Karena Kita

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Kemuliaan bagi Allah di tempat Yang Maha Tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14). Demikianlah pujian bala tentara surga. Pertanyaan yang layak diajukan adalah mengapa? Ya, mengapa mereka memuji Allah?

Tentu mereka melakukannya karena Allah adalah Allah. Sang Pencipta: Tiada Yang Lain. Namun, sepertinya mereka terpana, tercengang, karena Allah menjelma menjadi manusia. Allah hadir dalam rupa insan. Allah yang insani.

Dan Allah tidak hadir dalam diri laki-laki dewasa dengan segala kemegahan dan kemuliaan, tetapi hadir dalam wujud bayi. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang bayi, selain menangis? Kedinginan, menangis. Kepanasan, menangis. Lapar, menangis. Haus, menangis. Buang air pun, menangis. Itulah Natal. Allah turun.

Nabi Yesaya bernubuat: ”Sebab, seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; tampuk pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes. 9:5).

Dalam Natal kita diajak untuk melihat bahwa Allah turun. Yang Mahakuasa itu menjadi bayi, yang bisanya cuma nangis. Yang Tak Terbatas itu menjadi bayi yang tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya karena dibedung. Inilah Natal. Inilah jalan turun Allah.

Bayangkan: Penasihat Ajaib itu belum bisa bicara, Allah yang Perkasa itu tampak dalam diri manusia yang tergolek lemah di palungan yang butuh bantuan orang lain, Bapa yang Kekal itu maujud dalam diri anak yang fana, Raja Damai itu tak lahir di istana, tetapi di kandang. Dan semuanya itu dijalani-Nya hanya untuk manusia.

Perhatikan kata malaikat kepada para gembala: ”Hari ini telah lahir bagimu…” Kalau Allah menempuh jalan turun sejatinya hanya untuk manusia. Manusialah satu-satunya alasan bagi Allah menjadi manusia, saya dan saudara. Paulus dalam suratnya kepada Titus menyatakan bahwa Yesus Kristus melakukan semuanya itu ”untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat milik-Nya sendiri”. Semuanya dilakukan Allah karena, dan hanya untuk, kita.

Dan karena itu, berkait Natal, Lukas tidak hanya mengarahkan kita untuk melihat bayi yang di palungan, tetapi serentak dengan itu melihatnya sebagai Juruselamat. Perhatikan kata-kata malaikat kepada para gembala: ”Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:11).

Stefans Leks, seorang penafsir Kitab Suci, mencatat: ”Bagi Lukas kelahiran Yesus searti dengan terwujud-Nya keselamatan. Frasa ’hari ini’ meliputi seluruh hidup Yesus. Mulai dari saat kelahiran kelahiran-Nya di Betlehem sampai pada saat kebangkitan-Nya. Bila Lukas berkata  bahwa Yesus adalah Juru Selamat dan Kristus, Tuhan, mala ia tidak mau melaporkan paham orang tentang Yesus pada hari kelahiran-Nya, melainkan misteri-Nya sepanjang masa.”

”Peristiwa Natal, ” menurut Stefan Leks, ”sungguh paradoksal, dalam diri bayi Yesus menyatulah kemiskinan dan kemuliaan, kehinaan manusia dan kemuliaan Allah.” Inilah Allah yang turun dalam sejarah. Sungguh-sungguh turun. Tidak saja menjadi bayi, namun selanjutnya turun lagi ke dalam kerajaan maut.

Karena itu, wajarlah—bahkan sungguh keniscayaan—jika bala tentara surga memuji Allah: ”Kemuliaan bagi Allah di tempat Yang Maha Tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

Ini pujian. Pujian bala tentara surgawi bukan dalam dalam bahasa malaikat, tetapi bahasa manusia. Sepertinya bala tentara surgawi itu hendak mengajak para gembala juga untuk memuliakan Allah. Dan ketika Allah dimuliakan, damai sejahtera sungguh terwujud di bumi.

Karena itu, tak ada alasan bagi kita untuk tidak bergembira. Juruselamat telah lahir! Ia hadir karena, dan untuk, kita.
Selamat Natal!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa