Jangan Terpatri pada Masa Lampau!

”Berapa lama lagi engkau berduka karena Saul, padahal Aku sendiri telah menolaknya sebagai raja Israel” (1Sam. 16:1). Demikianlah Allah menegur Samuel.
Ya, Samuel sedang berduka. Berduka karena Saul tak lagi dapat diharapkan sebagai raja Israel. Saul telah melanggar perintah Allah karena membiarkan Agag dan segala hewan yang baik tetap hidup, sedangkan hewan yang buruk perawakannya dimusnahkan (1Sam. 15:1-9). Saul agaknya merasa sayang kalau harus memusnahkan semuanya. Tindakan itu menyakiti hati Allah. Oleh karena itu, Allah menolak Saul sebagai raja Israel.
Berorientasi Masa Depan
Berduka tentu tidak salah. Duka Samuel sungguh beralasan. Dan tampaknya Allah pun memberi waktu duka bagi Samuel. Namun, tak boleh lama-lama.
Mengapa? Sebab, duka yang berkepanjangan sungguh tak beralasan karena Allah Mahakuasa. Tak ada peristiwa yang luput dari perhatian dan izin-Nya. Jika duka menimpa, kita mesti percaya bahwa itu pun atas izin-Allah. Apa pun yang terjadi di dunia ini ada di dalam kendali Allah.
Lagi pula, Allah adalah Gembala kita. Dan, mengutip Alkitab Terjemahan Lama, ”Bahwa Tuhan itulah gembalaku, maka tiada aku akan kekurangan suatupun.” Dengan kata lain, jika Tuhan itu gembala kita, kita boleh menyatakan bahwa kita tidak akan kekurangan sesuatu apa pun. Duka hanyalah keadaan yang diizinkan Allah terjadi agar kita dapat lebih mengalami kasih-Nya. Karena itulah, tak perlulah bagi kita untuk terus memelihara duka itu.
Duka yang berkepanjangan pada akhirnya hanya akan membuat kita meragukan bahwa Allah adalah Sang Penguasa Jagat. Duka yang berkepanjangan hanya akan membuat kita sulit menatap masa depan. Dan karena itu, jangan biarkan tragedi kemarin membuat kita tak mampu menikmati hari ini.
Itu jugalah nasihat Tuhan Yesus: ”Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Sesungguhnya move on merupakan tindakan logis. Jangan pelihara duka itu! Bagaimanapun the show must go on ’pertunjukan harus berjalan terus’.
Dan karena itu, Allah memberi perintah: ”Isilah tabung tandukmu dengan minyak dan pergilah. Aku mengutusmu kepada Isai, orang Betlehem, sebab telah memilih dari antara anak-anaknya seorang raja bagi-Ku” (1Sam. 16:1). Dari perintah ini jelas, Allah telah menyiapkan rancangan berikut—memilih raja pengganti Saul. Dan pada titik ini Allah mengajak Samuel untuk berorientasi masa depan.
Ajakan Sang Guru
Semasa hidup di dunia, Yesus Orang Nazaret juga mengajak para murid berorientasi masa depan. Ketika para murid bertanya, ”Siapakah yang berbuat dosa, dia sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:2); Yesus tegas menyatakan, bukan salah siapa-siapa; orang itu lahir buta supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan dalam dia. Dan Sang Guru langsung mengajak para murid berorientasi masa depan: ”Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang” (Yoh. 9:3).
Yesus tak hanya bicara, Dia sungguh-sungguh mengerjakan pekerjaan Allah—membuat orang yang lahir buta itu dapat melihat. Sepertinya Sang Guru hendak mengajak para murid untuk tidak lagi menjadikan orang yang lahir buta itu bahan omongan, tetapi apa yang dapat dilakukan para murid bagi orang yang lahir buta itu. Para murid didorong untuk tidak membicarakan masa lampau, tetapi apa yang bisa mereka lakukan pada masa kini bagi orang itu, untuk kepentingan masa depan.
Sepertinya itu jugalah ajakan Yesus Orang Nazaret kepada orang yang lahir buta itu. Perhatikan perintah Yesus: ”Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam” (Yoh. 9:7). Yesus memerintahkan orang buta itu untuk membasuh dirinya dalam kolam Siloam. Yesus agaknya hendak mengajak orang yang lahir buta tidak tenggelam dalam masa lampaunya, namun beriorentasi pada masa depan.
Menarik disimak, tidak ada janji bahwa orang yang lahir buta itu akan melihat. Tuhan hanya memerintahkannya untuk membasuh dirinya. Dan kita tidak berapa jarak kolam Siloam dari tempatnya saat itu. Ini butuh usaha. Padahal dia sedang bekerja sebagai pengemis. Namun, orang yang lahir buta itu taat pada perintah Yesus. Dan ia pun sembuh.
Akan tetapi, jika kita perhatikan, perintah Yesus kepada orang yang lahir buta itu pun simbolik sifatnya. Sebab, penulis Injil Yohanes pun merasa perlu memberikan catatan bahwa Siloam artinya Yang Diutus. Lalu, siapakah yang diutus dalam kalimat Yesus kepada para murid-Nya? Bukankah Yesus sendiri.
Oleh karena itu, kita bisa memahami, membasuh diri dalam kolam Siloam berarti membasuh diri dalam diri Yesus Orang Nazaret—itu berarti percaya kepada Yesus Orang Nazaret. Jika kita cermati, tindakan orang yang lahir buta itu menuju ke kolam Siloam hanya mungkin terjadi karena dia telah memercayai—ini kata orang yang lahir buta itu—Orang yang disebut Yesus itu.
Dan setelah itu, kita bisa menyaksikan bahwa orang yang lahir buta itu pun mengalami transformasi. Ia tidak hanya bisa melihat secara fisik, tetapi juga melihat secara rohani. Mulanya orang yang sudah melek itu berkata, ”Orang yang disebut Yesus itu”, kemudian ia berkata, ”Ia seorang nabi”; akhirnya ia berkata, ”Jikalau orang ini tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Dengan kata lain, orang yang pernah buta itu percaya bahwa Yesus datang dari Allah.
Orang yang pernah buta itu mengalami pekerjaan Allah. Ia tidak terkungkung pada masa lampaunya sebagai orang buta, tetapi terbebas dari masa lampau sebagai si buta dan berorientasi pada masa depan.
Itu jugalah ajakan Yesus kepada kita—orang-orang percaya pada abad ke-21! Jangan terpatri pada masa lampau. Masa lampau adalah tumpuan kita untuk hidup pada masa kini dan terus mengarah pada masa depan. Dan semuanya hanya mungkin ketika kita sudah dibasuh oleh Sang Guru.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media
Foto: Istimewa