan Batin Si Sulung

Jelaslah si Sulung, meski tinggal di dalam rumah, tidak pernah menganggap dirinya  sebagai anak, melainkan budak. Perhatikan kalimatnya: ”Lihatlah, telah bertahun-tahun aku melayani Bapa dan belum pernah aku melanggar perintah Bapa, tetapi kepadaku belum pernah Bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukaria dengan sahabat-sahabatku” (Luk. 15:29).

Si Sulung menyatakan, ayahnya tak pernah memberikan seekor anak kambing kepada dirinya. Agaknya dia lupa, sebagai anak dia memiliki segala sesuatu. Dia ingin anak kambing yang dapat disembelih dan dijadikan modal pesta dengan sahabat-sahabatnya.

Jelaslah, ia menganggap orang-orang dalam rumahnya bukanlah sahabat-sahabatnya. Jika menyelenggarakan pesta, dia hanya ingin menyelenggarakannya bersama dengan sahabat- sahabatnya.

Si Sulung menyebut saudaranya ”anak Bapa”. Dia tidak menyebut saudaranya ”adikku”. Itu berarti dia tidak menganggap si Bungsu sebagai saudaranya. Absurd memang, bagaimana mungkin menyebut seseorang sebagai anak bapaknya, tetapi tidak menganggapnya sebagai adik? Sejatinya, ini hanya terjadi pada hubungan saudara tiri?

Kemudian, si Sulung menyatakan bahwa saudaranya telah menghambur-hamburkan harta ayahnya. Ini jelas memperlihatkan bahwa ia lebih baik ketimbang adiknya. Si Sulung membuat cerita yang membuatnya adiknya tampak lebih buruk ketimbang dirinya. Pada titik ini ia merasa bapanya tidak berlaku adil.

Allah Mengasihi Keduanya

Namun demikian, Bapa tersebut memanggil Si Sulung dengan sebutan akrab: ”anakku”. Sang Bapa berkata, ”Anakku, engkau selalu bersama aku, dan segala milikku adalah milikmu. Kita patut bersukaria dan bergembira karena adikmu telah mati dan kini hidup kembali, ia telah hilang dan kini ditemukan kembali.” (Luk. 15:31-32).

Jelaslah, si Sulung telah salah konsep. Sebagai hamba dia memang tidak akan dapat memiliki harta ayahnya. Namun, Sang Bapa menyatakan bahwa dia adalah anak. Dan sebagai anak, apa yang dimiliki Bapa sejatinya miliknya juga.

Cerita Yesus memang tidak hendak dimaksudkan hanya mengajak para pendengar berpikir apakah dia si Bungsu atau si Sulung. Lebih jauh, perumpamaan ini hendak memperlihatkan bahwa Allah menerima keduanya. Allah Bapa mengasihi kedua tipe manusia ini.

Jika di awal cerita si Bungsu keluar rumah, di akhir cerita si Sulung yang berada di dalam rumah dan enggak mau masuk rumah. Pada titik ini bukan hanya si Bungsu, si Sulung pun merupakan anak yang hilang. Dana Bapa mengasihi keduanya.

Tidak Berkesudahan

Kasih Allah tidak berkesudahan. Kasih-Nya tiada putus. Itu jugalah yang hendak diperlihatkan dalam Kitab Yosua. Penulis hendak memperlihatkan bahwa Allah tetap memelihara umat-Nya (Yos. 5:9-12).

Apakah yang masuk ke tanah Kanaan itu lebih baik hidupnya ketimbang generasi sebelumnya? Kemungkinan besar tidak. Namun, Allah tetap setia. Dia mengasihi umat-Nya. Kepada generasi sebelumnya Allah memberi manna, lalu Allah memberi makan melalui tanah di mana mereka tinggal kepada generasi berikut.

Dan memang itulah juga kesaksian Daud: ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!” (Mzm 32. 1-2).

Ketika Allah mengampuni kita, sejatinya Allah mengulurkan tangan perdamaian kepada kita. Dan kenyataan ini seharusnya itu membuat kita, apa pun tipe kita—anak Sulung maupun Bungsu—mau berdamai dengan Allah. Allah telah mendamaikan dirinya dengan manusia berdosa, pertanyaannya: maukah kita didamaikan dengan Allah? (2Kor. 5:20).

Hidup damai dengan Allah akan memampukan kita berdamai dengan orang lain. Kebencian si Sulung muncul tatkala dia tidak dapat memahami sikap Bapa. Manusia hanya dapat menerima orang lain apa adanya kala dia berdamai dengan Allah.

Ketika berdamai dengan Allah, kita tidak lagi menilai orang lain menurut standar manusia, melainkan standar Allah. Kita melihat orang lain sebagaimana Allah melihatnya. Kita menerima orang lain sebagaimana Allah menerimanya.

Singkatnya: Hidup sebagaimana Kristus hidup. Inilah yang semestinya menjadi konteks kita sekarang!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa