”Jika Tidak, Tebanglah Dia!”

Perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah (Luk. 13:6-9) selalu menarik diperhatikan. Kisah bermula dari laporan beberapa orang mengenai orang Galilea yang dibunuh tentara Pilatus. Artinya, ada sekelompok orang Galilea yang dibunuh serdadu Pilatus sewaktu mempersembahkan kurban di Bait Allah. Tak hanya itu. Para serdadu itu mencampurkan darah mereka dengan darah kurban yang hendak mereka persembahkan di Bait Allah.
Memang tidak dijelaskan siapakah orang Galilea yang dimaksudkan di sini. Para sejarawan menduga bahwa yang dimaksudkan di sini ialah sekelompok kaum Zelot yang bermarkas di Galilea. Mereka terkenal sebagai pemberontak dan pengganggu orang-orang Roma yang pada waktu itu menjajah Palestina.
Sama seperti orang Galilea lainnya mereka pun mengikuti ziarah ke Yerusalem. Akan tetapi, mereka memanfaatkan ziarah sebagai kesempatan untuk melakukan propaganda terhadap gagasan-gagasan mereka tentang Mesias yang akan mengusir penjajah.
Namun, siapa pun orang-orang Galilea itu, kematian macam begini memang bukan peristiwa biasa. Kematian semacam ini pastilah sangat mengenaskan. Bayangkan ada orang yang darahnya dicampur dengan darah kurban. Dan peristiwa yang tidak biasa macam begini akan membuat orang bertanya, ”Mengapa?”
Pada masa itu masyarakat Yahudi pada umumnya berkeyakinan bahwa malapetaka yang menimpa seseorang merupakan tanda dosa. Kematian yang tidak wajar membuat orang menduga bahwa orang tersebut pasti telah melakukan banyak dosa sepanjang hidupnya. Tak hanya orang Yahudi, masyarakat Indonesia pun dijangkiti anggapan yang sama. Ketika bencana menimpa, maka pertanyaan yang mengemuka dalam benak adalah ”Salah siapakah?”
Sepertinya, ini jugalah tanda dosa—ketika manusia mencari kambing hitam. Ketika manusia tidak mau disalahkan, dan lebih suka menyalahkan orang lain.
Sangkamu, Tidak, Namun
Dan berkenaan laporan itu—dan anggapan orang berkait laporan itu—Yesus tegas berkata: tidak! Mari kita perhatikan jawaban Yesus: ”Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami penderitaan itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Namun, jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” (Luk. 13:2-3).
Bahkan, Yesus melanjutkannya dengan kejadian lain: ”Atau sangkamu kedelapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang tinggal di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Namun, jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” (Luk. 13:4-5).
Ada perulangan di sini, yakni pada kata-kata: sangkamu, tidak, dan namun. Artinya, Yesus hendak mengatakan jangan sekali-kali menghubungkan kejadian mengerikan itu dengan dosa. Bagaimanapun, itu namanya penghakiman. Dan ini merupakan suatu ketidakadilan. Bayangkan, sudah jadi korban, kok masih dihakimi!
Yesus hendak mengatakan juga agar mereka tidak terlalu cepat menilai orang. Memang bisa jadi ada hubungannya. Bagaimanapun, Allah memang bisa menjadikan peristiwa itu sebagai hukuman. Namun, janganlah terlalu cepat mengaitkan peristiwa naas dengan hukuman Allah.
Ini memang persoalan yang biasa hinggap di kalangan manusia. Ketika seseorang merasakan sengsara sedikit saja, biasanya dia bertanya, ”Apakah dosa saya?” Tetapi, anehnya, jika kehidupan baik-baik saja, bahkan semakin baik, jarang di antara kita yang menduga bahwa semua ini merupakan kerjaan si Jahat!
Pencobaan-pencobaan Biasa
Itu jugalah persoalan yang menimpa warga jemaat di Korintus. Sehingga Paulus perlu memberikan nasihat: ”Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia. Allah itu setia dan tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1Kor. 10:13).
Jadi, kalau Saudara dan saya merasakan kesulitan hidup, jangan buru-buru mengaitkan dengan dosa. Jangan juga meminta agar kita dilepaskan dari semua kesulitan itu. Namun, yang juga menarik, Paulus meminta warga jemaat di Korintus untuk memohon kekuatan agar dapat menanggung semua kesulitan itu. Artinya, kesulitan hidup bukanlah untuk dihindari, tetapi harus dihadapi. Jangan pula kita lupa, Tuhan akan memampukan kita menanggung semuanya itu.
