Karena Itu….

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati.” Demikianlah cara Paulus membuka Roma 12. Sejatinya, Kitab Roma bisa bagi dua bagian besar: Roma 1–11 merupakan dogma, Roma 12–16 merupakan praktika. Jika Roma 1–11 merupakan pedoman imaniah umat percaya, Roma 12–16 merupakan petunjuk praktis. Jika Roma 1–11 menjawab kata tanya ”mengapa”, Roma 12–16 menjawab kata tanya ”bagaimana”.  

Tak heran, Paulus memulai Roma 12 dengan ”karena itu”. Apa yang dimaksud dengan ”itu”? Yang dimaksud dengan itu adalah, mari kita simak Roma 11:33-36: ”O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.”

Dihadapkan pada kematian dan kebangkitan Yesus Orang Nazaret, setiap orang hanya bisa berkata, ”O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!” Di hadapan anugerah Allah manusia hanya bisa melongo, kagum, terpana! Dan kemudian mengakui: ”Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.”

Dalam Perjanjian Baru dalam Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Saudara-saudara! Allah sangat baik kepada kita. Karena itu, saya minta dengan sangat, supaya kalian hidup untuk Allah dan menyenangkan hati-Nya. Jika kalian hidup seperti itu, berarti kalian memberikan diri kalian kepada Allah seperti kurban yang dipersembahkan khusus untuk Allah.”

Karena itu…. Karena Allah sudah sangat baik kepada kita, Paulus mengajak warga jemaat Roma, dan juga kita orang percaya abad ke-21 untuk hidup untuk Allah; dan itu berarti menyenangkan hati-Nya. Mengapa? Karena Allah telah menyerahkan hidup-Nya bagi kita. Dan ini keniscayaan.

Berubah oleh Pembaruan Budi

Konkretnya? Berubahlah oleh pembaruan budimu…. Kata berubah mengindikasikan kecenderungan manusia untuk bersifat statis; tidak berubah. Biasanya, manusia memang enggan berubah dan acap mempertahankan status quo. Ini merupakan hal jamak dan bukan tanpa alasan.

Pertama, perubahan akan menggiring orang ke dalam suasana ketidakpastian. Dan untuk kebanyakan orang, itu hal yang menakutkan. Tak ada kepastian bahwa perubahan itu akan membawa orang pada suasana yang lebih baik. Ujung dari perubahan selalu dua: makin baik atau makin buruk.  Kalau memang tak pasti begini, mengapa pula kita mesti berubah?

Kedua, perubahan mensyaratkan adanya gerak. Bergerak membutuhkan usaha. Dan banyak orang yang malas bergerak.  Orang lebih suka kemapanan. Meski dirasakan bukan hal ideal, kemapanan sering membuat orang tak berani mengadakan perubahan. Bagaimanapun, meski sering bukan hal yang buruk, ada kepastian dalam kemapanan itu.

Ketiga, perubahan butuh modal. Dan banyak orang tak berani mengadakan perubahan karena merasa tak punya modal. Buat apa modal dihamburkan untuk sesuatu yang belum tentu akan berhasil baik. Mendingan diam.

Namun demikian, Paulus menasihati: ”janganlah menjadi serupa dengan dunia ini!” Ya, berubahlah.

Gereja yang berubah ialah gereja yang peka terhadap perubahan dunia ini. Bukan berarti bahwa gereja harus melulu ikut tren dan arus dunia. Tidak sama sekali. Namun, berubah di sini merupakan upaya gereja untuk tetap bersifat, bersikap, dan bertindak  kontekstual. Bagaimanapun, gereja tidaklah berada dalam ruang hampa. Gereja senantiasa berada dalam konteks (ruang dan waktu). Pertanyaan yang mendasar: apakah konteks gereja kita sekarang ini?

Dan tidak asal berubah. Berubahlah oleh pembaruan budimu. Perubahan yang dimaksud dalam kalimat ini bukanlah tanpa dasar. Dan dasarnya ialah pembaruan budi. Bukan pembaruan budi orang lain, tapi pembaruan budi kita sendiri (umat). Budi yang diperbarui (renewing of minds). Budi di sini dapat juga diartikan sebagai akal-budi; nalar-hati; atau nalar-rasa. Ada kaitan antara pikiran dan perasaan. Budi sendiri melingkupi keutuhan manusia, yakni: apa yang dia pikir, rasa, dan tindak!   

Jadi, dasar dari perubahan itu ialah pembaruan budi. Ini bukan persoalan gampang. Pada titik ini kita perlu pertolongan Yang Di Atas. Dalam Alkitab BMIK dinyatakan: ”Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah.” Perubahan itu bukanlah sesuatu yang kita bisa lakukan sendirian. Allah dan manusia bekerja sama dalam hal ini. Perubahan hanya akan terjadi, jika kita mau diubah oleh Allah.

Hal-hal Praktis

Sejatinya itu pun tampak dalam kegiatan sehari-hari. Karena itu, nasihat-nasihat Paulus berikutnya sangat praktis: pertama, ”jangan memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan.” Jelaslah di sini, jangan merasa lebih hebat dari orang lain. Sikap rendah hati menjadi keniscayaan. Perubahan membutuhkan kerendahan hati. Jika tidak, kita hanya akan merasa terpaksa. Penguasaan diri merupakan hal penting.

Sungguh wajar jika pada bagian berikutnya Paulus bicara soal karunia-karunia. Idenya sederhana: setiap orang diberikan karunia oleh Allah. Dan karena itu, ”yang punya karunia bernubuat, ya bernubuat sesuai dengan iman; yang punya karunia melayani, ya melayani; yang punya karunia mengajar, ya mengajar; yang punya karunia menasihati, ya menasihati; yang punya karunia membagi-bagikan sesuatu, ya membagi-bagikan sesuatu dengan ikhlas; yang punya karunia untuk memimpin, ya memimpin dengan rajin; yang punya karunia untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, ya harus melakukannya dengan senang hati.”

Intinya adalah setiap orang tak perlu menjadi orang lain; tetapi menjadi dirinya sendiri dan mengobarkan karunia yang ada pada kita masing-masing.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa