Keadilan Allah

Published by Yoel M. Indrasmoro on

Pagi-pagi benar seorang pemilik kebun anggur keluar rumah hendak mencari pekerja untuk kebun anggurnya. Demikianlah Yesus memulai perumpamaan-Nya (lih. Mat. 20:1-15). Setelah sepakat dengan para pekerja mengenai upah sedinar sehari, dia menyuruh mereka bekerja.

Perumpamaan Yesus tidak hanya berhenti di situ. Pada 9.00, tuan itu bertemu sekelompok penganggur. Mereka pun disuruhnya bekerja. Tak ada perjanjian berapa upah akan yang akan diterima. Sang Tuan hanya berkata, ”upah yang adil akan kuberikan kepadamu.” Dan kelompok penganggur itu pun pergi bekerja.

Selanjutnya, tuan itu masih bertemu dengan sekelompok penganggur lainnya, pada 12.00, 15.00. dia melakukan hal yang sama. Dan mereka pun bekerja ketimbang menganggur.

Pada pukul 17.00 terkejutlah hati sang tuan karena ternyata dia masih bertemu dengan para penganggur. Dengan heran dia bertanya, ”Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari?” Jawaban mereka sungguh logis: ”Karena tak ada orang mengupah kami.” Mendengar itu, Sang Tuan pun berkata, ”Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku.” Untuk yang terakhir ini tak ada janji sama sekali perihal upah. 

Ternyata, upah mereka semua sama. Yang bekerja 12 jam sehari, tentu dipotong istirahat satu jam, hingga yang bekerja hanya satu jam upahnya sama. Sama-sama sedinar. Itu setara dengan Rp150 ribu rupiah.

Iri Hati Para Pekerja

Hal itu menimbulkan iri hati para pekerja yang merasa bekerja lebih lama. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Keadilan, menurut mereka, yang bekerja paling lama harus dibayar paling tinggi.

Namun, konsep keadilan sang tuan berbeda. Dalam kacamata dia, setiap orang perlu dana cukup untuk hidup sehari-hari—Rp150.000,-. Kurang dari itu, sang tuan sendiri merasa telah bertindak tidak adil terhadap pekerjanya. Keadilan dalam sudut pandang sang tuan tidak ditentukan oleh lamanya kerja, tetapi dari sisi kebutuhan normal manusia. Keadilannya berdasarkan kasih.

Sang tuan beralasan, dia berhak memberikannya karena itu memang miliknya. Dia sendiri tidak merasa rugi memberi upah Rp150.000,- kepada orang yang bekerja hanya sebentar. Dengan kalimat retorik, Sang Tuan menegaskan: ”Tidakkah aku boleh mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Mat. 20:15). Dengan kata lain, jika dia ikhlas melakukannya, mengapa pula ada yang protes?

Standar Kerajaan Surga

Sejatinya—dan ini tak boleh kita lupakan—perumpamaan ini berkait dengan Kerajaan Surga. Standar keadilan dalam Kerajaan Surga adalah standar kasih. Dan berkait dengan penyelamatan Allah, maka standarnya bukanlah berapa lama seseorang menjadi Kristen, tetapi kebutuhan sejati manusia. Dan bicara soal penyelamatan Allah mana ada di antara kita yang mau dibeda-bedakan, bukankah kebutuhan manusia akan penyelamatan Allah itu sama? Manusia sama-sama membutuhkan penyelamatan Allah.

Salah satu orang yang sungguh merasakan misteri penyelamatan Allah adalah Paulus. Kisah hidupnya memang berbeda dengan kedua belas murid. Bahkan, ia menjadi penganiaya jemaat. Namun, Allah menyelamatkan dan memercayakan pelayanan pekabaran Injil kepadanya.

Dan, mungkin karena itulah, Paulus mampu berkata: ”Sesungguhnya, bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Namun, jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Flp. 1:21-22).

Paulus tidak mengangkangi keselamatan itu sendirian. Ia ingin semakin banyak orang yang menjadi percaya kepada Injil. Keadilan Allah mendorong Paulus untuk senantiasa giat dalam mengabarkan Injil. Sebab, ia tahu penyelamatan Allah merupakan kebutuhan terbesar setiap manusia.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: karya Rembrant (Istimewa)