Sekali lagi, kemalangan janganlah langsung kita hubungkan dengan dosa dan hukuman Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti saya dan Saudara boleh hidup semau-maunya. Tidak. Yesus memang menolak menghubungkan kemalangan seseorang dengan hukuman Allah. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia boleh berlaku sembrono.
Sehingga, setelah menolak anggapan orang banyak pada masa itu perihal kesengsaraan, Yesus langsung memberitakan pertobatan. Perhatikan kalimat yang berawal kata tetapi tadi: ”Namun, jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” Guru Nazaret itu mendorong pendengarnya untuk bertobat. Dan untuk lebih memperkuat argumennya, Yesus menceritakan soal perumpamaan pohon ara.
Pohon Ara
Ada harapan besar sang pemilik terhadap pohon ara itu. Ia ingin menikmati buah ara. Namun, harapan tinggal harapan. Dengan heran, bercampur marah, sang pemilik berseru, ”Lihatlah, sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan sia-sia!”
Tiga tahun memang bukan waktu sebentar. Dan menanti bukan hal yang menyenangkan. Tiap tahun ia perhatikan pohon itu. Namun, dia tetap kecewa. Lalu, apa artinya sebatang pohon ara tanpa buah? Kemarahannya ini memuncak dalam dalam sebuah kata kerja: tebang!
Meski demikian, sang pengurus kebun merasa sayang melakukan permintaan sang pemilik. Ia masih memiliki daya sabar yang luar biasa. Dengan memohon, sang pengurus kebun berjanji untuk mencangkul dan memberi pupuk, tentunya dengan satu tujuan: sang pohon akan berbuah. Ia masih memiliki harapan terhadap pohon tersebut. Ia percaya, sang pohon masih bisa berguna, asal mau berbuah. Ia minta tambahan waktu. Namun demikian, toh ia sadar, jika waktu itu tak kunjung memberi hasil, hanya ada satu kata kerja pula bagi sang pohon: ditebang!
Perhatikan kalimat pembelaan sang pengurus. Ia akan meneruskan memelihara pohon ara itu, tetapi tidak mengatakan bahwa pohon ara itu pasti berbuah. Bagaimanapun, tugasnya hanyalah memelihara, sedangkan berbuah memang di luar kemampuan sang pengurus. Sehingga, ia hanya berani berkata, ”Mungkin tahun depan ia berbuah.”
Sekali lagi, sang pengurus tidak berani berkata, ”Pasti tahun depan ia berbuah.” Dia hanya berani berkata ”mungkin”. Kepastian buah memang bukan tanggung jawab sang pengurus. Tanggung jawabnya hanyalah memelihara. Dan perihal berbuah merupakan tanggung jawab pohon ara itu sendiri.
Carilah TUHAN
Itu jugalah yang dikumandangkan nabi Yesaya: ”Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya. Baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.” (Yes. 55: 6-7).
Yesaya menyatakan bahwa manusia memang harus kembali kepada Allah. Pertobatan merupakan inti pernyataan Yesaya. Dan berkaitan dengan pertobatan, kita termasuk dalam golongan orang yang berbahagia. Mengapa? Karena kita masih diperkenankan untuk mendengarkan berita pertobatan. Kita masih diberi waktu untuk bertobat. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah hidup kita. Dan yakinlah tidak semua orang mendapatkan kesempatan besar seperti ini.
Kita bagai pohon ara yang diberi kesempatan hidup. Kita bagai pohon ara yang dibela oleh Sang Pengurus. Tetapi, jangan pula kita lupa bahwa kesempatan itu pun ada batasnya. Berbahagialah karena kita belum sampai pada masa tenggat itu! Masih ada waktu untuk bertobat. Jika tidak, kita akan ditebang!
Perumpamaan ini mengingatkan bahwa para pendengar diberi waktu untuk bertobat. Namun, waktunya tinggal sedikit lagi. Tidak lama. Allah memang sabar, tetapi waktu manusia terbatas. Yang penting adalah bagaimana kita menjadikan pertobatan sebagai prioritas utama dalam hidup. Sekali lagi, karena waktu yang terbatas itu.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa